Media sosial telah mengubah cara generasi muda memandang diri, kerja, dan makna keberhasilan. Di ruang digital yang dipenuhi algoritma, beranda dipadati konten bertema produktivitas: rutinitas kerja sejak subuh, agenda padat harian, hingga narasi “productive day in my life” yang dikemas rapi dan inspiratif.
Konten semacam ini bukan sekadar dokumentasi aktivitas personal, melainkan representasi gaya hidup yang diproyeksikan sebagai ideal. Produktivitas tidak lagi hanya soal menyelesaikan pekerjaan, tetapi menjelma identitas sosial yang ingin ditampilkan dan diakui.
Unggahan tentang kesibukan, pencapaian, dan target yang terus dikejar kian lazim, terutama di kalangan generasi milenial dan Gen Z. Aktivitas bekerja, belajar, mengikuti pelatihan, hingga terlibat dalam berbagai proyek dipamerkan sebagai penanda nilai diri.
Di titik ini, produktivitas bergeser dari kebutuhan menjadi simbol prestise. Seseorang dinilai berharga bukan semata karena proses atau kualitas hidupnya, melainkan dari seberapa sibuk dan seberapa banyak capaian yang bisa ditampilkan di ruang publik digital.
Pada tataran tertentu, semangat produktif tentu memiliki sisi positif. Generasi muda berada pada fase kehidupan yang relatif penuh energi dan peluang. Dorongan untuk mengembangkan diri, memperluas kompetensi, dan memanfaatkan waktu secara optimal merupakan sikap yang patut diapresiasi.

Namun masalah muncul ketika produktivitas berubah menjadi standar penilaian sosial yang kaku. Dalam kondisi ini, bekerja keras tidak lagi berangkat dari kebutuhan personal atau tujuan yang disadari, melainkan dari tuntutan eksternal yang terus menekan.
Produktivitas lalu bertransformasi menjadi arena kompetisi. Waktu luang dianggap kemewahan yang mencurigakan, bahkan memunculkan rasa bersalah. Tidak melakukan sesuatu yang dianggap “bermanfaat” dipersepsikan sebagai kegagalan moral.
Pola ini secara perlahan membentuk keyakinan bahwa menjadi sibuk identik dengan menjadi ambisius, relevan, dan layak dihargai. Di kalangan anak muda, terutama Gen Z, logika ini menjelma norma sosial yang nyaris tidak dipertanyakan.
Fenomena tersebut kerap disebut sebagai hustle culture, sebuah budaya yang menempatkan kerja keras ekstrem sebagai prasyarat utama kesuksesan. Menteri Ketenagakerjaan mendefinisikan hustle culture sebagai standar sosial yang memandang keberhasilan hanya dapat diraih ketika seseorang mendedikasikan hidupnya sepenuhnya pada pekerjaan, bahkan dengan mengorbankan aspek lain kehidupan. Dalam kerangka ini, kerja ditempatkan di atas kesehatan, relasi sosial, dan kebutuhan dasar manusia.
Harga Kesehatan di Balik Budaya Hustle
Mereka yang terjebak dalam hustle culture cenderung bekerja tanpa jeda yang memadai. Waktu istirahat dipersempit, tidur dianggap dapat ditunda, dan makan sering kali tidak teratur. Kondisi ini kerap dinormalisasi, bahkan dipuji, sebagai tanda dedikasi dan etos kerja tinggi. Ironisnya, tubuh dan mental manusia memiliki batas yang tidak bisa dinegosiasikan.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa jam kerja panjang dan pola tidur tidak teratur berkontribusi signifikan terhadap penurunan kesehatan fisik dan mental. Stres kronis meningkatkan risiko penyakit jantung, gangguan metabolisme, serta gangguan kecemasan dan depresi.
Data World Health Organization dan International Labour Organization pada 2016 mencatat bahwa jam kerja lebih dari 55 jam per minggu berkontribusi pada sekitar 745 ribu kematian akibat stroke dan penyakit jantung di tingkat global. Angka ini menggambarkan biaya kesehatan yang kerap diabaikan dalam glorifikasi kerja tanpa henti.
Hustle culture juga berkaitan erat dengan burnout. Pada 2019, WHO secara resmi mengakui burnout sebagai fenomena yang berhubungan dengan tekanan kronis di tempat kerja dan memasukkannya ke dalam International Classification of Diseases (ICD-11). Burnout ditandai oleh kelelahan emosional, penurunan kinerja, serta sikap sinis terhadap pekerjaan.
Studi dalam Journal of Applied Psychology tahun 2022 menunjukkan bahwa individu yang mengalami burnout memiliki risiko 2,7 kali lebih tinggi mengalami depresi. Risiko ini bukan sekadar gangguan sementara, melainkan dapat berkembang menjadi masalah kesehatan mental serius yang memerlukan intervensi profesional.
