Suara yang Pulang ke Langit, Cahaya yang Tinggal di Bumi

- Redaksi

Jumat, 19 Desember 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Sejarah KH.Q. Aji Abdul Aziz (1970–2020), Pendiri PP Al-Qur’an Al-Hidayah. Foto: Istimewa

Sejarah KH.Q. Aji Abdul Aziz (1970–2020), Pendiri PP Al-Qur’an Al-Hidayah. Foto: Istimewa

Sorotnesia.com – Senja itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Langit seolah menahan tangis, sementara angin bergerak pelan, enggan membawa kabar duka. Tanggal 26 September 2020 menjadi hari yang berat untuk dikenang.

Pada hari itulah KH Q. Aji Abdul Aziz, ulama dengan suara emas sekaligus pendiri Pondok Pesantren Al-Qur’an Al-Hidayah, berpulang ke hadirat Tuhannya. Suaranya memang telah sunyi, namun gaungnya tak pernah benar-benar hilang. Ia tetap hidup dalam setiap ayat yang dilantunkan para santri, dalam napas yang mengucap basmalah, dan dalam langkah dakwah yang terus berjalan.

Ia lahir pada 15 Mei 1970, di tengah keluarga yang menanamkan iman sebelum segalanya. Sejak kecil, hidupnya berirama dengan sajadah dan doa. Pagi dimulai dengan lantunan ayat, malam ditutup dengan dzikir yang khusyuk.

Anak itu tumbuh dengan wajah teduh, tutur lembut, dan hati yang berhati-hati dalam melangkah. Orang-orang di sekitarnya melihat sesuatu yang berbeda: ketekunan yang tak biasa, keshalehan yang tumbuh alami, dan bakat yang dipelihara dalam diam. Ia bukan anak yang mengejar sorotan. Kepalanya lebih sering tertunduk, lisannya terjaga, dan tekadnya disimpan rapi dalam kesunyian.

Ketaatannya kepada kedua orang tua bukan sekadar kewajiban, melainkan laku hidup yang dijalani sepenuh hati. Baginya, restu orang tua adalah pintu langit yang paling dekat. Dari sanalah ia melangkah, memilih jalan pesantren dengan penuh takzim kepada guru. Ia belajar bukan hanya dengan telinga, tetapi dengan adab. Ilmu diserap bukan semata dari kitab, melainkan dari teladan. Ia memahami benar bahwa ilmu tanpa adab hanyalah cahaya tanpa arah.

Karakter itu ditempa perlahan: tawadhu, sabar, rendah hati, dan jauh dari rasa besar diri. Bahkan ketika dunia mengenalnya sebagai qori internasional, sikapnya tak berubah. Prestasi tak membuatnya tinggi, popularitas tak menjadikannya jauh. Semakin langit mengangkat namanya, semakin dalam bumi menanamkan kerendahan hati di jiwanya. Ia tidak berjalan untuk dikenal. Ia hanya ingin Al-Qur’an dicintai.

Baca Juga :  Dua Jiwa, Satu Lapangan: Perjalanan Silva dan Silvi Menyemai Mimpi di Voli Pasir

Bagi siapa pun yang pernah mendengar lantunannya, suara beliau bukan sekadar merdu. Ia membawa getar. Ada tangis yang terselip di antara huruf, ada doa yang meleleh di setiap harakat. Banyak orang jatuh cinta pada Al-Qur’an bukan karena penjelasan panjang, melainkan karena lantunan yang jujur dan bersih itu.

Namun, lebih dari suara, akhlaknya adalah pelantunan yang sesungguhnya. Di hadapan siapa pun, santri kecil maupun tamu besar, orang sederhana ataupun pejabat tinggi, perlakuannya tetap sama: santun, ramah, dan beradab. Ia tidak menakar manusia dari harta, melainkan dari hati.

Ia tak pernah menjaga jarak dengan rakyat kecil. Ia duduk bersama mereka, makan bersama, dan berbagi tawa tanpa sekat. Ia tahu, kemuliaan bukan soal siapa kita, melainkan bagaimana kita memperlakukan sesama.

Dalam keseharian, beliau dikenal sederhana. Pakaiannya biasa, langkahnya tenang, dan ucapannya jarang berkeluh. Dalam mendidik, ia tidak keras, tetapi tegas. Tidak garang, namun berwibawa. Teguran darinya bukan teriakan, melainkan nasihat yang disampaikan dengan tatapan penuh kasih. Santri patuh bukan karena takut, melainkan karena hormat yang tumbuh dari cinta.

Tak ada pesantren besar yang lahir dari kemudahan. Begitu pula Pondok Pesantren Al-Qur’an Al-Hidayah. Ia tumbuh dari kekurangan yang dipeluk dengan kesabaran. Dari tanah wakaf yang sederhana, bangunan berdiri perlahan, disokong tangan-tangan yang bekerja tanpa pamrih.

