Di tengah arus globalisasi yang semakin deras, batas-batas agama, budaya, dan bangsa semakin kabur. Mobilitas manusia yang tinggi, interaksi lintas budaya yang intens, serta kemajuan teknologi komunikasi telah membuka peluang bagi siapa saja untuk saling mengenal termasuk jatuh cinta tanpa memandang latar belakang agama.
Fenomena cinta beda agama pun semakin sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Namun, saat hubungan itu mulai menuju ke jenjang pernikahan, berbagai persoalan serius pun muncul. Salah satu pertanyaan paling besar adalah: bagaimana hukum Islam dan negara memandang pernikahan beda agama?
Sebagai mahasiswa di bidang studi perbandingan mazhab, saya merasa penting untuk membahas tema ini. Tidak hanya karena sesuai dengan disiplin ilmu yang saya tekuni, tetapi juga karena isu ini sangat dekat dengan realitas masyarakat saat ini. Banyak pasangan yang benar-benar saling mencintai namun harus menghadapi dilema besar karena keyakinan yang berbeda.
Pandangan Hukum Islam
Dalam kajian fiqh Islam, pernikahan beda agama memang sempat menjadi topik yang dibahas para ulama klasik. Al-Qur’an, dalam Surah Al-Maidah ayat 5, menyebutkan bahwa seorang laki-laki Muslim diperbolehkan menikahi wanita dari kalangan ahli kitab, yaitu pemeluk agama Yahudi dan Nasrani. Ayat tersebut menjadi dasar bagi sebagian ulama untuk membolehkan pernikahan lintas agama dengan syarat tertentu.
Namun, para ulama berbeda pendapat soal penerapannya. Mazhab Hanafi, misalnya, memang memperbolehkan laki-laki Muslim menikahi wanita ahli kitab, tetapi tetap memakruhkan praktik ini apabila berpotensi menimbulkan masalah, terutama dalam hal pendidikan anak dan kestabilan iman.
Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali juga memiliki sikap serupa mereka membuka peluang secara hukum, namun secara praktis tidak menganjurkannya karena dinilai berisiko tinggi terhadap keharmonisan keluarga dan akidah.
Lebih tegas lagi, seluruh mazhab sepakat bahwa wanita Muslimah dilarang menikah dengan pria non-Muslim, dengan dasar yang kuat dari ayat-ayat lain dalam Al-Qur’an, seperti QS. Al-Baqarah: 221.
Sementara itu, ulama kontemporer mulai mempertanyakan relevansi status ahli kitab di zaman modern. Banyak dari mereka berpendapat bahwa ajaran agama Yahudi dan Nasrani saat ini sudah jauh berbeda dari ajaran yang dikenal pada masa Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, hukum bolehnya menikah dengan ahli kitab pun dianggap sudah tidak lagi relevan untuk diterapkan dalam konteks saat ini.
Pandangan Negara
Di Indonesia, persoalan pernikahan beda agama juga menjadi perhatian serius negara. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa pernikahan hanya dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Artinya, jika agama tidak mengizinkan pernikahan lintas iman, maka negara juga tidak dapat mengakuinya secara legal.
Lebih jauh lagi, Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadi rujukan dalam hukum perkawinan umat Islam di Indonesia juga dengan tegas menyatakan bahwa pernikahan hanya sah jika kedua belah pihak memiliki agama yang sama. Praktik di lapangan pun menunjukkan bahwa lembaga peradilan, termasuk Mahkamah Konstitusi, cenderung menolak permohonan pencatatan pernikahan beda agama.
Kebijakan ini bukan tanpa alasan. Negara memandang bahwa pernikahan bukan hanya kontrak pribadi antara dua individu, tetapi merupakan institusi sosial yang menyangkut keluarga besar, masyarakat, bahkan masa depan generasi berikutnya. Karena itu, negara cenderung menghindari potensi konflik yang bisa timbul dari perbedaan agama dalam rumah tangga.
Antara Teori, Realita, dan Nilai Cinta
Jika kita melihat dari sisi hukum Islam, ada celah yang terbuka, meski sempit dan penuh syarat. Namun dalam praktiknya, baik para ulama maupun negara sepakat bahwa pernikahan beda agama bukanlah pilihan ideal.
Bukan semata-mata karena ingin menghalangi cinta dua insan, tetapi karena mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap kehidupan rumah tangga, terutama dari sisi pendidikan anak, ketenangan batin, dan kesinambungan nilai keagamaan dalam keluarga.
Realitas ini menunjukkan bahwa cinta tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus berdampingan dengan tanggung jawab moral, kesadaran hukum, dan kesiapan untuk berkompromi. Cinta beda agama bisa saja tumbuh dengan kuat, tetapi jika ingin dilanjutkan ke pelaminan, pasangan tersebut harus memahami tantangan yang akan dihadapi.
Beberapa pasangan memilih untuk tetap bersama dengan salah satu pihak berpindah agama. Namun langkah ini pun tidak mudah, dan tidak jarang menimbulkan pergolakan batin atau konflik dengan keluarga. Ada pula yang memilih menikah di luar negeri untuk menghindari aturan di Indonesia, namun tetap harus berhadapan dengan tantangan sosial dan spiritual dalam kehidupan rumah tangga mereka nanti.
Ketika Cinta Diuji oleh Keyakinan
Pernikahan beda agama memang menjadi dilema besar yang mempertemukan dua nilai: cinta dan keyakinan. Dalam konteks Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan ketertiban sosial, cinta beda agama masih menjadi isu yang kompleks dan penuh tantangan.
Bagi generasi muda, memahami isu ini penting agar tidak terjebak dalam euforia cinta semata. Cinta bukan sekadar rasa, tapi juga keputusan besar yang menyangkut masa depan. Ketika cinta diuji oleh perbedaan iman, di situlah kedewasaan dan tanggung jawab benar-benar dibutuhkan.
Penulis : Fadhel Gibran Muhammad | Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor : Anisa Putri