Dakwah di Indonesia memiliki akar sejarah panjang. Salah satu tonggak terpentingnya adalah peran Walisongo pada abad ke-15 dan ke-16. Mereka tidak hanya menyebarkan ajaran Islam, tetapi juga membangun fondasi sosial, budaya, dan pendidikan yang memungkinkan Islam tumbuh secara damai dalam masyarakat Nusantara.
Perubahan zaman membawa tantangan baru, dari masyarakat agraris menuju masyarakat digital. Namun nilai dan strategi dakwah Walisongo tetap menawarkan rujukan yang relevan. Pertanyaan pentingnya adalah bagaimana strategi itu diterapkan dalam konteks Indonesia kontemporer.
Dakwah Humanis yang Berakar pada Budaya
Walisongo menempatkan budaya lokal sebagai pintu masuk dakwah. Perubahan tidak dipaksakan secara frontal, melainkan dilakukan melalui proses akulturasi. Nilai Islam dipadukan dengan seni, tradisi, dan praktik sosial yang telah hidup di tengah masyarakat. Pendekatan ini membuat Islam hadir tanpa menimbulkan benturan yang tidak perlu.
Pendekatan tersebut tetap relevan saat ini. Dakwah tidak dapat ditempatkan pada posisi yang memusuhi budaya lokal. Pendakwah perlu hadir secara inklusif dengan menghargai kearifan lokal di berbagai daerah. Masyarakat Indonesia semakin majemuk, baik secara etnis, tingkat pendidikan, maupun pandangan keagamaan. Oleh karena itu, dakwah yang humanis, dialogis, dan sensitif terhadap perbedaan menjadi kebutuhan.
Generasi muda yang akrab dengan arus informasi cepat menuntut pendekatan komunikasi yang cermat. Di sinilah pelajaran Walisongo berlaku. Pendekatan kultural membuat dakwah tidak hanya terdengar, tetapi juga diterima karena terasa dekat dengan pengalaman sosial masyarakat.
Pemanfaatan Teknologi dan Media Digital
Perbedaan utama antara masa Walisongo dan masa kini terletak pada medium dakwah. Jika dulu dakwah berlangsung melalui pergaulan sosial, pengajaran di pesantren, atau pertunjukan seni, kini ruang dakwah melebar ke media digital seperti media sosial, podcast, platform video, dan diskusi dalam jaringan.
Meski mediumnya berubah, esensinya tetap sama: dakwah yang santun, mencerahkan, dan membangun keinsafan moral. Semangat Walisongo adalah memilih media yang efektif untuk menyampaikan pesan keagamaan. Di masa kini, semangat tersebut menuntut penguasaan literasi digital. Para dai dan penggiat dakwah perlu memahami cara kerja algoritma, etika bermedia, serta dinamika percakapan publik agar pesan keislaman mampu bersaing dengan arus informasi lain yang begitu deras.
Penguasaan teknologi tidak cukup berhenti pada kemampuan teknis. Yang lebih penting adalah memastikan bahwa pesan keagamaan tetap mengedepankan nilai rahmah, menghindari ujaran kebencian, dan mendorong terciptanya ruang publik yang sehat.
Keteladanan sebagai Substansi Dakwah
Keberhasilan dakwah Walisongo lahir dari keteladanan personal. Integritas, kesederhanaan, dan akhlak mulia menjadi modal utama yang menumbuhkan kepercayaan masyarakat. Dakwah tidak berhenti pada retorika, tetapi diwujudkan dalam etika sehari-hari.
Dalam konteks saat ini, keteladanan menjadi semakin penting. Arus informasi yang cepat sering kali menghadirkan tokoh yang mudah bicara tetapi rapuh dalam konsistensi moral. Masyarakat membutuhkan figur yang memberi contoh nyata, baik dalam kehidupan sosial maupun etika berkomunikasi di ruang digital. Nilai kejujuran, tanggung jawab, adab berdialog, kepedulian terhadap kelompok lemah, dan empati sosial menjadi inti dakwah yang perlu dipraktikkan sebelum diserukan.
Pendidikan sebagai Jantung Dakwah
Salah satu warisan strategis Walisongo ialah pendirian pesantren. Lembaga ini menyiapkan kader keilmuan sekaligus pusat pembentukan karakter. Strategi tersebut relevan untuk masa kini melalui penguatan pendidikan formal dan nonformal. Pendidikan agama perlu dipadukan dengan literasi digital, wawasan kebangsaan, serta pemahaman keagamaan yang moderat.
Pendidikan yang inklusif, bebas dari kekerasan verbal, dan peka terhadap isu-isu kontemporer seperti perubahan sosial, lingkungan, dan kesejahteraan sosial menjadi modal penting untuk memastikan keberlanjutan dakwah. Dengan demikian, dakwah tidak berhenti pada aktivitas seremonial, melainkan berperan dalam membentuk warga yang bertanggung jawab dan toleran.
Dakwah Kolaboratif dan Moderat
Walisongo berhasil membangun jaringan sosial yang luas. Mereka menjalin hubungan produktif dengan pemimpin lokal, pedagang, dan berbagai lapisan masyarakat. Pengalaman ini menunjukkan bahwa dakwah bukan kerja individual. Kolaborasi dengan tokoh agama, akademisi, pemerintah, komunitas seni, dan kelompok anak muda diperlukan untuk memperluas jangkauan dakwah serta memperkaya perspektif.
Moderasi beragama menjadi pilar penting. Walisongo menunjukkan kemampuan mendamaikan adat dan syariat tanpa merendahkan salah satunya. Dalam situasi kontemporer yang rawan polarisasi identitas, pendekatan moderat ini relevan untuk meredam ekstremisme dan memperkuat persatuan sosial. Dakwah yang memupuk toleransi dan menghargai perbedaan sejalan dengan kebutuhan demokrasi Indonesia.
Penutup
Strategi dakwah Walisongo tetap aktual karena bertumpu pada nilai universal: kebijaksanaan, keteladanan moral, penghargaan pada budaya, komitmen terhadap pendidikan, dan keberpihakan pada kemanusiaan. Perubahan teknologi dan gaya hidup tidak mengurangi relevansi nilai tersebut. Yang diperlukan adalah pemaknaan baru dan penerapan kreatif sesuai perkembangan zaman.
Dengan mengintegrasikan nilai-nilai itu ke dalam ruang digital, institusi pendidikan, serta kehidupan sosial masyarakat modern, dakwah di Indonesia dapat terus berkembang secara damai, argumentatif, dan mencerdaskan. Dakwah tidak cukup hanya mengajak, tetapi juga membangun peradaban yang menghormati martabat manusia.
Penulis : Muhammad Alief Rezky Alvallent | Prodi Perbandingan Mazhab | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor : Anisa Putri









