Keseimbangan dalam Berpendapat dan Rapuhnya Etika Ruang Publik

- Redaksi

Jumat, 26 Desember 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ruang publik Indonesia kian riuh, tetapi miskin dialog. Perbedaan pendapat yang seharusnya menjadi nadi demokrasi justru kerap berakhir pada pertengkaran terbuka, saling merendahkan, bahkan ancaman. Fenomena ini tidak berdiri sendiri. Ia mencerminkan persoalan yang lebih mendasar: kebebasan berpendapat dijalankan tanpa keseimbangan etika, seolah hak berbicara tidak lagi memerlukan tanggung jawab sosial.

Dalam beberapa tahun terakhir, eskalasi konflik verbal di ruang publik semakin mudah ditemukan. Forum diskusi, kolom komentar, hingga media sosial dipenuhi pernyataan keras yang minim argumentasi dan sarat emosi.

Perbedaan pandangan tidak diperlakukan sebagai bagian dari dinamika demokrasi, melainkan sebagai kesalahan yang harus dilawan atau dibungkam. Situasi ini menandakan pergeseran cara masyarakat memaknai kebebasan: dari sarana bertukar gagasan menjadi alat untuk mendominasi.

Masalahnya bukan pada keberagaman pendapat, melainkan pada absennya keseimbangan dalam menyampaikannya. Kebebasan berpendapat sering diposisikan sebagai hak mutlak, terlepas dari dampaknya terhadap orang lain dan ruang bersama.

Padahal, dalam kerangka demokrasi, kebebasan selalu dibatasi oleh etika publik. Tanpa batas etis, kebebasan kehilangan fungsi deliberatifnya dan berubah menjadi kebisingan yang destruktif.

Media sosial mempercepat kerusakan ini. Algoritma yang mengutamakan keterlibatan mendorong ekspresi ekstrem, bukan argumen bernalar. Pernyataan provokatif lebih cepat menyebar ketimbang analisis yang utuh.

Baca Juga :  Pengaruh Media Sosial terhadap Kesehatan Mental Remaja

Dalam ekosistem semacam ini, keseimbangan menjadi barang langka. Orang terdorong untuk bereaksi cepat, bukan berpikir jernih. Akibatnya, ruang digital bukan lagi ruang diskusi, melainkan arena kompetisi atensi yang sering kali mengorbankan etika.

Kondisi tersebut memperlihatkan krisis kedewasaan dalam kehidupan publik. Banyak orang merasa berhak berbicara, tetapi enggan mendengar. Kritik dilontarkan tanpa niat memahami, sementara perbedaan ditanggapi dengan kecurigaan.

Pola ini tidak hanya merusak kualitas percakapan publik, tetapi juga menggerogoti kepercayaan sosial. Masyarakat menjadi semakin terpolarisasi, mudah tersulut, dan sulit membangun konsensus, bahkan untuk isu yang menyangkut kepentingan bersama.

Keseimbangan dalam etika sosial seharusnya menjadi penyangga utama kebebasan berpendapat. Keseimbangan bukan berarti menahan kritik atau melunakkan sikap, melainkan menempatkan kebebasan dalam kerangka tanggung jawab.

Seseorang dapat bersikap tegas tanpa harus agresif, kritis tanpa merendahkan, berbeda tanpa meniadakan legitimasi pihak lain. Tanpa keseimbangan ini, kebebasan hanya melahirkan konflik berulang yang tidak produktif.

Sayangnya, upaya membangun keseimbangan tersebut masih lemah. Pendidikan publik lebih menekankan keberanian berbicara ketimbang kemampuan berdialog. Literasi digital sering berhenti pada aspek teknis, bukan etika.

Baca Juga :  Puskesmas Kedungwuni II Hadirkan NESSIA untuk Tingkatkan Layanan Ramah Lansia

Negara pun cenderung hadir melalui pendekatan represif regulasi dan sanksib alih-alih membangun budaya diskusi yang sehat. Pendekatan semacam ini tidak menyentuh akar persoalan, yakni rendahnya kesadaran etis dalam berpendapat.

Media massa memiliki peran strategis dalam situasi ini. Namun, ketika media ikut larut dalam polarisasi dan logika sensasional, fungsi edukatifnya ikut melemah. Ruang opini seharusnya menjadi teladan bagaimana perbedaan disampaikan secara rasional dan berimbang. Tanpa contoh yang konsisten, publik kehilangan referensi tentang cara berdebat yang beradab.

Membangun kembali etika ruang publik mensyaratkan perubahan cara pandang. Kebebasan berpendapat perlu dipahami sebagai praktik sosial, bukan sekadar hak individual. Setiap pendapat membawa konsekuensi terhadap kualitas hidup bersama. Kesadaran ini menuntut keseimbangan antara keberanian menyampaikan pandangan dan kesediaan menghormati perbedaan.

Jika keseimbangan terus diabaikan, ruang publik akan semakin bising tetapi hampa. Demokrasi tetap berjalan secara prosedural, namun kehilangan substansinya. Perbedaan pendapat tidak lagi memperkaya, melainkan memecah. Dalam situasi semacam ini, persoalannya bukan siapa yang paling lantang berbicara, melainkan siapa yang masih bersedia menjaga etika dalam kebebasan.

Penulis : Chiesa Rivaldo | Prodi | Kewirausahaan | Institut Teknologi Muhammadiyah Sumatra

Editor : Intan Permata

Follow WhatsApp Channel sorotnesia.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Ramah, Cepat, dan Tepat: PR Besar Pelayanan Publik
Pemerataan Bansos: Antara Data, Kuasa, dan Kepercayaan Publik
Harga Cabai Melonjak, Ketahanan Dapur Warga Musi Rawas Diuji
Mencari Keseimbangan sebagai Landasan Etika Sosial
Dari Tradisional ke Digital: Manajemen Inovasi Pendidikan Tinggi Indonesia
Mengelola Diri Sendiri Sebelum Mengelola Orang Lain
Membangkitkan Nilai Pancasila bagi Generasi Muda
Korupsi dan Kebuntuan Masa Depan Indonesia

Berita Terkait

Jumat, 26 Desember 2025 - 15:57 WIB

Keseimbangan dalam Berpendapat dan Rapuhnya Etika Ruang Publik

Jumat, 26 Desember 2025 - 09:30 WIB

Ramah, Cepat, dan Tepat: PR Besar Pelayanan Publik

Rabu, 24 Desember 2025 - 23:00 WIB

Harga Cabai Melonjak, Ketahanan Dapur Warga Musi Rawas Diuji

Selasa, 23 Desember 2025 - 23:30 WIB

Mencari Keseimbangan sebagai Landasan Etika Sosial

Selasa, 23 Desember 2025 - 20:00 WIB

Dari Tradisional ke Digital: Manajemen Inovasi Pendidikan Tinggi Indonesia

Berita Terbaru

Ilustrasi by AI

Esai

Deepfake AI dalam Perspektif Islam

Jumat, 26 Des 2025 - 14:51 WIB

Opini

Ramah, Cepat, dan Tepat: PR Besar Pelayanan Publik

Jumat, 26 Des 2025 - 09:30 WIB