Perkembangan teknologi digital telah mengubah wajah komunikasi manusia secara mendasar. Salah satu ruang interaksi yang tumbuh pesat adalah dunia game online. Selama ini, game kerap dipandang semata sebagai sarana hiburan, bahkan tidak jarang dicap sebagai aktivitas yang membuang waktu.
Pandangan tersebut semakin tidak relevan ketika game online berkembang menjadi ruang sosial, ruang ekonomi, sekaligus ruang komunikasi lintas budaya dan generasi. Di dalamnya, bahasa memainkan peran sentral yang kerap luput dari perhatian publik.
Bagi generasi muda, game online bukan sekadar tempat bermain, melainkan arena berinteraksi, bernegosiasi, bekerja sama, dan membangun identitas. Bahkan, bagi sebagian orang dewasa, game telah menjadi ladang pekerjaan melalui turnamen, siaran langsung, hingga industri kreatif berbasis konten digital.
Dalam ruang yang begitu cair dan intens ini, muncul ragam praktik kebahasaan yang kompleks, mulai dari bahasa gaul, campur kode Indonesia dan Inggris, hingga penggunaan bahasa kasar yang semakin dianggap lumrah.
Fenomena tersebut patut dibaca dalam bingkai kebijakan bahasa nasional, khususnya Tri Gatra Bahasa yang menekankan pentingnya mengutamakan bahasa Indonesia, melestarikan bahasa daerah, dan menguasai bahasa asing secara proporsional.
Bahasa dalam game online membawa dua sisi yang tidak bisa dipisahkan. Di satu sisi, ia berpotensi memperkaya kosakata dan meningkatkan kemampuan berbahasa asing, terutama bahasa Inggris, secara alamiah.
Istilah teknis, instruksi permainan, dan komunikasi lintas negara mendorong pemain untuk memahami dan menggunakan bahasa asing tanpa tekanan akademik. Proses ini sering kali berlangsung lebih efektif dibanding pembelajaran formal, karena terjadi dalam konteks yang menyenangkan dan berulang.
Interaksi antarpemain dari berbagai daerah juga membuka ruang toleransi linguistik. Pemain dapat mengenal variasi logat, pilihan kata, serta gaya berbicara yang berbeda. Situasi ini, jika disadari dan dikelola dengan baik, justru dapat memperluas wawasan kebahasaan dan memperkuat rasa saling menghargai. Dunia game, dalam konteks ini, berpotensi menjadi wahana pembelajaran sosial dan bahasa yang inklusif.
Pandangan yang menempatkan game online semata sebagai ancaman bagi generasi muda perlu dikaji ulang. Dalam sejumlah kasus, game justru menjadi medium pembentukan keterampilan sosial dan kognitif. Sebuah video yang beredar di media sosial memperlihatkan seorang ibu yang mengaku tidak khawatir melihat anaknya bermain game di rumah.
Ia menilai anaknya belajar bersosialisasi, membangun pertemanan lintas negara, memahami strategi, hingga mengelola sumber daya virtual yang menuntut kesabaran dan perencanaan. Pengalaman semacam ini menunjukkan bahwa game tidak selalu identik dengan kemunduran, melainkan dapat menjadi sarana pembelajaran kontekstual yang relevan dengan dunia digital.
Namun, potensi positif tersebut tidak meniadakan risiko yang menyertainya. Salah satu dampak yang patut dicermati adalah menurunnya kesadaran berbahasa Indonesia yang baik dan santun. Dalam banyak komunitas game, penggunaan bahasa campuran dan ujaran kasar telah menjadi praktik sehari-hari.
Kata makian dan ekspresi verbal bernada merendahkan sering muncul saat emosi memuncak. Kebiasaan ini tidak hanya merusak suasana permainan, tetapi juga berpotensi terbawa ke ruang komunikasi lain di luar game.
Bahasa yang digunakan secara berulang membentuk kebiasaan berpikir dan bersikap. Ketika ujaran kasar dianggap wajar, batas kesantunan pun perlahan terkikis. Dalam konteks kebijakan bahasa, situasi ini berisiko menggeser posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Alih-alih menjadi alat pemersatu, bahasa Indonesia terpinggirkan oleh campuran istilah asing dan ekspresi verbal yang miskin etika. Padahal, bahasa mencerminkan karakter penuturnya sekaligus wajah budaya suatu bangsa.
