Pernikahan dini kerap menjadi topik yang menimbulkan perdebatan, baik dari sisi hukum Islam maupun hukum positif Indonesia. Dalam perspektif syariat Islam, pernikahan dini diperbolehkan dan dianggap sah apabila telah terpenuhi syarat-syarat tertentu, meskipun calon mempelai perempuan belum memasuki masa haid atau baligh. Namun, Islam menekankan bahwa hubungan suami istri hanya dapat dilakukan setelah istri benar-benar siap secara fisik dan mental.
Salah satu referensi yang sering disebutkan adalah pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Aisyah RA, di mana pernikahan berlangsung saat Aisyah berusia enam tahun, dan hubungan suami istri baru dilakukan pada usia sembilan tahun. Meskipun demikian, konteks historis dan budaya saat itu tentu berbeda dengan kondisi sosial masyarakat modern.
Dari sudut pandang kesehatan dan psikologis, pernikahan dini berpotensi menimbulkan dampak negatif, terutama bagi pihak perempuan. Risiko kesehatan pada ibu dan anak, gangguan psikologis, hingga ketidaksiapan dalam menjalani kehidupan rumah tangga menjadi kekhawatiran utama.
Oleh karena itu, meskipun secara hukum Islam pernikahan dini dapat dibenarkan, pertimbangan terhadap kesiapan fisik dan mental menjadi sangat penting dan tidak boleh diabaikan.
Upaya pencegahan terhadap praktik pernikahan dini sebenarnya telah dilakukan melalui pendekatan edukatif dan persuasif. Dalam lingkup hukum Islam, petugas Kantor Urusan Agama (KUA) memiliki peran strategis untuk memberikan penyuluhan, konseling, dan mediasi kepada calon pengantin dan keluarganya. Tujuannya adalah agar mereka dapat menunda pernikahan hingga usia yang lebih ideal dan matang, sesuai dengan nilai maslahat dalam Islam.
Di sisi lain, hukum positif Indonesia mengatur secara tegas batas minimal usia untuk menikah, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Perkawinan.
Regulasi ini menetapkan bahwa usia minimal menikah adalah 19 tahun, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Penetapan batas usia ini didasari oleh pertimbangan kematangan emosional, fisik, dan psikologis calon pengantin, serta sebagai upaya perlindungan terhadap anak.
Namun, hukum Indonesia tetap memberikan ruang bagi kondisi khusus melalui mekanisme dispensasi kawin. Dispensasi ini dapat diajukan kepada pengadilan agama bagi umat Islam, atau pengadilan negeri bagi umat agama lain, dengan alasan yang harus benar-benar kuat dan didukung oleh bukti medis atau sosial yang relevan. Selain itu, bagi calon pengantin yang belum berusia 21 tahun, izin orang tua tetap menjadi syarat wajib.
Meskipun mekanisme dispensasi ini memungkinkan, pelaksanaannya tidak lepas dari kontroversi. Pengadilan harus berhati-hati dalam memberikan izin agar tidak menimbulkan preseden yang merugikan perlindungan terhadap anak. Bahkan, jika pernikahan dini dilakukan tanpa izin pengadilan, terdapat sanksi pidana yang dapat dikenakan.
Pelaku yang menikahkan anak di bawah umur dapat didenda hingga Rp6 juta, sementara penghulu yang menikahkan tanpa izin pengadilan dapat dikenai denda hingga Rp12 juta atau kurungan selama tiga bulan.
Perbedaan antara ketentuan hukum Islam dan hukum negara menciptakan dinamika tersendiri di masyarakat. Dualisme ini menuntut pendekatan bijak dan integratif agar tidak terjadi benturan antara nilai religius dan norma negara. Oleh sebab itu, penting untuk menempatkan pernikahan dini dalam konteks sosial dan zaman yang terus berubah.
Kesimpulannya, meskipun Islam memberikan ruang bagi praktik pernikahan dini, penerapannya tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan maslahat, kesiapan individu, serta kondisi sosial masyarakat. Harmonisasi antara syariat dan hukum negara perlu terus dikedepankan agar tujuan pernikahan sebagai ikatan suci yang membawa keberkahan, kebahagiaan, dan keberlanjutan keluarga dapat terwujud secara ideal.
Penulis : Hansa Fathul Adzhim | Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor : Anisa Putri