Tiga pekan setelah bencana alam melanda Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara, pemulihan belum sepenuhnya berjalan sebagaimana diharapkan. Di berbagai wilayah terdampak, warga masih menunggu distribusi bantuan yang merata dan berkelanjutan.
Harapan publik tertuju pada kehadiran negara yang sigap, terkoordinasi, dan terbuka terhadap seluruh sumber daya yang dapat meringankan beban korban. Namun, dalam situasi krisis tersebut, muncul ketegangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah terkait sikap terhadap bantuan internasional.
Presiden Prabowo Subianto secara terbuka menyatakan penolakan terhadap tawaran bantuan dari luar negeri. Pemerintah pusat menilai Indonesia masih memiliki kapasitas untuk menangani bencana secara mandiri. Sikap ini ditegaskan Presiden dalam sidang kabinet pada 15 Desember 2025.
Ia mengungkapkan telah menerima banyak komunikasi dari pemimpin negara lain yang menawarkan bantuan, tetapi menegaskan bahwa situasi masih dapat dikendalikan oleh pemerintah nasional. Negara, menurut Presiden, tidak berada dalam kondisi darurat yang mengharuskan keterlibatan internasional.
Pernyataan tersebut justru berseberangan dengan realitas yang disampaikan para kepala daerah. Beberapa gubernur di wilayah terdampak mengakui keterbatasan sumber daya yang mereka miliki. Skala kerusakan, luas wilayah terdampak, serta kebutuhan logistik yang mendesak dinilai telah melampaui kapasitas tiga pemerintah provinsi.
Karena itu, mereka mendorong pemerintah pusat agar membuka ruang bagi bantuan internasional. Sejumlah negara, seperti China, Malaysia, Timor Leste, Uni Emirat Arab, Iran, Pakistan, dan Rusia, serta organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Liga Muslim, menyatakan kesiapan membantu.
Kontradiksi semakin nyata ketika Gubernur Aceh menerima bantuan dari perusahaan multinasional Upland Resources yang beroperasi di Inggris, Malaysia, dan Indonesia. Bantuan tersebut berupa sembako untuk masyarakat terdampak.
Sang gubernur menegaskan bahwa dalam situasi bencana, pertimbangan kemanusiaan harus ditempatkan di atas kepentingan lain. Sikap ini memperlihatkan adanya perbedaan tafsir antara pemerintah pusat dan daerah mengenai makna kedaulatan, urgensi krisis, serta batas keterbukaan terhadap pihak asing.
Di sinilah pertanyaan mendasar mengemuka. Apa kepentingan di balik bantuan yang dikirimkan oleh pihak asing, dan mengapa negara bersikap begitu berhati-hati terhadapnya?
Dalam kajian hubungan internasional, setiap tindakan negara hampir selalu berkaitan dengan kepentingan tertentu. Bantuan kemanusiaan tidak sepenuhnya steril dari dimensi politik, ekonomi, maupun diplomatik.
Namun, cara memaknai kepentingan tersebut bergantung pada perspektif yang digunakan. Aliran liberalisme memandang hubungan antarnegara sebagai relasi rasional dan kooperatif. Negara dianggap mampu bekerja sama demi kepentingan bersama, terutama dalam isu kemanusiaan.
Dari sudut pandang ini, bantuan internasional dipahami sebagai ekspresi solidaritas global dan tanggung jawab moral. Negara pemberi bantuan tidak semata-mata digerakkan oleh keuntungan material, melainkan oleh dorongan etis untuk meringankan penderitaan sesama manusia.
Selain itu, kerja sama kemanusiaan sering kali memperkuat hubungan diplomatik yang telah terbangun sebelumnya. Bantuan bencana menjadi instrumen kepercayaan, bukan alat intervensi.
Namun, negara tidak hanya berpikir dalam kerangka ideal. Dalam perspektif kedaulatan, pemerintah pusat memiliki kewajiban menjaga otoritas nasional dan integritas wilayah. Kekhawatiran akan masuknya agenda tersembunyi melalui bantuan asing, baik dalam bentuk pengaruh politik, ekonomi, maupun keamanan, menjadi alasan utama sikap kehati-hatian. Penolakan bantuan internasional juga dapat dibaca sebagai upaya mempertahankan citra kemandirian negara dalam menghadapi krisis.
Masalahnya, ketika klaim kapasitas negara tidak sejalan dengan kondisi di lapangan, penolakan tersebut berisiko menimbulkan kesenjangan penanganan. Kedaulatan tidak seharusnya dipertentangkan dengan keselamatan warga negara.
Dalam konteks bencana besar, fleksibilitas kebijakan justru menjadi ukuran kedewasaan negara. Bantuan internasional tidak selalu berarti kehilangan kendali, selama negara tetap memegang otoritas koordinasi dan pengawasan.
Perbedaan sikap antara pusat dan daerah dalam kasus ini menunjukkan perlunya evaluasi kebijakan penanggulangan bencana yang lebih terbuka dan adaptif. Ketika pemerintah daerah merasa kewalahan, suara mereka patut dijadikan pertimbangan serius, bukan sekadar gangguan terhadap narasi kemandirian nasional. Negara yang kuat bukanlah negara yang menutup diri, melainkan negara yang mampu memilah bantuan dengan cermat demi kepentingan warganya.
Penulis : Novia Azizah Purwanto | Mahasiswa prodi Ilmu Hubungan Internasional | Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik | Universitas Airlangga
Editor : Intan Permata








