Moral, Emosi, dan Sikap: Fondasi Karakter Bangsa di Era Digital

- Redaksi

Minggu, 16 November 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kasus perundungan kini tidak hanya menjadi potret kelam di lingkungan sekolah, tetapi juga menampakkan wajah muramnya di dunia kampus. Tragedi yang menimpa seorang dokter spesialis pendidikan (PPDS) Universitas Diponegoro, Aulia Risma Lestari, menjadi alarm keras bagi dunia pendidikan Indonesia.

Aulia meninggal dunia setelah diduga mengalami tekanan dan praktik perundungan dari seniornya. Polisi kemudian menetapkan tiga tersangka. Peristiwa itu menyingkap sisi gelap lingkungan akademik yang seharusnya menjadi ruang aman, namun justru dapat berubah menjadi arena kekerasan psikologis yang menekan dan merusak.

Kisah Aulia menyadarkan kita bahwa pendidikan karakter bukan lagi wacana yang cukup dibahas dalam seminar atau dituliskan dalam dokumen kurikulum. Ia kini menjadi kebutuhan mendesak. Sebagai mahasiswa Pendidikan IPS, saya menyadari bahwa karakter tidak akan tumbuh hanya dengan menghafal konsep dan teori.

Melalui mata kuliah Psikologi Pendidikan, saya memahami bahwa moral, emosi, dan sikap adalah tiga unsur yang saling terikat dan berperan besar dalam membentuk perilaku seseorang. Ketiganya tidak berdiri sendiri, tetapi saling menguatkan dan membentuk identitas moral yang menentukan bagaimana seseorang bersikap terhadap diri, lingkungan, dan masyarakat.

Pada tahap awal, moral sering dipahami sebagai panduan batin tentang benar dan salah sebuah kompas nilai yang dibentuk melalui keluarga, budaya, dan pengalaman sosial. Anak yang tumbuh dalam lingkungan yang mengajarkan kejujuran, berbagi, atau saling menghormati akan menginternalisasi nilai-nilai tersebut sebagai bagian dari dirinya. Nilai moral bukan sekadar konsep abstrak, tetapi menjadi dasar tindakan konkret. Seseorang yang memegang teguh nilai keadilan, misalnya, akan menolak berbuat curang meskipun ada kesempatan.

Dalam kajian Lawrence Kohlberg, perkembangan moral manusia berlangsung bertahap, dari mengikuti aturan karena takut hukuman, kemudian bergerak menuju keinginan diterima sosial, hingga pada tingkat tertinggi ketika seseorang bertindak berdasarkan prinsip etis yang diyakini secara sadar.

Tahapan ini menunjukkan bahwa moral tidak tumbuh seketika. Ia memerlukan proses panjang berupa teladan, pengalaman, dan lingkungan yang mendukung. Dalam konteks Indonesia, tahapan ini selaras dengan tujuan pendidikan nasional yang ingin membentuk peserta didik berkarakter gotong royong, berkeadilan, dan bertanggung jawab.

Baca Juga :  SMP Negeri 2 Sragi Luncurkan Program Gerakan Anti Perundungan Berbasis SIPERSIS

Namun moral saja tidak cukup. Emosi memegang peran penting sebagai penggerak di balik tindakan moral. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering melihat bagaimana emosi positif seperti empati atau kasih sayang mampu mendorong seseorang membantu sesama tanpa diminta.

Sebaliknya, emosi negatif seperti iri atau kemarahan yang tidak terkelola justru menjadi pemicu tindakan destruktif. Di sinilah konsep kecerdasan emosional yang dikemukakan Daniel Goleman menemukan relevansinya. EQ menjadi salah satu indikator penting keberhasilan sosial, bukan sekadar kemampuan akademik.

Di ruang kelas, guru dapat melatih kecerdasan emosional melalui diskusi reflektif, bermain peran, atau kegiatan kolaboratif yang menumbuhkan kesadaran diri dan kepekaan sosial. Ketika peserta didik dilatih mengelola emosi sejak dini, mereka lebih mampu membangun hubungan yang sehat, merespons konflik secara dewasa, serta menghindari tindakan yang merugikan diri dan orang lain. Ini pula yang sebenarnya menjadi pondasi bagi terciptanya lingkungan belajar yang aman dan manusiawi.

Sikap kemudian menjadi cerminan nyata dari gabungan moral dan emosi. Ia adalah kecenderungan seseorang untuk merespons suatu situasi secara konsisten. Sikap toleran, jujur, atau bertanggung jawab terbentuk dari proses panjang menggabungkan pengetahuan, perasaan, dan pengalaman.

Namun era digital membawa tantangan baru dalam pembentukan sikap. Arus informasi yang deras, tekanan sosial melalui media, hingga fenomena FOMO (Fear of Missing Out) membuat remaja dan mahasiswa sering merasa harus mengikuti arus meskipun bertentangan dengan nilai moral mereka sendiri.

Ketika ruang digital memungkinkan siapa pun bersembunyi di balik layar, praktik perundungan justru semakin mudah terjadi. Komentar penuh kebencian, penyebaran rumor, dan tekanan psikologis bisa menyasar siapa saja.

Baca Juga :  Dibalik Pagar Pendidikan Agama, Pelajaran Berharga Mengarungi Kehidupan

Karena itu, pendidikan moral di era digital harus dibarengi dengan literasi digital, kemampuan berpikir kritis, serta pengendalian diri. Tanpa itu, sikap peserta didik akan mudah terombang-ambing oleh opini dan tren sesaat.

Di tingkat kebijakan, Kurikulum Merdeka sebenarnya telah mengusung Profil Pelajar Pancasila sebagai arah pendidikan nasional. Namun implementasi ideal sering terbentur realitas di lapangan: beban mengajar guru, kurangnya pelatihan mengenai psikologi pendidikan, dan lemahnya sistem pencegahan kekerasan baik di sekolah maupun kampus. Kasus seperti yang terjadi di UNDIP menunjukkan bahwa institusi pendidikan masih memiliki PR besar dalam menyediakan lingkungan aman bagi peserta didik.

Karena itu, perbaikan tidak bisa hanya bertumpu pada satu pihak. Guru dan dosen perlu lebih aktif menerapkan pembelajaran yang menumbuhkan keberanian moral dan empati. Orang tua harus menjadi teladan nyata, bukan sekadar memberi nasihat.

Kampus dan sekolah harus memiliki sistem pengawasan yang jelas dan tegas untuk mencegah kekerasan. Pemerintah pun perlu memperkuat kebijakan anti-kekerasan sekaligus memperluas pelatihan kompetensi sosial-emosional bagi para pendidik.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pembinaan karakter sejak dini berkontribusi besar dalam mencegah perilaku menyimpang dan kekerasan. Dengan karakter yang kuat, individu lebih mampu menghadapi tekanan, menahan godaan, serta bertindak sesuai hati nurani. Pada akhirnya, pembentukan moral, emosi, dan sikap bukan hanya program pendidikan, tetapi investasi jangka panjang bagi masa depan bangsa.

Tragedi Aulia menjadi refleksi pahit bahwa pendidikan karakter masih kerap dipandang sebelah mata. Padahal, karakterlah yang menentukan kualitas peradaban. Di era digital yang penuh tantangan, setiap individu memiliki tanggung jawab moral untuk menciptakan ruang sosial yang sehat baik di rumah, sekolah, kampus, maupun dunia maya. Bangsa yang kuat dibangun bukan hanya oleh kecerdasan, tetapi oleh mereka yang mampu mengelola emosi, menjunjung nilai, dan bertindak dengan hati nurani.

Penulis : Archila Az-Zahra Komarudin | Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial | Universitas Islam Negeri Jakarta

Editor : Anisa Putri

Follow WhatsApp Channel sorotnesia.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Bukan Sekadar Hafalan: Transformasi Pancasila Menjadi Gaya Hidup Kreatif Gen Z
Pengaruh Media Sosial terhadap Kesehatan Mental Remaja
Pajak Karbon: Solusi Pintar untuk Kurangi Emisi, atau Beban Baru bagi Rakyat?
Ketimpangan Pensiun DPR: Sudah Saatnya Berbenah?
Pembubaran Satgas BLBI dan Ancaman Ketimpangan Hukum di Indonesia
Ketimpangan Hukum di Indonesia: Antara Idealitas dan Realitas
Negara dan Kegagalan Menjamin Hak atas Pangan Aman
Ketimpangan Hukum di Indonesia: Antara Idealitas dan Realitas Penegakan Keadilan

Berita Terkait

Minggu, 16 November 2025 - 17:40 WIB

Bukan Sekadar Hafalan: Transformasi Pancasila Menjadi Gaya Hidup Kreatif Gen Z

Minggu, 16 November 2025 - 12:59 WIB

Moral, Emosi, dan Sikap: Fondasi Karakter Bangsa di Era Digital

Jumat, 14 November 2025 - 17:41 WIB

Pengaruh Media Sosial terhadap Kesehatan Mental Remaja

Kamis, 30 Oktober 2025 - 21:44 WIB

Pajak Karbon: Solusi Pintar untuk Kurangi Emisi, atau Beban Baru bagi Rakyat?

Rabu, 29 Oktober 2025 - 15:56 WIB

Ketimpangan Pensiun DPR: Sudah Saatnya Berbenah?

Berita Terbaru

Opini

Pengaruh Media Sosial terhadap Kesehatan Mental Remaja

Jumat, 14 Nov 2025 - 17:41 WIB