Algoritma Media Sosial dan Tekanan Sosial Baru
Tekanan untuk terus produktif tidak hadir dalam ruang hampa. Bagi banyak Gen Z, realitas ekonomi yang semakin kompetitif memperkuat dorongan untuk bekerja lebih keras. Pasar kerja yang ketat, tuntutan keterampilan yang terus berubah, serta narasi sukses yang dipercepat membuat banyak anak muda merasa tidak memiliki pilihan selain berlari lebih kencang. Media sosial memperparah situasi ini dengan menyajikan potret pencapaian orang lain secara selektif dan repetitif.
Fenomena fear of missing out atau FOMO menjadi salah satu mekanisme psikologis yang mendorong perilaku tersebut. Ketika linimasa dipenuhi cerita tentang magang di perusahaan multinasional, konferensi internasional, atau peran strategis dalam organisasi, muncul kecemasan tertinggal dan dianggap kurang kompeten. FOMO bukan sekadar rasa iri, melainkan ketakutan akan kehilangan posisi simbolik di hadapan lingkungan sosial.
Sebagai respons, banyak anak muda membangun citra diri melalui self-branding di media sosial. Aktivitas harian dikurasi sedemikian rupa agar terlihat produktif, sibuk, dan bernilai. Proses ini memperkuat ilusi bahwa semua orang bergerak cepat dan selalu mencapai sesuatu, padahal realitas yang ditampilkan sering kali tidak mencerminkan keseluruhan hidup seseorang. Algoritma media sosial kemudian memperkuat pola ini dengan terus menyajikan konten serupa, menciptakan lingkaran umpan balik yang sulit diputus.
Dalam perspektif sosiologi kesehatan, kondisi tersebut dapat dijelaskan melalui Model Determinan Kesehatan Dahlgren dan Whitehead. Model ini menegaskan bahwa kesehatan individu tidak hanya dipengaruhi faktor biologis, tetapi juga oleh determinan sosial seperti lingkungan, kondisi ekonomi, dan norma budaya.
Hustle culture, dalam konteks ini, bukan sekadar pilihan personal, melainkan hasil dari struktur sosial dan sistem digital yang mendorong individu untuk terus produktif tanpa henti. Tekanan tersebut secara langsung maupun tidak langsung memengaruhi kesehatan generasi muda.
Produktivitas sebagai Pilihan, Bukan Kewajiban Moral
Penting untuk dicatat bahwa hustle culture tidak sepenuhnya negatif. Bagi sebagian orang, ritme kerja yang cepat dan intens dapat menjadi sarana pengembangan diri. Sejumlah tokoh global kerap mengaitkan kerja keras ekstrem dengan keberhasilan mereka. Namun menjadikan pola tersebut sebagai standar universal adalah kekeliruan. Setiap individu memiliki kapasitas fisik, kondisi psikologis, latar sosial, serta tujuan hidup yang berbeda.
Produktivitas seharusnya dipahami sebagai alat, bukan tujuan itu sendiri. Ketika kerja keras dipaksakan tanpa mempertimbangkan batas manusiawi, yang muncul bukan keberhasilan, melainkan kelelahan kolektif.
Definisi sukses pun tidak tunggal. Ada individu yang menemukan makna hidup dalam ritme kerja stabil dan kehidupan yang seimbang. Ada pula yang memilih jalur ambisius dengan konsekuensi tertentu yang disadari. Keduanya sah selama dijalani secara sadar dan proporsional.
Masalah muncul ketika validasi sosial hanya diberikan kepada mereka yang tampak paling sibuk dan paling berprestasi. Dalam kondisi tersebut, kesehatan pribadi dan relasi sosial sering menjadi korban. Keberhasilan diukur dengan standar yang terus bergerak, tanpa garis akhir yang jelas. Mengejar pengakuan semacam ini berisiko menempatkan generasi muda dalam siklus kelelahan yang berulang.
Produktivitas tidak selalu harus dipamerkan untuk memiliki makna. Nilai seseorang tidak ditentukan oleh seberapa padat jadwalnya atau seberapa sering ia terlihat bekerja. Istirahat bukan tanda kemalasan, melainkan kebutuhan dasar agar manusia dapat berfungsi secara utuh. Dengan menyadari batas ini, generasi muda memiliki peluang untuk membangun relasi yang lebih sehat dengan kerja, teknologi, dan diri mereka sendiri.
Penulis : Refalia Nurizka | Mahasiswa Universitas Brawijaya
Editor : Anisa Putri









