Sungai bagi masyarakat Musi Rawas tidak pernah sekadar dimaknai sebagai bentang alam. Ia merupakan nadi kehidupan yang mengalirkan penghidupan, membentuk budaya, sekaligus menentukan keberlanjutan ekonomi warga di sekitarnya.
Dalam konteks itu, penebaran 12 ribu benih ikan patin di perairan Musi Rawas perlu dibaca melampaui program teknis sektor perikanan. Kebijakan ini mencerminkan kesadaran kolektif bahwa keberlanjutan sumber daya alam menuntut tanggung jawab bersama, bukan sekadar eksploitasi tanpa batas.
Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat bantaran sungai merasakan perubahan yang nyata. Hasil tangkapan ikan menurun, jenis ikan tertentu semakin sulit ditemukan, dan aktivitas menangkap ikan tidak lagi menjanjikan seperti dahulu.
Ikan patin yang pernah menjadi komoditas umum kini kian jarang dijumpai. Penurunan ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Perubahan kualitas lingkungan, tekanan aktivitas manusia, pencemaran, serta praktik penangkapan yang tidak ramah lingkungan telah mempercepat degradasi ekosistem sungai.
Di titik inilah penebaran benih ikan patin memperoleh makna strategis. Program ini bukan solusi instan, tetapi merupakan langkah awal pemulihan. Dari perspektif ekologis, penebaran benih menjadi upaya rehabilitasi untuk mengembalikan keseimbangan populasi ikan di perairan umum. Sungai yang sehat menuntut keberagaman hayati yang terjaga, dan patin merupakan salah satu indikator penting ekosistem perairan tawar yang produktif.
Lebih jauh, dampak sosial dari kebijakan ini tidak bisa diabaikan. Bagi nelayan kecil dan masyarakat yang menggantungkan hidup pada sungai, keberlanjutan stok ikan berarti keberlanjutan pendapatan. Ketika populasi ikan pulih, ruang hidup masyarakat pun ikut menguat. Dalam kondisi ekonomi yang kerap rapuh, terutama bagi kelompok masyarakat pesisir sungai, kebijakan berbasis pemulihan lingkungan justru menjadi fondasi kesejahteraan jangka panjang.
Meski demikian, penebaran benih tidak boleh berhenti sebagai kegiatan simbolik. Tanpa pengelolaan berkelanjutan, upaya ini berisiko kehilangan maknanya. Perlindungan sungai dari pencemaran limbah, pengendalian alat tangkap merusak, serta edukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga ekosistem harus berjalan seiring. Pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan masyarakat perlu berbagi peran secara proporsional agar sungai tidak kembali menjadi korban kepentingan sesaat.
Tantangan terbesar terletak pada konsistensi. Program lingkungan kerap gagal bukan karena gagasan yang keliru, melainkan karena lemahnya pengawalan setelah kegiatan dilaksanakan. Penebaran benih harus diikuti dengan pemantauan, evaluasi, dan keterlibatan aktif warga. Sungai yang dirawat bersama akan menciptakan rasa memiliki, sekaligus kesadaran bahwa kerusakan alam akan berujung pada kerugian kolektif.
Dalam kerangka pembangunan daerah, langkah ini juga mengingatkan bahwa kemajuan tidak selalu identik dengan beton, aspal, atau ekspansi fisik. Pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan hanya akan memindahkan masalah ke masa depan. Sebaliknya, investasi pada keberlanjutan sumber daya alam adalah bentuk pembangunan yang paling mendasar dan berjangka panjang.
Penebaran 12 ribu benih ikan patin di Musi Rawas menyampaikan pesan yang tegas bahwa menjaga sungai berarti menjaga kehidupan. Ketika alam diberi ruang untuk pulih, ia akan mengembalikan manfaatnya secara berlipat. Harapan masyarakat pun akan terus mengalir, seiring arus sungai yang dijaga dengan kesadaran dan tanggung jawab bersama.
Penulis : