Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan segudang potensi alam. Dari Sabang sampai Merauke, tanahnya subur menumbuhkan beragam umbi-umbian seperti singkong, ubi jalar, talas, hingga garut.
Dulu bahan pangan ini sering dianggap sederhana dan kalah pamor dari beras atau gandum. Tapi siapa sangka, kini umbi justru naik kelas lewat inovasi tepung umbi, yang jadi bintang baru di dunia agroindustri.
Tren ini muncul seiring meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya makanan sehat dan lokal. Tepung singkong, mocaf (Modified Cassava Flour), hingga tepung ubi ungu mulai banyak digunakan sebagai pengganti tepung terigu.
Menurut Praseptiangga dkk. (2023), tepung umbi punya keunggulan gizi tinggi, bebas gluten, dan lebih ramah lingkungan. Nggak heran kalau produk ini makin diminati, baik di pasar domestik maupun luar negeri.
Dari sisi ekonomi, kehadiran industri tepung umbi-umbian jadi angin segar buat petani lokal. Dulu mereka hanya menjual hasil panen dalam bentuk mentah dengan harga pasaran yang fluktuatif.
Sekarang, setelah diolah jadi tepung, nilai jualnya bisa naik berkali lipat. Proses produksinya juga melibatkan banyak tenaga kerja desa mulai dari tahap pengupasan, pengeringan, penggilingan, sampai pengemasan. Ini jelas membuka lapangan kerja baru, menambah penghasilan, dan bikin ekonomi desa makin hidup.
Selain jadi peluang bisnis, tepung umbi juga punya peran penting dalam ketahanan pangan nasional. Selama ini Indonesia masih bergantung pada impor gandum untuk produksi tepung terigu. Dengan menggencarkan penggunaan tepung lokal berbasis umbi, ketergantungan itu bisa dikurangi sedikit demi sedikit. Gardjito dkk. (2025) bahkan mencatat, beberapa daerah sudah berhasil mengekspor tepung mocaf dan tepung ubi ke pasar Asia dan Eropa. Produk lokal, rasa global.
Tak cuma menguntungkan secara ekonomi, industri ini juga berkelanjutan. Umbi-umbian mudah dibudidayakan, tahan terhadap cuaca ekstrem, dan nggak butuh banyak pupuk kimia. Artinya, pengembangan tepung umbi-umbian mendukung praktik pertanian yang ramah lingkungan. Ini jadi bukti kalau inovasi pertanian nggak harus merusak alam, tapi justru bisa berjalan seiring dengan pelestarian lingkungan.
Kabar baiknya, banyak lembaga penelitian dan kampus di Indonesia yang ikut turun tangan. Mereka mengembangkan teknologi pengolahan agar tepung yang dihasilkan makin halus, tahan lama, dan sesuai standar ekspor. Khoiri (2025) menambahkan, dukungan pemerintah juga mulai terasa lewat pelatihan, penyediaan alat, serta promosi produk lokal ke pasar yang lebih luas.
Tepung umbi bukan cuma soal makanan alternatif. Ia adalah simbol perubahan bahwa inovasi di sektor agroindustri bisa memberdayakan petani, memperkuat ekonomi, sekaligus menjaga ketahanan pangan negeri. Dari desa kecil sampai pasar dunia, umbi-umbian kini jadi bukti nyata kalau potensi lokal bisa membawa Indonesia menuju pertanian yang mandiri, kompetitif, dan berkelanjutan.
Referensi
- Gardjito, M., Rahman, F., Toekidjo, Nitisapta, M., Rauf, R., Subando T. R., dan Yunani. 2025. Singkong, Pangan Harapan Masa Depan yang Menyehatkan Jilid 1. Yogyakarta: Andi.
- Khoiri, M. 2025. PERAN PEMERINTAH DESA DALAM MENDORONG PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH (Studi Kasus Tenun Ikat Troso Kabupaten Jepara Tahun 2021-2023). Journal of Politic and Government Studies. Vol. 14(3). 803-822.
- Praseptiangga, D., Anam, C., Ariyantoro, A. R., Yulviatun, A., dan Anandito, B. K. 2023. Potensi Dan Pemanfaatan Umbi-Umbian Lokal Dalam Mendukung Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals). Jakarta: Deepublish.
Penulis : Dhia Lintang Susanti | Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Editor : Anisa Putri