Tekanan komunikasi cepat dalam game turut memperparah situasi. Demi efisiensi, pemain mengandalkan singkatan, akronim, dan istilah internal yang hanya dipahami sesama pemain. Praktik ini sebenarnya wajar dalam komunitas tertutup.
Masalah muncul ketika bahasa tersebut dipenuhi ungkapan kasar dan ditiru oleh anak-anak yang belum memiliki filter linguistik yang matang. Pengaruh streamer dan pembuat konten turut memperluas dampak ini. Bahasa yang digunakan figur publik digital dengan jutaan penonton mudah ditiru, tanpa mempertimbangkan konteks usia dan etika komunikasi.
Kondisi tersebut menimbulkan kekhawatiran akan kemampuan generasi muda dalam menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar, khususnya dalam konteks formal. Ketika ruang digital didominasi bahasa yang serba ringkas dan agresif, kemampuan menyusun kalimat yang runtut, sopan, dan argumentatif berisiko tergerus. Di sinilah pentingnya membedakan konteks kebahasaan tanpa menormalisasi penyimpangan etika.
Ironisnya, bahasa Indonesia justru jarang diposisikan sebagai bahasa utama dalam game, meskipun mayoritas pemain berasal dari Indonesia. Istilah campuran seperti ungkapan evaluatif terhadap kemampuan pemain, istilah kemenangan, atau ajakan strategi semakin mendominasi.
Penggunaan ini memang mencerminkan dinamika global dan budaya populer, tetapi jika dilakukan tanpa kesadaran, bahasa Indonesia berpotensi kehilangan ruang ekspresinya sendiri. Padahal, bahasa Indonesia memiliki kekayaan kosakata yang adaptif dan mampu menampung konsep modern tanpa kehilangan daya tarik.
Menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama dalam game bukan berarti menolak bahasa asing. Sebaliknya, hal ini menegaskan sikap berbahasa yang seimbang dan berdaulat. Bahasa Indonesia dapat tampil modern, fleksibel, dan relevan tanpa harus tunduk sepenuhnya pada dominasi istilah asing. Kesadaran ini penting untuk ditanamkan sejak dini, terutama di kalangan generasi muda yang hidup dalam arus globalisasi digital.
Upaya menjaga etika dan kualitas berbahasa di dunia game tidak bisa dibebankan pada individu semata. Peran orang tua menjadi krusial dalam mendampingi anak, baik melalui pengawasan waktu bermain maupun pemilihan jenis game yang sesuai. Keterlibatan aktif orang tua dalam memahami dunia digital anak akan membantu membangun dialog yang sehat tentang bahasa dan perilaku.
Lembaga pendidikan pun memiliki tanggung jawab strategis. Literasi digital seharusnya tidak berhenti pada kemampuan teknis, tetapi mencakup kesadaran berbahasa dan etika komunikasi di ruang virtual.
Sejumlah kajian menunjukkan bahwa lingkungan digital yang tidak terkontrol dapat memengaruhi perilaku berbahasa anak usia sekolah dasar. Tanpa pendampingan, anak mudah menyerap pola komunikasi yang menyimpang dan menganggapnya sebagai norma.
Di tengah realitas tersebut, dunia game online tetap menyimpan peluang besar. Ia dapat menjadi ruang pembuktian bahwa bahasa Indonesia mampu bertahan dan berkembang di tengah gempuran global.
Dengan mengutamakan bahasa Indonesia, tetap menghargai bahasa daerah, dan menguasai bahasa asing secara proporsional, generasi muda tidak hanya membangun identitas sebagai pemain game yang kompeten, tetapi juga sebagai penutur bahasa yang berkarakter, sadar budaya, dan bertanggung jawab secara sosial.
Penulis : Muthi’atul ‘Azmiyah | Program Studi Tadris (Pendidikan) Bahasa Indonesia | UIN Raden mas Said Surakarta
Editor : Intan Permata









