Isu merokok selalu menempati posisi rumit dalam perbincangan publik. Ia berada di persimpangan antara kebebasan individu dan kepentingan kesehatan bersama. Di satu sisi, merokok merupakan pilihan personal yang secara hukum masih diperbolehkan.
Di sisi lain, asap rokok membawa konsekuensi kesehatan yang tidak kecil bagi orang-orang di sekitarnya. Persoalan merokok, karena itu, tidak semata soal kebiasaan pribadi, melainkan menyangkut etika hidup bersama di ruang publik.
Merokok adalah keputusan individual yang kerap dilekatkan pada gaya hidup. Dari kalangan remaja hingga lanjut usia, rokok telah menjadi bagian dari rutinitas harian sebagian masyarakat. Namun, kebebasan tersebut tidak berdiri di ruang hampa.
Setiap hak selalu beriringan dengan kewajiban, terutama kewajiban untuk tidak merugikan orang lain. Dalam konteks ini, asap rokok menjadi masalah utama karena dampaknya tidak hanya dirasakan oleh perokok aktif, tetapi juga oleh perokok pasif yang tidak pernah memilih untuk terpapar.
Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa asap rokok mengandung zat berbahaya yang dapat memicu penyakit jantung, kanker, gangguan pernapasan, hingga penyakit kronis lainnya. Risiko tersebut meningkat ketika paparan terjadi di ruang tertutup atau area padat aktivitas manusia.
Anak-anak, lansia, ibu hamil, serta mereka yang memiliki riwayat gangguan pernapasan berada dalam posisi paling rentan. Karena itu, membiarkan asap rokok menyebar tanpa kendali di ruang bersama sama artinya dengan mengabaikan hak dasar orang lain untuk menghirup udara bersih.
Masalah menjadi lebih kompleks ketika praktik merokok dilakukan di ruang publik tanpa mempertimbangkan keselamatan dan kenyamanan sekitar. Fenomena perokok yang menghisap rokok sambil mengendarai sepeda motor, misalnya, kerap memicu keluhan bahkan konflik di jalan raya.
Abu rokok yang beterbangan, asap yang mengenai wajah pengendara lain, hingga potensi kecelakaan lalu lintas menunjukkan bahwa persoalan ini melampaui urusan kesehatan semata. Ia menyentuh dimensi etika dan tanggung jawab sebagai pengguna ruang publik.
Dalam situasi seperti ini, kesadaran individu menjadi kunci utama. Perokok perlu memahami bahwa tidak semua ruang layak dijadikan tempat merokok. Menghisap rokok di area yang telah ditentukan, menjauh dari kerumunan, serta memastikan asap tidak mengganggu orang lain merupakan bentuk tanggung jawab sosial yang semestinya dijunjung. Etika sederhana ini sering kali diabaikan, padahal dampaknya signifikan dalam menjaga harmoni sosial.
Peran negara juga tidak dapat dikesampingkan. Regulasi mengenai kawasan tanpa rokok merupakan instrumen penting untuk melindungi kesehatan publik. Pemerintah Kabupaten Musi Rawas, misalnya, telah menetapkan Peraturan Bupati Nomor 38 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok.
Aturan semacam ini perlu ditegakkan secara konsisten, tidak hanya sebagai simbol kebijakan, tetapi sebagai komitmen nyata terhadap perlindungan warga. Di samping penegakan hukum, edukasi publik mengenai bahaya rokok dan dukungan bagi upaya berhenti merokok harus diperluas agar kebijakan tidak berhenti pada larangan semata.
Masyarakat pun memiliki ruang untuk berpartisipasi aktif. Menegur perokok yang mengganggu dengan cara yang sopan dan beradab merupakan langkah kecil namun berarti. Edukasi di lingkup keluarga dan komunitas juga penting untuk membangun kesadaran kolektif bahwa merokok di sembarang tempat bukanlah perilaku yang dapat ditoleransi. Budaya saling mengingatkan, jika dilakukan dengan etika yang tepat, justru memperkuat kualitas hidup bersama.
Merokok tidak serta-merta harus diposisikan sebagai musuh bersama. Namun, praktiknya perlu dibingkai dalam tanggung jawab sosial yang jelas. Selama rokok masih legal, tantangannya adalah memastikan kebebasan tersebut tidak berubah menjadi sumber masalah publik.
Ruang hidup yang sehat hanya dapat tercipta ketika setiap individu bersedia menahan diri, menghormati batas, dan memahami bahwa hak pribadi berhenti ketika mulai mengganggu hak orang lain.
Penulis : Indra Satriadi | Prodi Kewirausahaan | Institut Teknologi Muhammadiyah Sumatra
Editor : Anisa Putri









