Poligami sering menjadi topik yang memancing perbincangan panjang. Dalam khazanah fikih Islam, para ulama mazhab juga membahasnya dengan cukup serius dan penuh kehati-hatian. Dua di antaranya adalah Imam Syafi’i dan Imam Hanafi. Keduanya sama-sama membolehkan poligami, tetapi dengan catatan yang tidak ringan.
Masing-masing mazhab menekankan bahwa poligami bukan sekadar soal boleh atau tidak, melainkan soal kesiapan, tanggung jawab, dan keadilan. Berikut gambaran pandangan keduanya dengan bahasa yang lebih sederhana dan mudah dipahami.

Pandangan Mazhab Syafi’i
Menurut Imam Syafi’i, poligami memang dibolehkan, tetapi sama sekali bukan kebebasan tanpa batas. Seorang laki-laki boleh memiliki hingga empat istri, dengan syarat utama ia mampu berlaku adil. Keadilan di sini bukan sekadar niat baik, melainkan diwujudkan dalam hal-hal yang nyata dan bisa diukur.
Yang dimaksud adil antara lain mencakup pembagian nafkah, tempat tinggal, dan waktu atau giliran bersama istri-istri. Seorang suami juga wajib memastikan hak istri dan anak-anaknya terpenuhi, baik secara ekonomi maupun tanggung jawab moral. Jika ia tidak mampu secara finansial atau berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan konflik dalam keluarga, maka poligami menjadi tidak boleh dilakukan.
Imam Syafi’i juga memahami bahwa keadilan dalam urusan perasaan bukan sesuatu yang bisa sepenuhnya dikendalikan manusia. Karena itu, adil dalam cinta tidak dijadikan syarat mutlak. Namun, adil dalam nafkah dan perlakuan tetap menjadi keharusan yang tidak bisa ditawar. Dari sini terlihat bahwa poligami dalam pandangan Mazhab Syafi’i adalah perkara berat yang menuntut kesiapan matang, bukan sekadar pilihan pribadi.
Dalam tafsir Al Malagi, mengenai keadilan poligami yang termuat dalam Surah an-Nisa’: 129
وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْٓا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاۤءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِۗ وَاِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا ١٢٩
Artinya :
“Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(-mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Oleh karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Jika kamu mengadakan islah (perbaikan) dan memelihara diri (dari kecurangan), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Pandangan ini selaras dengan penafsiran Surah an-Nisa ayat 129, yang menjelaskan bahwa manusia tidak akan mampu sepenuhnya adil dalam urusan perasaan, tetapi tetap dilarang untuk condong berlebihan hingga menelantarkan istri yang lain. Ayat ini menjadi pengingat bahwa poligami harus dijalani dengan sikap hati-hati, penuh tanggung jawab, dan niat memperbaiki keadaan, bukan sebaliknya.
Pandangan Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda. Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa poligami tanpa izin istri pertama tetap diperbolehkan secara hukum. Namun, kebolehan ini tidak selalu bernilai netral. Jika poligami dilakukan tanpa alasan yang jelas atau kebutuhan mendesak, hukumnya bisa menjadi makruh, artinya lebih baik ditinggalkan.
Seperti Mazhab Syafi’i, Mazhab Hanafi juga menegaskan bahwa syarat utama poligami adalah kemampuan suami untuk berlaku adil. Allah membolehkan poligami hanya bagi mereka yang mampu menjaga keadilan dan tidak menimbulkan kezaliman.
Perbedaan menarik muncul dalam hal perlindungan hak istri. Mazhab Hanafi memberi ruang besar melalui akad nikah. Seorang perempuan boleh mencantumkan syarat bahwa suaminya tidak boleh berpoligami. Jika syarat ini dilanggar, istri berhak mengajukan fasakh atau pembatalan nikah. Dengan kata lain, izin istri memang tidak diwajibkan, tetapi hak istri untuk menentukan batasan sejak awal pernikahan tetap diakui dan dilindungi.
Kesimpulan
Mazhab Syafi’i dan Hanafi sama-sama membolehkan poligami, tetapi keduanya menegaskan syarat yang sangat kuat. Suami harus mampu berlaku adil dalam nafkah, tempat tinggal, dan pembagian waktu. Dalam Mazhab Syafi’i, ketidakmampuan menjaga keadilan bisa menjadikan poligami terlarang.
Sementara itu, Mazhab Hanafi memandang poligami sebagai perbuatan makruh jika dilakukan tanpa kebutuhan yang jelas, sekaligus memberi perlindungan bagi istri melalui syarat dalam akad nikah.
Secara umum, kedua mazhab sepakat bahwa poligami bukan perkara ringan. Ia hanya dibolehkan jika dijalani dengan tanggung jawab penuh dan tidak menimbulkan kezaliman bagi siapa pun yang terlibat.
Penulis : Sharafina hidayat | Prodi Perbandingan Mazhab | UIN Syarif Hidayatullah
Editor : Anisa Putri









