Pemerataan Bansos: Antara Data, Kuasa, dan Kepercayaan Publik

- Redaksi

Kamis, 25 Desember 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Bantuan sosial (bansos) dimaksudkan sebagai perwujudan kehadiran negara dalam melindungi warga yang berada dalam tekanan ekonomi. Saat seseorang kehilangan pekerjaan, penghasilan turun, atau tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar, bansos diharapkan menjadi penyangga agar martabat hidup tetap terjaga.

Namun praktik di lapangan menunjukkan bahwa pemerataan bansos masih menyisakan persoalan serius. Pertanyaan publik tetap mengemuka: apakah bantuan benar-benar sampai kepada mereka yang paling membutuhkan.

Di berbagai daerah, cerita serupa terus berulang. Warga miskin tidak tersentuh bansos, sementara mereka yang relatif mampu justru tercatat sebagai penerima tetap. Dalam sejumlah kasus, penerima seolah sudah “diketahui” sebelum daftar resmi diumumkan.

Kondisi ini menimbulkan rasa ketidakadilan dan memperkuat persepsi bahwa sistem perlindungan sosial belum bekerja secara inklusif. Masyarakat kecil merasa jauh dari kebijakan yang semestinya melindungi mereka.

Akar persoalan berulang terletak pada akurasi dan pemutakhiran data. Banyak basis data penerima tidak diperbarui secara berkala, padahal dinamika ekonomi rumah tangga berubah cepat. Mereka yang sebelumnya mapan bisa tiba-tiba rentan akibat sakit, PHK, atau bencana.

Sebaliknya, ada penerima lama yang kondisi ekonominya membaik tetapi masih tercantum sebagai penerima manfaat. Ketika data tidak mencerminkan realitas sosial, pemerataan menjadi sulit diwujudkan dan kebocoran sasaran tidak terhindarkan.

Baca Juga :  RSUD Kajen Luncurkan Aplikasi POSTER KUMBANG untuk Permudah Komunikasi Layanan Poli Tumbuh Kembang

Selain problem data, transparansi penyaluran juga kerap lemah. Prosedur penetapan penerima kurang terbuka sehingga kriteria terasa kabur bagi warga. Minimnya informasi mendorong prasangka dan kecurigaan, bahkan memicu friksi sosial di tingkat lokal. Bansos yang sejatinya dirancang untuk meredakan tekanan justru berpotensi menjadi sumber kecemburuan, terutama ketika komunikasi publik dan mekanisme keberatan tidak berjalan efektif.

Aspek lain yang perlu dicermati ialah politisasi bantuan. Pada momentum politik tertentu, bansos kerap dipersepsikan sebagai alat pencitraan. Bantuan negara berubah makna seolah pemberian personal dari pihak tertentu.

Praktik seperti ini mereduksi hak warga menjadi komoditas politik dan mengikis kepercayaan kepada institusi. Pemerintahan yang ingin membangun legitimasi jangka panjang harus menjaga jarak tegas antara kebijakan perlindungan sosial dan kepentingan elektoral.

Pemerintah sesungguhnya telah melakukan pembenahan, antara lain menyalurkan bansos secara nontunai serta memanfaatkan teknologi digital. Upaya ini patut diapresiasi karena menekan peluang penyelewengan dan mempercepat penyaluran. Namun kesenjangan literasi dan akses digital belum tertutup.

Kelompok lanjut usia, warga di daerah terpencil, atau mereka yang tidak memiliki perangkat dan jaringan memadai justru menghadapi hambatan baru. Inklusi digital menjadi syarat penting agar transformasi sistem tidak menyingkirkan mereka yang paling rentan.

Baca Juga :  Mengusut Kepentingan di Balik Penolakan Bantuan Internasional untuk Bencana Aceh dan Sumatra

Pemerataan bansos menuntut kolaborasi. Negara perlu membuka ruang partisipasi warga dalam pendataan, verifikasi, dan pengawasan. Komunitas lokal paling mengetahui perubahan kondisi ekonomi tetangganya.

Mekanisme pelibatan warga, kanal pengaduan yang mudah diakses, serta perlindungan bagi pelapor dapat meminimalkan salah sasaran. Keterbukaan data agregat, kejelasan kriteria, dan proses evaluasi berkala akan memperkuat akuntabilitas sekaligus membangun rasa memiliki.

Di luar itu, bansos tidak boleh berhenti pada fungsi kuratif jangka pendek. Bantuan penting untuk menutup kebutuhan mendesak, tetapi kebijakan perlindungan sosial yang efektif harus disandingkan dengan strategi pemberdayaan.

Arah kebijakan perlu menumbuhkan kemandirian melalui pelatihan keterampilan, akses pekerjaan layak, penguatan usaha mikro, serta pendampingan keuangan keluarga rentan. Dengan demikian, bansos menjadi jembatan keluar dari kemiskinan, bukan jerat ketergantungan.

Pemerataan bantuan sosial pada hakikatnya berkaitan dengan keadilan sosial dan keberpihakan negara kepada warga yang lemah. Selama masih ada keluarga miskin yang terlewat dan bantuan mengalir kepada mereka yang tidak berhak, tujuan kebijakan belum tercapai.

Reformasi data terpadu, transparansi proses, pengawasan publik yang kuat, dan orientasi pemberdayaan perlu berjalan seiring. Bansos baru akan bermakna ketika menghadirkan kepastian perlindungan, memulihkan rasa keadilan, dan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap negara.

Penulis : Bagus Dwi Saputra | Kewirausahaan | Institut Teknologi Muhammadiyah Sumatra

Editor : Fadli Akbar

Follow WhatsApp Channel sorotnesia.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Harga Cabai Melonjak, Ketahanan Dapur Warga Musi Rawas Diuji
Mencari Keseimbangan sebagai Landasan Etika Sosial
Dari Tradisional ke Digital: Manajemen Inovasi Pendidikan Tinggi Indonesia
Mengelola Diri Sendiri Sebelum Mengelola Orang Lain
Membangkitkan Nilai Pancasila bagi Generasi Muda
Korupsi dan Kebuntuan Masa Depan Indonesia
Edukasi dan Kesadaran Masyarakat sebagai Kunci Pencegahan Peredaran Narkoba
Ujaran Kebencian di Ruang Digital dan Ancaman bagi Persatuan

Berita Terkait

Kamis, 25 Desember 2025 - 08:40 WIB

Pemerataan Bansos: Antara Data, Kuasa, dan Kepercayaan Publik

Rabu, 24 Desember 2025 - 23:00 WIB

Harga Cabai Melonjak, Ketahanan Dapur Warga Musi Rawas Diuji

Selasa, 23 Desember 2025 - 23:30 WIB

Mencari Keseimbangan sebagai Landasan Etika Sosial

Selasa, 23 Desember 2025 - 20:00 WIB

Dari Tradisional ke Digital: Manajemen Inovasi Pendidikan Tinggi Indonesia

Selasa, 23 Desember 2025 - 19:05 WIB

Membangkitkan Nilai Pancasila bagi Generasi Muda

Berita Terbaru

Opini

Mencari Keseimbangan sebagai Landasan Etika Sosial

Selasa, 23 Des 2025 - 23:30 WIB