Sorotnesia.com – Pukul lima pagi, alarm berbunyi di sebuah kamar sederhana di Jepang. Doni Sapta Aji terbangun, menyiapkan sarapan sendiri, lalu bersiap menghadapi hari yang panjang. Rutinitas itu kini menjadi bagian dari hidup remaja asal Bandung tersebut.
Di usia 19 tahun, ketika banyak teman sebayanya masih sibuk memilih jurusan kuliah dan merencanakan masa depan dari rumah, Doni justru menjalani hidup mandiri ribuan kilometer dari tanah kelahiran.
Keputusan merantau ke Jepang bukanlah pilihan yang lahir secara instan. Ia tumbuh dari rangkaian kegagalan, kebimbangan, dan keberanian untuk mengambil jalan yang tidak umum.
Doni sempat mendaftar ke perguruan tinggi, namun gagal diterima di universitas yang ia impikan. Pada titik itulah, sebuah informasi tentang beasiswa magang ke Jepang melalui sekolahnya datang sebagai kemungkinan baru. Bukan jalan yang mudah, tetapi cukup menjanjikan untuk dicoba.
Proses seleksi yang ketat menjadi gerbang pertama. Dari puluhan peserta, hanya segelintir yang dinyatakan lolos. Doni menjadi salah satunya. Keberhasilan itu bukan sekadar capaian akademik, melainkan awal dari perjalanan panjang yang kelak mengubah cara pandangnya tentang hidup, tanggung jawab, dan arti keluarga.
Dengan restu orang tua dan keyakinan yang perlahan menguat, Doni akhirnya menginjakkan kaki di negeri yang selama ini hanya ia kenal lewat buku dan layar ponsel. Jepang, negeri empat musim, menyambutnya dengan ketertiban dan keheningan yang kontras dengan hiruk pikuk kota asalnya.
Babak Baru di Negeri Sakura

Keputusan Doni untuk berangkat ke Jepang diambil saat ia duduk di bangku kelas 12. Selain mendaftar kuliah, ia mengikuti program beasiswa magang ke Jepang hasil kerja sama IM Japan dan Kementerian Ketenagakerjaan RI. Persaingan berlangsung ketat.
“Dari sekitar 80 peserta, hanya 10 yang lolos. Alhamdulillah, saya peringkat pertama,” ujarnya mengenang, dengan nada bangga yang tertahan.
Ia sempat diterima di beasiswa keperawatan di salah satu universitas swasta ternama. Namun setelah melalui diskusi panjang dengan orang tua dan pihak program, Doni mantap memilih Jepang. Ia diminta menjaga prestasi dan memanfaatkan kesempatan langka itu sebaik mungkin.
Kesan pertama setibanya di Jepang begitu membekas. “Hari pertama itu rasanya paling menyenangkan. Orang-orangnya sopan, ramah, lingkungannya bersih, dan sunyi. Tamu benar-benar dihormati,” katanya.
Di balik kesan ideal itu, tantangan segera datang. Bahasa menjadi rintangan utama. Huruf, kosakata, dan cara berkomunikasi yang sama sekali berbeda membuat proses adaptasi terasa berat. Ia harus belajar dari nol, sembari tetap menjalankan tanggung jawab kerja.
Menjalani Hari-Hari di Tanah Asing

Rutinitas Doni sebagai pekerja magang: disiplin, efisiensi, dan budaya kerja Jepang yang ketat. Foto: Pribadi/Doni
Hari-hari Doni di Jepang berjalan dengan ritme yang disiplin. Pagi dimulai sebelum matahari terbit, malam ditutup dengan tubuh lelah. Memasak, mencuci, mengurus tempat tinggal, semua dilakukan sendiri. Hal-hal yang dulu terasa sepele kini menjadi pelajaran tentang kemandirian.
Di tempat kerja, Jepang memperkenalkannya pada standar profesional yang tinggi. Ketelitian menjadi hukum tak tertulis. Kesalahan hanya ditoleransi dalam batas yang sangat kecil. “Tingkat kesalahannya cuma boleh 0,5 persen. Awal-awal itu bikin tertekan,” tuturnya.
Tekanan itu perlahan berubah menjadi kebiasaan. Kebiasaan menjelma kemampuan. Doni belajar bergerak cepat tanpa ceroboh, fokus tanpa kehilangan empati. Ia menemukan sisi lain dari budaya kerja Jepang yang hangat. Rekan-rekan kerjanya serius saat bekerja, namun ramah dan terbuka di luar jam kerja.
Di sela-sela kesunyian jalanan Jepang, Doni menemukan tawa, percakapan ringan, dan rasa diterima. Hal-hal kecil yang membuatnya mampu bertahan jauh dari rumah.
Mencari Arti Hidup dan Menemukan Diri

Merantau tidak selalu dipenuhi pemandangan indah. Ada hari-hari ketika rindu rumah menumpuk, ketika lelah terasa menekan, dan kesepian datang tanpa aba-aba. Doni pernah berada di titik ingin menyerah dan pulang.
Namun kontrak tiga tahun, tanggung jawab yang telah ia ambil, serta harapan orang-orang yang mempercayainya membuatnya bertahan. Ia belajar bahwa kekuatan sering kali lahir dari langkah-langkah kecil yang konsisten.
“Saya jadi lebih disiplin, lebih bersih, lebih empati, dan lebih sopan,” katanya. Perubahan itu perlahan membentuk jati dirinya.
Pelajaran paling dalam justru datang dari jarak. Ribuan kilometer dari Bandung membuat Doni memahami arti rumah. “Saya benar-benar sadar betapa berharganya kehadiran keluarga. Kita baru merasakannya setelah jauh,” ucapnya lirih.
Saat ditanya apa makna perjalanannya ke Negeri Sakura, Doni menjawab dengan refleksi sederhana namun kuat. “Bunga sakura mekar cuma satu sampai dua bulan. Kalau ada kesempatan melangkah jauh, kejar. Kesempatan tidak datang dua kali.”
Perjalanan Doni Sapta Aji bukan sekadar kisah remaja Indonesia yang bekerja di negeri orang. Ini adalah cerita tentang keberanian memilih jalan berbeda, tentang jatuh bangun dalam adaptasi, dan tentang menemukan diri sendiri melalui perjalanan jauh. Di usia yang masih muda, Doni telah membuktikan bahwa jati diri kerap ditemukan di tempat yang paling tak terduga.
Penulis : Cantika Siti Nurjanah | Mahasiswa Ilmu Komunikasi
Editor : Fadli Akbar









