Semarang, Sorotnesia.com – Program pengenalan Batik SLB di Sekolah Luar Biasa (SLB) NU Suruh menjadi bukti nyata bahwa keterbatasan bukanlah halangan untuk berkarya. Dengan sentuhan tangan istimewa, para siswa mampu melahirkan batik premium yang tidak hanya bernilai estetika tetapi juga sarat makna sosial.
Kegiatan ini mendapat dukungan penuh dari mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Kolompol 273 Universitas Sebelas Maret (UNS) yang mendapatkan lokasi pengabdian di Desa Reksosari, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang, dengan mengusung tema Sustainable Development Goals (SDGs).
Program yang digelar pada (23/7/2025) di Desa Reksosari ini menghadirkan rangkaian acara mulai dari sesi berbagi cerita siswa, hingga promosi digital melalui berbagai media. Melalui kegiatan tersebut, publik diajak menyadari bahwa anak-anak berkebutuhan khusus memiliki potensi besar yang layak diapresiasi dan didukung.
Batik karya siswa SLB NU Suruh menggunakan bahan berkualitas tinggi dengan harga jual sekitar Rp150.000 per lembar. Harga ini tidak sekadar mencerminkan kualitas, tetapi juga nilai perjuangan di balik setiap goresan malam yang dibuat dengan penuh kesabaran.
Pak Riza, Kepala Sekolah SLB NU Suruh, menegaskan bahwa tantangan terbesar bukan terletak pada kualitas produk, melainkan pemasaran.
“Masih banyak masyarakat yang belum tahu kalau anak-anak SLB Suruh bisa membuat batik. Jadi wajar kalau pemasarannya belum begitu lancar. Padahal hasilnya bagus dan layak dikenal lebih luas,” ujarnya.
Pernyataan ini menunjukkan betapa pentingnya dukungan publik agar karya anak-anak SLB mendapat tempat di pasar industri kreatif. Batik SLB bukan sekadar kain, melainkan medium ekspresi, sarana pemberdayaan, sekaligus wujud nyata inklusi sosial.
Tim KKN UNS 273 melihat potensi besar dari program ini. Menurut Alexander Gibson Xaverius Sihotang, Koordinator Program dari Prodi Ekonomi Pembangunan, pilihan untuk mengangkat Batik SLB sebagai fokus kegiatan bukan tanpa alasan.
“Kami ingin mengangkat potensi lokal yang belum banyak diketahui masyarakat sekaligus memberi ruang apresiasi bagi anak-anak SLB agar karyanya bisa lebih dikenal luas,” jelasnya.

Dukungan mahasiswa tidak berhenti pada pendampingan teknis. Mereka turut mendesain flyer dan poster promosi, membuat konten media sosial, serta menyusun strategi pemasaran sederhana untuk membantu mengenalkan batik SLB ke khalayak yang lebih luas. Langkah ini membuktikan bahwa sinergi antara dunia akademik dan masyarakat dapat menghasilkan dampak positif.
Lebih jauh, mahasiswa juga berupaya memastikan keberlanjutan program dengan membuat sistem tindak lanjut. Beberapa di antaranya adalah pelatihan pemasaran digital untuk guru pendamping SLB, membangun jejaring dengan pengrajin batik lokal, dan menyerahkan kelanjutan program kepada pihak sekolah agar tetap berjalan meski masa KKN telah berakhir.
Melalui interaksi intensif dengan siswa SLB, mahasiswa mendapatkan pelajaran berharga. Mereka menyadari bahwa anak-anak berkebutuhan khusus memiliki kreativitas yang tinggi, hanya saja seringkali belum mendapat wadah dan dukungan yang memadai. Seni batik kemudian menjadi sarana inklusi sosial yang menunjukkan bahwa keterbatasan bukanlah hambatan untuk produktif.
Ketua KKN, Anisa Meliana Tri Pasha dari Prodi Ilmu Komunikasi, mengaku terkesan dengan semangat siswa SLB dalam berkarya.
“Awalnya mungkin banyak yang meremehkan kemampuan mereka. Tetapi setelah melihat detail motif dan ketekunan prosesnya, justru muncul rasa kagum karena hasilnya mampu bersaing dengan batik pada umumnya,” ungkapnya.
Pernyataan tersebut menggambarkan transformasi cara pandang yang dialami mahasiswa sekaligus diharapkan juga terjadi pada masyarakat luas. Bahwa karya anak-anak berkebutuhan khusus memiliki nilai yang sama dengan produk kreatif lainnya.
Kegiatan pengenalan Batik SLB ini membuka mata banyak pihak. Masyarakat yang hadir dalam pameran mengakui adanya perubahan pandangan terhadap kemampuan siswa SLB. Mereka kini melihat bahwa batik karya siswa bukan hanya layak dipakai, tetapi juga punya potensi untuk dipasarkan secara lebih luas.
Agar batik SLB semakin dikenal, masyarakat menilai perlunya dukungan publikasi berkelanjutan, kerjasama dengan UMKM atau komunitas batik, serta pemanfaatan platform digital untuk menjual produk. Selain itu, peran pemerintah desa juga dianggap penting untuk memfasilitasi pameran rutin sehingga karya siswa bisa terus terekspos.

Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) KKN UNS 273, Agus Mukholid, memberikan apresiasi tinggi terhadap inisiatif ini. Ia menilai program Batik SLB tidak hanya memberi dampak langsung bagi siswa, tetapi juga menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya inklusi sosial.
“Program ini menunjukkan bahwa seni bisa menjadi jembatan untuk memperkuat pemberdayaan sekaligus memperluas ruang inklusi,” kata Agus.
Batik SLB NU Suruh kini mulai dilihat bukan hanya sebagai produk budaya, tetapi juga sebagai simbol perjuangan dan inklusi sosial. Dukungan dari sekolah, mahasiswa, masyarakat, hingga akademisi menjadi modal penting untuk menjaga keberlanjutan program.
Dengan pengenalan ini, diharapkan batik karya siswa SLB NU Suruh dapat semakin dikenal sebagai produk premium yang tidak hanya bernilai budaya, tetapi juga membawa pesan kuat bahwa setiap orang berhak untuk berkarya dan berkontribusi. Batik SLB hadir sebagai bukti nyata bahwa pendidikan inklusif mampu melahirkan pelaku ekonomi kreatif baru yang patut diapresiasi.
Penulis : Wira Pratama
Editor : Anisa Putri