Kasus kekerasan seksual yang melibatkan Dokter Priguna Anugerah Pratama menjadi tamparan keras bagi nurani publik. Peristiwa ini tidak hanya mencederai korban secara fisik dan psikis, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap profesi yang semestinya menjunjung tinggi etika, empati, dan tanggung jawab kemanusiaan. Ketika pelaku berasal dari kalangan tenaga medis, pelanggaran tersebut tidak lagi sekadar tindak kriminal, melainkan pengkhianatan terhadap mandat moral profesi.
Putusan hakim yang menjatuhkan hukuman 11 tahun penjara patut diapresiasi sebagai bentuk penegakan hukum yang tegas. Namun, keadilan tidak boleh berhenti pada vonis pidana semata.
Hukuman tersebut harus dibaca sebagai pesan kuat bahwa kekerasan seksual merupakan kejahatan serius dengan konsekuensi berat, terlebih bila dilakukan oleh pihak yang memiliki relasi kuasa atas korban. Tanpa pesan pencegah yang jelas, putusan hukum berisiko kehilangan daya gentarnya.
Lebih jauh, kasus ini mengungkap persoalan struktural dalam upaya pencegahan kekerasan seksual, khususnya di lingkungan layanan kesehatan. Relasi kuasa antara dokter dan pasien menciptakan kerentanan yang kerap tidak disadari atau diabaikan.
Karena itu, pengawasan internal dan mekanisme akuntabilitas profesi medis perlu diperketat, bukan hanya melalui kode etik, tetapi juga melalui sistem pengaduan yang aman, transparan, dan berpihak pada korban.
Pendidikan mengenai hak-hak pasien menjadi agenda mendesak. Banyak korban kekerasan seksual enggan melapor karena ketidaktahuan, rasa takut, atau stigma sosial. Negara dan institusi kesehatan memiliki kewajiban memastikan setiap pasien memahami hak atas rasa aman, martabat, dan perlindungan hukum. Tanpa literasi yang memadai, korban akan terus berada dalam posisi yang timpang.
Di sisi lain, dukungan terhadap korban harus dipahami sebagai bagian integral dari keadilan. Pendampingan psikologis, layanan kesehatan lanjutan, serta perlindungan sosial tidak boleh diperlakukan sebagai belas kasihan, melainkan sebagai hak. Masyarakat pun dituntut untuk menghentikan praktik menyalahkan korban yang hanya memperpanjang trauma dan mempersempit ruang keadilan.
Kasus ini seharusnya menjadi momentum refleksi kolektif. Kekerasan seksual bukan persoalan individu semata, melainkan cerminan lemahnya sistem perlindungan dan pengawasan. Tanpa komitmen bersama antara negara, institusi profesi, dan masyarakat, tragedi serupa akan terus berulang. Mengecam pelaku adalah langkah awal, tetapi menuntut perbaikan sistemik merupakan kewajiban yang tidak bisa ditunda.
Penulis : Dyani Sahara | Prodi Kewirausahaan | Institut Teknologi Muhammadiyah Sumatra
Editor : Intan Permata