Merintis Al-Hidayah adalah perjalanan panjang yang sarat pengorbanan. Ada malam-malam panjang tanpa tidur, hari-hari penuh lelah tanpa keluhan, dan dakwah yang berjalan tanpa jaminan, kecuali keyakinan bahwa siapa yang berjuang untuk Al-Qur’an tak akan ditelantarkan.

Baca Juga :  Langkah Besar yang Mengantar Raisya Rabiah Jadi Duta Favorit

Beliau sering menyimpan letihnya sendiri. Santri jarang mengetahui betapa berat beban yang dipanggulnya. Yang mereka rasakan, kiai mereka selalu hadir: mengawasi, menasihati, dan mendoakan. Air matanya lebih sering jatuh di sajadah daripada di hadapan manusia. Dari pesantren itu, lahir generasi pecinta Al-Qur’an.

Mereka datang dengan latar berbeda, pulang dengan arah yang sama. Banyak alumni Al-Hidayah kini menjadi pendidik, dai, qori, dan penggerak dakwah di berbagai penjuru, membawa satu benang merah: keteladanan dari seorang kiai yang tak pernah mengejar dunia.

Bagi para santri, beliau bukan sekadar pendiri. Ia adalah ayah dalam ilmu, pelindung dalam doa, dan tempat pulang saat luka. Ketika ada yang jatuh, ia menguatkan. Saat ada yang salah, ia meluruskan. Ketika harapan meredup, ia menyalakannya kembali.

Di penghujung hidup, ketika tubuh melemah namun iman tetap tegak, beliau tak meninggalkan warisan harta. Ia meninggalkan nilai yang jauh lebih berharga. Pesan terakhirnya menjadi pegangan hidup para santri:

“Kudu mikanyaah ka jalma anu mikangewa ka urang, hirup mah kudu sabar, ikhlas jeung istiqomah.”

Kita harus menyayangi orang yang membenci kita. Hidup harus sabar, ikhlas, dan istiqamah.

Pesan itu bukan sekadar nasihat, melainkan ringkasan hidupnya sendiri. Kini beliau telah tiada, tetapi rindu justru kian hidup. Namanya mengalir dalam doa, hadir dalam lantunan ayat, dan menjelma keberkahan dalam setiap keberhasilan santri.

Suara emas itu telah pulang ke langit. Namun cahaya yang ditinggalkannya tetap tinggal di bumi, terang di dada para santri, hangat di hati umat, dan abadi dalam doa yang tak pernah putus.

Penulis : Rifaldy Sya'banu Syamsa | Mahasiswa Prodi Ilmu KomunikasiJurnalistik

Editor : Anisa Putri

Follow WhatsApp Channel sorotnesia.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Langkah Besar yang Mengantar Raisya Rabiah Jadi Duta Favorit
Menelisik Perjalanan Anak Muda Bandung, Menemukan Jati Diri hingga ke Negeri Sakura
Dua Jiwa, Satu Lapangan: Perjalanan Silva dan Silvi Menyemai Mimpi di Voli Pasir
Muncratnya Bakso, Mengalirnya Cerita di Tepi Sungai
Pabrik Kopi Dartoyo: Hadirkan Cerita, Suasana Jawa dan Aroma Kopi yang Menggugah
Menyusuri Rasa di Cibiru Melalui Surabi Legendaris
“Luwes, Ikhlas, Sabar”: Kisah Pak Asep, Satpam Ma’had UIN Bandung yang Ramah dan Selalu Tersenyum

Berita Terkait

Jumat, 19 Desember 2025 - 14:25 WIB

Langkah Besar yang Mengantar Raisya Rabiah Jadi Duta Favorit

Jumat, 19 Desember 2025 - 12:31 WIB

Suara yang Pulang ke Langit, Cahaya yang Tinggal di Bumi

Jumat, 19 Desember 2025 - 12:06 WIB

Menelisik Perjalanan Anak Muda Bandung, Menemukan Jati Diri hingga ke Negeri Sakura

Jumat, 19 Desember 2025 - 10:00 WIB

Dua Jiwa, Satu Lapangan: Perjalanan Silva dan Silvi Menyemai Mimpi di Voli Pasir

Jumat, 19 Desember 2025 - 08:56 WIB

Muncratnya Bakso, Mengalirnya Cerita di Tepi Sungai

Berita Terbaru

Opini

Mencari Keseimbangan sebagai Landasan Etika Sosial

Selasa, 23 Des 2025 - 23:30 WIB

Opini

Mengelola Diri Sendiri Sebelum Mengelola Orang Lain

Selasa, 23 Des 2025 - 19:25 WIB

Opini

Membangkitkan Nilai Pancasila bagi Generasi Muda

Selasa, 23 Des 2025 - 19:05 WIB