Bandung, Sorotnesia.com – Angin sore menyusup pelan dari arah Sungai Citarum, membawa udara lembap yang menenangkan. Di atas tanah berpasir yang terasa dingin di telapak kaki, tikar-tikar digelar rapi, menunggu tubuh-tubuh lelah yang ingin bersandar sejenak.
Dari kejauhan, bunyi sendok beradu dengan mangkuk berpadu dengan tawa kecil para pengunjung yang duduk lesehan. Di sinilah, di sebuah kedai sederhana tanpa ornamen mencolok di Jalan Seketi No. 8, Rancamanyar, Baleendah, semangkuk bakso bukan hanya soal rasa, melainkan juga pengalaman yang utuh.

Sekilas, Bakso Mang Dedef tampak seperti warung bakso pada umumnya. Namun begitu kaki melangkah lebih dekat, suasananya berubah. Pengunjung duduk berhadapan langsung dengan aliran sungai, sebagian merapatkan kaki sambil menikmati semilir angin.
Ketika bakso cincang jumbo disajikan dan dibelah, isinya muncrat, mengepul hangat, berpadu dengan aroma gurih kuah dan udara sungai yang sejuk. Banyak orang datang karena rasa penasaran, tetapi suasana inilah yang membuat mereka bertahan lebih lama dan memilih kembali.
Bakso Mang Dedef Cabang Rancamanyar tidak lahir dari konsep bisnis modern atau perencanaan interior yang rumit. Iin Herlina, sang pemilik, memilih lokasi ini karena alasan sederhana. Tempat ini adalah kampung halamannya, yang kebetulan menghadap langsung ke sungai. Ketidaksengajaan itu justru membentuk identitas kuat, makan bakso sambil duduk ngampar di tepi aliran air yang tenang.

Meski beberapa cabang lain mengusung konsep berbeda, bahkan bernuansa kafe, cabang Rancamanyar tetap menjadi yang paling ramai. Perpaduan suasana alam yang apa adanya dengan derasnya konten viral di media sosial membuat kedai ini kian dikenal. Dari yang semula hanya menjual beberapa ratus porsi, kini penjualan bisa mencapai 1.000 hingga 1.500 porsi per hari, bergantung kondisi.
Namun alam bukan tanpa tantangan. Lokasi terbuka membuat cuaca memegang peran besar. “Kalau hujan, ya bubar semua, Neng,” ujar Bu Iin sambil tertawa.
Tantangan lain datang dari peniru konsep hingga permintaan membeli bakso mentah untuk dijual kembali. Ia menanggapinya dengan santai.
“Ah sok weh, da teknik masaknya beda. Ada yang bisa muncrat, ada yang enggak,” katanya. Baginya, kekuatan kedai ini bukan semata pada menu, melainkan pada pengalaman yang konsisten dan sulit ditiru.
Bagi pelanggan seperti Lilis Sumarni, Bakso Mang Dedef memiliki daya tarik tersendiri. “Udah sering ke sini, nggak kehitung lah. Kalau pengin bakso enak, pasti ke sini,” ucapnya. Ia lebih suka datang pada sore hari, saat udara lebih adem dan suasana terasa lebih tenang.
Menu favoritnya tak jauh dari andalan kedai, bakso cincang jumbo dan mie ayam. Menurutnya, harga yang ditawarkan sepadan dengan rasa dan porsi. Ia pertama kali datang karena viral di media sosial.
“Awalnya penasaran aja. Tapi pas makan sambil lihat sungai, jadi ngerti kenapa tempat ini rame,” katanya. Meski puas, Lilis berharap suatu hari ada tambahan tenda agar pengunjung tetap nyaman ketika cuaca berubah.
Komentar semacam itu mencerminkan fungsi kedai ini yang melampaui tempat makan. Bakso Mang Dedef menjadi ruang singgah, tempat orang-orang melepas penat, berbagi cerita, dan menikmati waktu tanpa tergesa, ditemani semangkuk bakso dan pemandangan yang jarang ditemui di tempat lain.
Di balik tikar-tikar yang selalu terisi dan antrean yang nyaris tak pernah sepi, berdiri sosok Iin Herlina. Wajahnya masih terlihat muda, tetapi pengalamannya mengelola usaha telah teruji waktu.
Bakso Mang Dedef berdiri sejak 5 Januari 2002, bermula dari cabang kecil di Soreang. Kini usahanya berkembang menjadi tiga cabang dan tengah bersiap membuka cabang baru di Ciwidey dengan konsep kebun teh.

Hari-hari Bu Iin diisi dengan memastikan dapur tetap konsisten, kebersihan area terjaga, dan pengunjung merasa nyaman. Tim khusus membersihkan lokasi setiap satu jam. Di tengah kesibukan itu, ia tetap ramah dan sederhana, menyambut siapa pun yang datang dengan senyum.
Dengan omzet sekitar Rp10 juta per hari pada hari biasa dan bisa mencapai Rp20 juta saat akhir pekan, ia membuktikan bahwa kesuksesan bukan semata soal viral. Ada ketekunan, konsistensi, dan kejujuran pada suasana yang dijaga sejak awal. Harapannya pun sederhana, usaha ini terus berjalan dan dapat membuka lebih banyak cabang.
Dari tepian Sungai Citarum yang mengalir tenang, cerita Bakso Mang Dedef terus bergerak. Seperti sungai itu sendiri, kisahnya menunjukkan bahwa usaha kecil yang setia pada tempat dan pengalamannya mampu mengalir jauh, tanpa kehilangan jati diri.
Penulis : Aulia Syifa Salsabila | Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi
Editor : Intan Permata









