Bandung, Sorotnesia.com – Butiran pasir masih menyimpan hangat matahari siang ketika dua remaja kembar itu berdiri berseberangan dengan lawan. Telapak kaki mereka menjejak pasir yang tak pernah benar-benar diam, sementara sorak penonton sesekali pecah, mengikuti reli demi reli yang berlangsung cepat.
Di lapangan terbuka itu, Silva Anaya Nurperisa dan Silvi Anaya Nurperisa bergerak selaras. Lompatan, sapuan tangan, dan teriakan singkat di antara mereka seolah membentuk bahasa sendiri, bahasa yang hanya dipahami oleh dua jiwa yang tumbuh bersama.
Di usia 16 tahun, banyak remaja masih menimbang mimpi dan arah hidup. Namun bagi Silva dan Silvi, jalur itu telah terbentang sejak mereka masih mengenakan seragam merah putih kelas satu sekolah dasar. Voli bukan sekadar aktivitas sore atau pelarian dari rutinitas belajar. Olahraga itu telah menjelma menjadi ruang tumbuh, tempat mereka mengenal disiplin, kelelahan, sekaligus harapan.
Perkenalan pertama dengan bola voli bukan datang dari kebetulan. Ayah mereka, yang kala itu aktif melatih atlet-atlet senior, perlahan mengenalkan dunia voli kepada kedua putrinya. Dari bola yang semula terasa terlalu besar untuk tangan kecil mereka, hingga gerakan dasar yang dilakukan sambil bermain. Hari demi hari berlalu, dan apa yang bermula sebagai permainan berubah menjadi kebiasaan. Dari kebiasaan, lahirlah rasa cinta.
“Pertama kali kenal voli itu waktu SD kelas satu. Sedikit demi sedikit dikenalkan ke bola voli sama ayah, kebetulan ayah melatih kakak-kakak senior,” ujar Silva, mengenang masa awal itu.
Seiring waktu, ketertarikan mereka mengerucut pada voli pasir. Cabang olahraga yang menuntut ketangguhan lebih, baik secara fisik maupun mental. Berbeda dengan voli indoor, pasir menghadirkan tantangan berlapis. Setiap langkah terasa lebih berat, setiap lompatan menguras tenaga dua kali lipat. Pasir yang tidak stabil memaksa tubuh dan pikiran bekerja ekstra, menjaga keseimbangan dan fokus.
Untuk bisa berdiri di lapangan pertandingan, perjalanan yang mereka tempuh jauh dari kata instan. Latihan panjang, jadwal padat, dan rasa lelah yang sering tidak terlihat menjadi bagian dari keseharian. Mereka belajar menerima kritik, menelan evaluasi, dan membenahi kesalahan berulang kali. Hingga akhirnya, kompetisi pertama pun mereka jalani.
Debut itu belum menghadirkan podium. Namun posisi juara empat justru menjadi salah satu momen paling berkesan. Bagi Silva dan Silvi, hasil tersebut bukan kegagalan, melainkan bukti bahwa proses yang mereka jalani memiliki arah. Itu adalah pintu pertama menuju perjalanan yang lebih panjang, perjalanan seorang atlet.
Jatuh, Bangkit, dan Menang
Dalam dunia olahraga, kemenangan dan kekalahan berjalan berdampingan. Silva dan Silvi telah merasakan keduanya. Dari sekian banyak turnamen yang mereka ikuti, dua momen tertanam kuat dalam ingatan.

Silva Anaya Nurperisa dan Silvi Anaya Nurperisa saat menerima medali kemenangan. Momen ini menjadi salah satu tonggak penting dalam perjalanan mereka, pembuktian bahwa proses panjang, latihan berat, dan kedisiplinan akhirnya berbuah prestasi. Foto: Dokumentasi Pribadi
Yang pertama adalah kemenangan di ajang POPDA XIV 2025 di Kota Bandung pada September. Melalui latihan yang konsisten, fokus yang terjaga, dan kepercayaan satu sama lain sebagai pasangan, mereka berhasil meraih juara pertama. Gelar itu bukan sekadar angka di papan skor, melainkan penanda bahwa mereka bertumbuh dan layak diperhitungkan.
Namun sebelum momen manis itu, ada kepahitan yang lebih dulu singgah. Pada Kejuaraan Nasional di Sidoarjo, Agustus 2025, harapan harus berhadapan dengan kenyataan. Kekalahan menjadi bagian dari cerita. Bagi sebagian orang, kalah hanyalah hasil. Namun bagi Silva dan Silvi, kekalahan itu menjadi ruang belajar, tempat mental ditempa agar lebih dewasa.
Menurut mereka, tantangan terbesar dalam latihan bukan hanya teknik atau kekuatan lawan. Musuh utama justru datang dari dalam diri. Rasa malas, lelah, bosan, gugup, hingga takut kerap muncul tanpa aba-aba. Ketika berhadapan dengan lawan yang tampak lebih siap dan berpengalaman, kepercayaan diri menjadi fondasi utama. Di atas pasir, keyakinan sering kali menentukan performa.

Silva dan Silvi bersama sosok yang berperan besar dalam perjalanan mereka: pelatih sekaligus ayah. Dukungan keluarga menjadi fondasi kuat yang membuat keduanya terus berani bermimpi lebih tinggi. Foto: Dokumentasi Pribadi
Perjalanan mereka juga tak pernah lepas dari dukungan orang-orang terdekat. Orang tua menjadi sumber energi yang tak pernah surut, sementara pelatih hadir sebagai sosok yang membentuk disiplin dan karakter. Ada satu nasihat yang terus mereka genggam hingga hari ini.
“Kalau sudah memutuskan menekuni satu bidang, jadilah orang yang konsisten. Di situlah kunci keberhasilan,” demikian pesan sang pelatih yang mereka simpan erat.
Bagi Silva dan Silvi, konsistensi bukan hanya soal datang ke latihan, tetapi tentang setia pada mimpi, bahkan ketika jalan terasa berat.
Dua Atlet, Satu Impian
Sebagai anak kembar, mereka kerap dianggap memiliki persaingan alami. Namun di lapangan, kenyataan justru berlawanan. Silva dan Silvi bukan rival. Mereka adalah tim. Mereka tumbuh bersama, jatuh bersama, dan bangkit bersama. Ikatan batin sebagai kembar memberi keunggulan tersendiri. Sering kali, cukup dengan satu tatapan, strategi sudah dipahami tanpa perlu kata.
Kini, di usia yang masih belia, keduanya memandang masa depan dengan lebih jernih. Mereka sadar perjalanan ini masih panjang. Masih banyak lapangan yang menanti, masih banyak pelajaran yang harus dipelajari.
“Terima kasih sudah bertahan sejauh ini. Kamu hebat, kamu kuat,” ucap Silva, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
Silva dan Silvi bukan sekadar dua atlet muda yang sedang menapaki karier. Mereka adalah potret dedikasi, kerja keras, dan kecintaan pada olahraga. Dari langkah kecil di usia tujuh tahun, kini mereka berdiri sebagai harapan baru bagi voli pasir Indonesia.
Penulis : Citra Dwi Wahyu Anggraeni | Mahasiswa Ilmu Komunikasi
Editor : Intan Permata









