Perbedaan pandangan dalam Islam, khususnya dalam wilayah fikih, kerap disalahpahami sebagai sumber perpecahan umat. Di ruang publik, terutama media sosial, perbedaan mazhab sering direduksi menjadi pertarungan benar dan salah yang kaku, bahkan berujung pada saling menafikan.
Cara pandang semacam ini tidak hanya menyederhanakan persoalan, tetapi juga mengabaikan tradisi intelektual Islam yang sejak awal justru tumbuh melalui perbedaan.
Jika ditelusuri secara historis dan metodologis, perbedaan fikih bukanlah anomali, apalagi ancaman bagi Islam. Ia merupakan konsekuensi wajar dari proses ijtihad dalam memahami wahyu. Sejak masa sahabat Nabi Muhammad saw., perbedaan pendapat telah hadir dalam penafsiran teks maupun penerapan hukum.
Para sahabat tidak selalu mencapai kesimpulan yang sama, namun perbedaan itu tidak pernah dipahami sebagai gangguan terhadap iman atau persatuan umat. Ia diterima sebagai bagian dari dinamika berpikir dalam koridor keilmuan.
Akar Perbedaan Mazhab dalam Fikih
Mazhab-mazhab fikih yang dikenal hari ini lahir dari konteks yang berbeda-beda. Imam Abu Hanifah mengembangkan metode yang memberi ruang luas pada ra’yu dan qiyas karena keterbatasan hadis di Kufah.
Imam Malik menempatkan praktik penduduk Madinah sebagai rujukan utama karena dianggap merepresentasikan tradisi Nabi. Imam Syafi‘i menyusun kerangka usul fikih yang sistematis untuk menata cara beristinbat hukum, sementara Imam Ahmad bin Hanbal menunjukkan kehati-hatian ekstrem dengan memprioritaskan hadis. Perbedaan pendekatan ini wajar menghasilkan ragam kesimpulan hukum.
Keragaman tersebut tidak menyentuh ranah akidah, melainkan berada di wilayah furu’, bukan ushul agama. Al-Syathibi dalam Al-Muwafaqat menegaskan bahwa perbedaan dalam perkara cabang adalah keniscayaan yang tidak menggoyahkan fondasi agama. Dengan demikian, memperlakukan perbedaan fikih sebagai ancaman berarti salah memahami struktur dasar ajaran Islam.
Ikhtilaf sebagai Rahmat, Bukan Petaka
Dalam tradisi keilmuan Islam, ikhtilaf diposisikan sebagai rahmat selama dijaga dalam koridor ilmiah dan etika keilmuan. Imam Nawawi menegaskan bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama mujtahid tidak terelakkan dan tidak boleh menjadi alasan untuk saling menyalahkan.
Prinsip ini diperkuat oleh kaidah fikih yang masyhur: tidak boleh mengingkari perkara yang diperselisihkan, tetapi wajib mengingkari perkara yang telah disepakati. Kaidah ini menjadi fondasi toleransi antar-mazhab dalam Islam klasik, meski kerap diabaikan dalam praktik keberagamaan kontemporer.
Konteks Indonesia: Toleransi sebagai Keniscayaan
Konteks Indonesia memperlihatkan bagaimana perbedaan fikih justru menjadi kekuatan. Organisasi keagamaan besar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah memiliki pendekatan fikih yang berbeda, namun keduanya berperan penting dalam menjaga keutuhan Islam dan kebangsaan.
NU cenderung berpegang pada mazhab Syafi‘i dengan tradisi pesantren yang kuat, sementara Muhammadiyah menekankan ijtihad dan pemurnian ajaran berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah. Perbedaan ini tidak melahirkan konflik teologis, melainkan memperkaya praktik keberagamaan dan memperluas daya adaptasi Islam di tengah perubahan sosial.

Mengapa Perbedaan Fikih Tidak Mengancam Islam
Ancaman terhadap Islam sesungguhnya tidak bersumber dari perbedaan fikih, melainkan dari sikap eksklusif dan klaim kebenaran tunggal. Ketika fikih yang merupakan hasil ijtihad manusia diposisikan setara dengan wahyu, ruang dialog tertutup dan perbedaan berubah menjadi permusuhan.
Gus Baha’ kerap mengingatkan bahwa fikih adalah karya intelektual ulama yang luhur, namun tetap bersifat manusiawi dan kontekstual. Kesadaran ini penting untuk menjaga proporsi antara teks ilahi dan pemahaman manusia.
Sejarah Islam menunjukkan bahwa peradaban justru berkembang dalam suasana perbedaan yang dikelola dengan adab dan ilmu. Keseragaman yang dipaksakan tidak pernah menjadi prasyarat kejayaan, sementara perbedaan yang disertai kedewasaan melahirkan dinamika intelektual yang sehat.
Toleransi antar-mazhab bukan sekadar sikap sosial, melainkan bagian dari tradisi intelektual Islam itu sendiri. Perbedaan fikih tidak pernah mengancam Islam karena ia lahir dari semangat yang sama untuk mengabdi pada kebenaran wahyu. Yang perlu dijaga bukan keseragaman pendapat, melainkan etika dalam menyikapi perbedaan. Islam tidak rapuh oleh ikhtilaf, tetapi bisa melemah ketika adab dan keluasan berpikir ditinggalkan.
Editor : Anisa Putri









