Hukum sejatinya hadir sebagai instrumen utama untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, dalam kenyataannya, sistem hukum kita masih jauh dari ideal. Di berbagai ruang peradilan, hukum sering kali kehilangan daya magisnya sebagai penuntun moral bangsa.
Ia kerap tampak tidak berpihak kepada keadilan, melainkan tunduk pada kepentingan dan kekuasaan. Ketimpangan hukum di Indonesia bukan hanya soal penegakan yang lemah, melainkan juga ketimpangan dalam akses terhadap keadilan, perlakuan yang tidak setara bagi pelaku kejahatan, hingga keberpihakan aparat terhadap kelompok tertentu.
Salah satu akar dari persoalan ini terletak pada lemahnya integritas penegak hukum. Korupsi di lembaga-lembaga seperti kepolisian, kejaksaan, dan peradilan telah menciptakan lingkaran ketidakpercayaan publik terhadap sistem peradilan. Banyak warga memandang hukum bukan sebagai jalan keadilan, melainkan arena transaksi.
Di sisi lain, faktor sosial dan ekonomi turut memperlebar jurang ketimpangan. Masyarakat miskin kerap tak memiliki kemampuan finansial untuk membayar pengacara atau memahami proses hukum yang rumit. Tak jarang mereka memilih pasrah, karena menempuh jalur hukum justru dianggap memberatkan.
Intervensi politik dan ekonomi juga memperkeruh wajah hukum di negeri ini. Kasus-kasus besar yang melibatkan pejabat atau pengusaha berpengaruh sering kali berakhir tanpa hukuman sepadan. Sebaliknya, rakyat kecil dapat menerima hukuman berat atas pelanggaran ringan.
Fenomena hukum yang “tajam ke bawah, tumpul ke atas” seolah telah menjadi adagium yang tak terbantahkan. Dalam konteks seperti ini, hukum kehilangan wibawanya sebagai penjaga moral bangsa.
Ketimpangan hukum berdampak jauh lebih luas dari sekadar ketidakadilan individual. Ia merusak sendi kepercayaan publik terhadap negara dan memperlemah tatanan sosial. Ketika masyarakat merasa hukum tidak berpihak secara adil, lahirlah sikap apatis dan ketidakpercayaan.
Bahkan, tindakan main hakim sendiri menjadi pilihan karena hukum formal dianggap tidak lagi memberi perlindungan. Dalam ranah politik, ketimpangan hukum memperkuat cengkeraman oligarki dan melemahkan demokrasi, sebab hukum kerap digunakan sebagai alat kekuasaan, bukan pelindung hak warga negara.
Untuk keluar dari pusaran ini, reformasi hukum yang menyeluruh harus menjadi prioritas. Independensi lembaga penegak hukum harus dijaga dari intervensi politik, sementara transparansi dalam proses peradilan perlu diperkuat.
Pemerintah bersama masyarakat sipil harus memperluas layanan bantuan hukum gratis bagi kalangan miskin dan rentan, agar prinsip equality before the law benar-benar menjadi nyata. Selain itu, pendidikan hukum masyarakat harus diperkuat agar warga lebih sadar akan hak-hak yang mereka miliki.
Di atas semua itu, peran publik dan media dalam mengawasi kinerja aparat hukum harus dijamin kebebasannya. Tanpa tekanan dan sensor, media dapat menjadi cermin moral yang menjaga agar hukum tidak tersesat dalam gelapnya kekuasaan.
Ketimpangan hukum di Indonesia adalah potret ketidaksesuaian antara idealitas hukum dan realitas penegakannya. Selama hukum masih digunakan sebagai alat untuk melindungi yang kuat, cita-cita keadilan sosial hanya akan menjadi slogan kosong.
Reformasi hukum yang berlandaskan keadilan, transparansi, dan akuntabilitas harus menjadi kompas baru agar hukum kembali berfungsi sebagaimana mestinya: melindungi seluruh rakyat Indonesia, tanpa pandang bulu.
Penulis : Dina Efrina | Mahasiswi Prodi Pendidikan Matematika UIN Raden Intan Lampung
Editor : Anisa Putri









