Kematian seorang siswa SMP di Palembang, Sumatera Selatan, yang ditemukan tak bernyawa di selokan belakang sekolahnya, menyisakan duka sekaligus kegelisahan publik. Korban berinisial N, berusia 13 tahun, diduga terjatuh saat mencoba memanjat pagar belakang sekolah untuk membolos bersama dua temannya. Peristiwa ini tidak semata-mata dapat dipahami sebagai kecelakaan individual, melainkan sebagai cermin rapuhnya sistem pengawasan dan keamanan di lingkungan sekolah.
Sekolah seharusnya menjadi ruang aman bagi anak-anak untuk tumbuh, belajar, dan membangun karakter. Ketika tragedi justru terjadi di area yang berada dalam tanggung jawab institusi pendidikan, pertanyaan mendasar patut diajukan. Sejauh mana sekolah menjalankan fungsi perlindungan terhadap peserta didiknya, dan sejauh mana negara hadir menjamin keselamatan anak di ruang publik bernama sekolah.
Keamanan sekolah bukan urusan satu pihak. Tanggung jawab tersebut melekat pada sekolah sebagai penyelenggara pendidikan, orang tua sebagai pengasuh utama, serta pemerintah sebagai penjamin hak anak.
Mengabaikan salah satu unsur berarti membuka celah risiko yang dapat berujung pada peristiwa fatal. Dalam konteks ini, kematian N menjadi sinyal keras bahwa koordinasi antarpemangku kepentingan belum berjalan optimal.
Dari sisi institusi sekolah, pengawasan fisik masih kerap diperlakukan sebagai pelengkap, bukan kebutuhan utama. Area belakang sekolah, pagar pembatas, atau akses keluar masuk sering luput dari perhatian karena dianggap tidak strategis.
Padahal, justru di titik-titik inilah potensi pelanggaran disiplin dan kecelakaan sering terjadi. Minimnya petugas keamanan dan ketiadaan kamera pengawas menunjukkan bahwa standar keselamatan belum sepenuhnya menjadi prioritas pengelolaan sekolah.
Namun, pengamanan fisik saja tidak cukup. Relasi komunikasi antara sekolah, orang tua, dan siswa juga perlu diperkuat. Membolos tidak terjadi dalam ruang hampa. Perilaku tersebut sering berakar dari persoalan psikologis, relasi sosial, atau ketidaknyamanan di lingkungan belajar. Tanpa komunikasi terbuka dan pengawasan berkelanjutan, sinyal-sinyal risiko kerap terabaikan hingga berujung pada peristiwa yang tidak diinginkan.
Peran orang tua dalam konteks ini tidak bisa direduksi sekadar menyerahkan anak ke sekolah. Pengawasan terhadap aktivitas anak, pemahaman terhadap pergaulan mereka, serta keterlibatan aktif dalam komunikasi dengan guru menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya pencegahan. Ketika orang tua dan sekolah berjalan sendiri-sendiri, anak berada di ruang abu-abu yang rawan.
Pemerintah daerah pun memegang peran strategis. Standar keamanan sekolah tidak boleh bergantung pada inisiatif masing-masing institusi pendidikan. Dibutuhkan kebijakan yang tegas, mulai dari audit berkala terhadap infrastruktur sekolah, kewajiban pengawasan di area rawan, hingga pendampingan bagi sekolah yang memiliki keterbatasan sumber daya. Kerja sama dengan aparat keamanan setempat juga penting untuk memastikan lingkungan sekolah aman, baik di dalam maupun di sekitarnya.
Selain itu, pendidikan keselamatan bagi siswa perlu ditempatkan sebagai bagian integral dari kurikulum nonformal. Anak-anak harus dibekali pemahaman tentang risiko, batasan perilaku, serta konsekuensi dari tindakan yang melanggar aturan. Pendidikan ini bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab sejak dini.
Tragedi di Palembang semestinya menjadi momentum refleksi kolektif. Keselamatan anak tidak boleh diperlakukan sebagai isu insidental yang hanya ramai ketika korban telah berjatuhan. Setiap celah pengawasan yang dibiarkan adalah potensi tragedi berikutnya. Sekolah yang aman bukan hanya soal pagar tinggi atau kamera pengawas, melainkan tentang sistem yang bekerja, komunikasi yang hidup, dan kepedulian yang konsisten.
Masyarakat luas juga memiliki tanggung jawab moral. Kepedulian terhadap lingkungan sekitar, termasuk sekolah, merupakan bagian dari upaya perlindungan anak. Anak-anak tumbuh dalam ekosistem sosial, dan kualitas ekosistem itulah yang menentukan arah masa depan mereka. Mengabaikan satu tragedi berarti memberi ruang bagi tragedi lain untuk terulang.
Jika keselamatan siswa benar-benar ditempatkan sebagai prioritas, maka langkah pencegahan harus dilakukan secara serius, terukur, dan berkelanjutan. Sekolah tidak boleh lagi menjadi ruang yang menyimpan bahaya tersembunyi. Ia harus kembali menjadi tempat yang memberi rasa aman, harapan, dan masa depan.
Penulis : Ridho Saputra |Prodi Kewirausahaan | Institut Teknologi Muhammadiyah Sumatra
Editor : Anisa Putri









