Dampak Psikologis Pemutusan Hubungan Kerja

- Redaksi

Selasa, 29 Juli 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi Di balik langkah mantap mantan pekerja, ada bayangan luka psikologis yang terus mengikuti dalam diam. (GG)

Ilustrasi Di balik langkah mantap mantan pekerja, ada bayangan luka psikologis yang terus mengikuti dalam diam. (GG)

Pemutusan hubungan kerja (PHK) bukan sekadar peristiwa ekonomi yang berdampak pada pendapatan seseorang. Di balik angka dan laporan statistik, terdapat tekanan emosional mendalam yang dialami individu yang kehilangan pekerjaan.

Tingginya angka PHK di Indonesia menunjukkan bahwa dampak psikologis tidak bisa diabaikan, karena kehilangan pekerjaan dapat mengguncang stabilitas hidup dan kesejahteraan mental seseorang.

Kondisi psikologis pekerja yang mengalami PHK sering kali terguncang. Mereka menghadapi kehilangan pendapatan, hilangnya identitas sosial yang terbentuk melalui peran profesional, dan berubahnya rutinitas harian yang telah dijalani selama bertahun-tahun. Semua ini menjadikan PHK sebagai stresor utama dalam kehidupan.

Menurut teori Cognitive Appraisal yang dikemukakan Lazarus dan Folkman (1984), stres muncul ketika seseorang menilai suatu situasi sebagai ancaman, sementara mereka merasa tidak memiliki cukup sumber daya untuk menghadapinya. Dalam konteks PHK, ketidakpastian masa depan dan ancaman terhadap kestabilan hidup menjadi sumber tekanan besar yang sulit dielakkan.

Penelitian Paul dan Moser (2009) memperkuat hal ini, menunjukkan bahwa tingkat depresi pada individu yang kehilangan pekerjaan dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang masih bekerja. Tak hanya itu, PHK juga dapat mengganggu hubungan sosial dan dinamika keluarga, karena tekanan emosional yang meningkat turut memengaruhi suasana di rumah.

Baca Juga :  Moderasi Beragama Sebagai Sarana Pemersatu Bangsa

Di Bali, data dari Dinas Tenaga Kerja Provinsi Bali mencatat bahwa sepanjang Januari hingga April 2025, terdapat 118 pekerja terkena PHK. Angka ini sudah melampaui total PHK sepanjang tahun 2024 yang berjumlah 116 orang. Kabupaten Badung menjadi wilayah dengan angka tertinggi, yakni 100 pekerja di sektor pariwisata. Sementara itu, di Kota Denpasar, hingga Juni 2025, tercatat 74 orang terkena PHK, terutama dari sektor perdagangan dan jasa.

Ironisnya, meski sektor pariwisata Bali mulai bangkit, PHK masih terjadi karena berbagai faktor seperti efisiensi biaya dan restrukturisasi organisasi. Ini memperlihatkan bahwa pertumbuhan ekonomi belum tentu menjamin stabilitas tenaga kerja.

Namun, kondisi ini bukan tanpa solusi. Dukungan sosial dari keluarga, teman, hingga komunitas profesional menjadi salah satu pilar penting dalam proses pemulihan psikologis. Selain itu, pendekatan psikologi positif seperti pelatihan ketahanan mental (resilience training) dapat memperkuat kemampuan individu menghadapi situasi sulit.

Intervensi profesional, seperti konseling kerja, terapi kognitif perilaku, hingga pelatihan keterampilan baru, terbukti efektif dalam mempercepat pemulihan. Di sisi lain, perusahaan juga memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk membantu karyawan yang terdampak melalui program seperti outplacement, pelatihan ulang (retraining), serta penyediaan layanan psikologis.

Baca Juga :  Revolusi Gaya Hidup Digital: Ketika Kita Kehilangan Sentuhan Manusia

Penanganan dampak psikologis PHK memerlukan sinergi dari berbagai pihak seperti psikolog, ekonom, perusahaan, dan pemerintah. Ketika perubahan dalam dunia kerja berlangsung semakin cepat akibat otomatisasi dan teknologi, sistem perlindungan sosial yang adaptif menjadi semakin mendesak. Oleh karena itu, perhatian terhadap kesehatan mental pasca PHK harus menjadi prioritas dalam setiap kebijakan ketenagakerjaan.

Daftar Pustaka
  • Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, Appraisal, and Coping. Springer Publishing Company.
  • Paul, K. I., & Moser, K. (2009). Unemployment impairs mental health: Meta-analyses. Journal of Vocational Behavior, 74(3), 264–282.
  • Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2019). Organizational Behavior (18th ed.). Pearson.
  • Santrock, J. W. (2021). Psychology: Essentials (6th ed.). McGraw-Hill Education.
  • Satu Data Kemenaker Indonesia. (2025). Data Jumlah PHK Januari–Juni 2025. https://satudata.kemnaker.go.id
  • Kompas.TV. (2025). PHK di Bali Meningkat, 118 Pekerja Kehilangan Pekerjaan dalam 4 Bulan Terakhir.
  • Kompas.com. (2025). 100 Pekerja Pariwisata Bali Kena PHK Sejak Awal 2025.
  • BaliPost.com. (2025). Puluhan Orang di Denpasar Kena PHK.

Penulis : Ni Kadek Diah Shinta Kartika, S.Psi., M.Psi., Psikolog | Prodi Psikologi | Universitas Triatma Mulya

Editor : Anisa Putri

Follow WhatsApp Channel sorotnesia.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Pendidikan Beretika Pancasila Sebagai Pilar Peradaban Dunia
Rahasia Kunyit: Si Kuning Cerah yang Bikin Makanan Makin Menggoda dan Sehat!
Mengapa Makanan Berwarna Lebih Menarik Dibanding yang Hanya Satu Warna
Mengupas Kandungan Gizi Mie Gacoan: Antara Kenikmatan dan Lonjakan Gula Darah
Tinggi Protein Bukan Jaminan Sehat: Saatnya Anak Muda Lebih Cerdas Pilih Asupan Gizi
Menumbuhkan Nilai, Bukan Sekadar Hasil: Cerita tentang Peran Agroindustri di Tanah Air
Green Economy dimulai dari Sawah: Mengenal Agroindustri Hijau yang Menyelamatkan Masa Depan
5 Keajaiban Pati Jagung: Si Kecil Serbaguna yang Bikin Tubuh Sehat dan Makanan Makin Nikmat!

Berita Terkait

Rabu, 5 November 2025 - 13:54 WIB

Pendidikan Beretika Pancasila Sebagai Pilar Peradaban Dunia

Senin, 3 November 2025 - 19:59 WIB

Rahasia Kunyit: Si Kuning Cerah yang Bikin Makanan Makin Menggoda dan Sehat!

Minggu, 2 November 2025 - 20:54 WIB

Mengapa Makanan Berwarna Lebih Menarik Dibanding yang Hanya Satu Warna

Kamis, 16 Oktober 2025 - 12:48 WIB

Mengupas Kandungan Gizi Mie Gacoan: Antara Kenikmatan dan Lonjakan Gula Darah

Rabu, 15 Oktober 2025 - 21:06 WIB

Tinggi Protein Bukan Jaminan Sehat: Saatnya Anak Muda Lebih Cerdas Pilih Asupan Gizi

Berita Terbaru