Arus globalisasi dan percepatan teknologi digital telah membentuk lanskap sosial yang sepenuhnya baru bagi generasi muda Indonesia. Anak muda tumbuh dalam dunia yang serba cepat, terbuka, dan dipenuhi arus informasi lintas batas.
Dalam situasi seperti ini, nilai-nilai Pancasila menghadapi tantangan yang tidak ringan. Pancasila kerap dipersempit maknanya menjadi sekadar hafalan lima sila atau simbol seremonial, bukan sebagai pedoman etis yang hidup dalam praktik keseharian.
Kondisi tersebut patut menjadi perhatian serius. Generasi muda adalah pewaris masa depan bangsa, sekaligus penentu arah Indonesia di tengah kompetisi global. Jika Pancasila kehilangan daya hidupnya di kalangan anak muda, yang terancam bukan hanya keberlanjutan ideologi negara, tetapi juga kohesi sosial dan karakter kebangsaan itu sendiri. Karena itu, upaya membangkitkan kembali semangat Pancasila tidak dapat ditunda, apalagi dianggap sebagai urusan pinggiran.
Persoalan utamanya bukan terletak pada relevansi Pancasila. Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial tetap kontekstual di era digital. Tantangannya justru berada pada cara penyampaian dan penghayatan.
Pancasila tidak perlu dimodernkan dari sisi makna, tetapi harus dihadirkan dengan pendekatan yang selaras dengan pengalaman hidup generasi muda. Ketika Pancasila disampaikan secara dogmatis dan berjarak, ia kehilangan daya tarik. Sebaliknya, ketika nilai-nilainya dibumikan dalam realitas yang mereka hadapi, Pancasila menemukan kembali relevansinya.
Ruang digital menyediakan contoh konkret pengamalan Pancasila. Sikap toleran dalam perbedaan pandangan, penolakan terhadap perundungan siber, keberanian melawan ujaran kebencian, serta kesediaan berdialog secara setara mencerminkan nilai kemanusiaan dan musyawarah.
Demikian pula kepedulian terhadap isu sosial, lingkungan, dan keadilan menunjukkan bahwa sila-sila Pancasila bukan konsep abstrak, melainkan etika publik yang dapat diwujudkan secara nyata.
Dalam konteks ini, anak muda tidak boleh diposisikan hanya sebagai objek pendidikan ideologi, melainkan sebagai subjek yang aktif dan kreatif. Mereka memiliki peran strategis sebagai agen perubahan.
Melalui karya seni, konten digital, gerakan komunitas, hingga inovasi sosial, nilai-nilai Pancasila dapat dihidupkan dengan bahasa dan medium yang akrab bagi generasi mereka. Ketika Pancasila hadir dalam bentuk yang partisipatif dan membebaskan, bukan sebagai ceramah yang menggurui, rasa memiliki terhadap ideologi bangsa tumbuh secara organik.
Tanggung jawab membangkitkan Pancasila juga tidak dapat dibebankan sepenuhnya kepada sekolah atau institusi formal. Keluarga, media, komunitas, dan negara memiliki peran yang saling melengkapi. Pendidikan Pancasila harus bergerak dari sekadar transfer pengetahuan menuju pembentukan kesadaran etis dan keberanian bersikap. Tanpa teladan dan ruang praktik yang nyata, Pancasila akan tetap berada di ranah slogan.
Menjadikan Pancasila sebagai nilai hidup di kalangan anak muda berarti menyiapkan fondasi jangka panjang bagi ketahanan bangsa. Di tengah perubahan global yang terus bergulir, Indonesia membutuhkan generasi yang terbuka terhadap dunia, tetapi tetap berakar pada nilai kebangsaan. Pancasila, jika dihayati secara kontekstual dan kritis, bukan penghambat kemajuan, melainkan penuntun agar kemajuan tidak kehilangan arah.
Penulis : Nauval Fadhul Aziz | Kewirausahaan | Institut Teknologi Muhammadiyah Sumatra
Editor : Intan Permata









