Bandung, Sorotnesia.com – Pagi di lingkungan Ma’had Al-Jami’ah UIN Sunan Gunung Djati Bandung selalu dimulai dengan sapaan ramah dari seorang pria berseragam satpam. Senyumnya mudah dikenali, gesturnya tenang, dan caranya berbicara membuat orang merasa disambut. Ia adalah Asep Alamsyah, atau yang lebih akrab disapa Pak Asep, sosok yang hampir tak pernah luput dari perhatian para mahasiswa.
Usianya kini 54 tahun. Ia berasal dari Garut, namun telah lama menetap di Cibiru, Kota Bandung. Selama 13 tahun terakhir, sejak akhir 2012, Pak Asep mengabdikan diri sebagai petugas keamanan di lingkungan Ma’had. Rutinitas itu ia jalani dengan konsisten, dari hari ke hari, tanpa banyak keluhan.
Menjadi satpam bukanlah rencana hidup yang sejak awal ia impikan. “Secara pribadi, menjadi satpam bukanlah suatu pilihan,” ujarnya suatu sore sambil tersenyum.
Kala itu, keterbatasan lowongan kerja yang sesuai dengan keahliannya membuat ia mencoba peruntungan di bidang keamanan. Jauh sebelum sertifikasi satpam modern dikenal luas, Pak Asep telah mengikuti pendidikan satpam sejak awal 2000-an.
“Alhamdulillah, saya sudah bersertifikasi dari tahun 2000,” katanya dengan nada bangga, seolah mengingat kembali perjalanan panjang yang telah dilaluinya.
Dalam keseharian, Pak Asep menjalankan apa yang ia sebut sebagai TurJaWali: pengaturan, penjagaan, dan pengawalan. Ia termasuk satpam non-shift, bekerja selama 12 jam setiap hari, Senin hingga Jumat. Tugasnya mencakup menjaga kawasan ma’had, menata parkir kendaraan, memandu mahasantri, hingga memastikan lingkungan tetap aman dan tertib.
Meski terlihat sederhana, pekerjaan itu tak selalu mudah. Rasa jenuh kerap muncul, terutama karena hasil kerja satpam sering kali tak kasatmata.
“Kalau tukang sapu, ada bekasnya jalan jadi bersih. Kalau satpam, sudah rapi sebentar, berantakan lagi,” katanya sambil tertawa kecil. Namun di balik candanya, tersimpan kesadaran bahwa kewaspadaan adalah harga yang harus dibayar.
Tantangan lain datang dari situasi yang menuntut kesabaran ekstra. Ia mengisahkan bagaimana menghadapi mahasiswa yang enggan diatur atau memarkir kendaraan sembarangan.
“Kalau sudah kesel, saya tinggal dulu. Dibawa rileks. Jangan marah, karena bisa jadi dia lebih marah dari kita,” ujarnya bijak.
Keramahan adalah ciri khas Pak Asep. Ia menerapkan prinsip 3S: Senyum, Salam, Sapa. Namun baginya, senyum adalah yang paling utama.
“Saya lihat dulu. Kalau dibalas senyum, baru saya sapa,” katanya. Sikap itu bukan tanpa alasan. Ia memosisikan diri sebagai orang tua bagi mahasiswa, terlebih karena anaknya sendiri juga menempuh pendidikan di kampus yang sama.
“Saya sudah bukan anak muda. Cara ngobrolnya juga beda. Jadi saya menempatkan diri sebagai orang tua,” tuturnya lembut.
Bagi Pak Asep, menjadi bermanfaat tidak selalu harus melalui hal besar. Menyapa dan tersenyum pun ia yakini sebagai bentuk kebaikan. Ia mengutip pesan yang selalu ia pegang: sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.
Saat berbicara tentang makna pekerjaannya, wajah Pak Asep tampak lebih serius. Menjaga keamanan, baginya, bukan sekadar mencari nafkah, melainkan juga ibadah. Ia paham profesi satpam kerap dipandang sebelah mata. Namun, melalui sikap dan kinerjanya, ia ingin mengubah persepsi itu. “Hal yang terlihat biasa akan terasa penting saat dibutuhkan. Kalau kendaraan hilang, pasti yang dicari satpam,” katanya pelan.
Di akhir perbincangan, ketika diminta menggambarkan dirinya dengan tiga kata, Pak Asep menjawab mantap tanpa ragu: luwes, ikhlas, sabar. Tiga kata sederhana yang merangkum perjalanan panjang pengabdiannya dan menjelaskan mengapa senyumnya selalu terasa tulus setiap hari.
Penulis : Aina Berliana
Editor : Anisa Putri









