Lonjakan harga cabai di Kabupaten Musi Rawas hingga menembus Rp 80.000 per kilogram bukan sekadar fluktuasi angka di pasar tradisional. Kenaikan ini mencerminkan persoalan yang lebih dalam tentang rapuhnya sistem pangan, khususnya ketika berhadapan dengan cuaca ekstrem.
Di balik harga yang melambung, terdapat realitas dapur rumah tangga yang harus berhemat, pedagang kecil yang serba salah menentukan harga jual, serta petani yang belum tentu menikmati keuntungan dari situasi tersebut.
Cabai memiliki posisi penting dalam budaya konsumsi masyarakat. Hampir setiap hidangan mengandalkan komoditas ini sebagai penentu rasa. Ketika harganya melonjak tajam, dampaknya terasa langsung dan nyata.
Rumah tangga menyesuaikan pola belanja, mengurangi porsi, atau mencari alternatif instan yang kualitas rasanya berbeda. Bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, kenaikan harga cabai mempersempit ruang gerak ekonomi yang sudah tertekan oleh naiknya kebutuhan pokok lain.
Penyebab utama lonjakan harga ini berkaitan erat dengan cuaca buruk dan keterbatasan pasokan. Curah hujan tinggi mengganggu proses distribusi dari daerah penghasil, sekaligus memengaruhi produktivitas di tingkat petani.
Tanaman cabai rentan rusak, masa panen tertunda, dan biaya perawatan meningkat. Dalam situasi semacam ini, harga tinggi di pasar tidak otomatis berarti kesejahteraan petani ikut terangkat. Sebaliknya, risiko gagal panen justru memperbesar kerentanan mereka.
Kondisi tersebut menegaskan bahwa sistem pangan lokal masih sangat sensitif terhadap perubahan iklim. Gangguan cuaca tidak hanya berdampak pada produksi di lahan, tetapi juga mengguncang stabilitas harga dan psikologi pasar. Tekanan akan semakin terasa ketika kebutuhan meningkat pada momen tertentu, sementara pasokan tidak mampu mengikuti permintaan.
Masalah ini seharusnya tidak diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Peran negara dan pemerintah daerah menjadi krusial untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan petani, pedagang, dan konsumen.
Penguatan distribusi, pengelolaan stok penyangga, operasi pasar yang tepat sasaran, serta pendampingan petani dalam menghadapi cuaca ekstrem perlu dijalankan secara konsisten. Tanpa intervensi kebijakan yang terukur, gejolak harga akan terus berulang dan merugikan banyak pihak.
Lonjakan harga cabai di Musi Rawas menjadi pengingat bahwa ketahanan pangan tidak berhenti pada soal produksi semata. Ia juga menyangkut rasa aman masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari serta keadilan bagi seluruh pelaku rantai pangan. Stabilitas harga bukan hanya soal dapur yang kembali terjangkau, tetapi juga tentang kehadiran negara dalam memastikan sistem pangan bekerja secara berimbang dan berkelanjutan.
Penulis : Agus Supriyanto | Kewirausahaan | Institut Teknologi Muhammadiyah Sumatra
Editor : Anisa Putri








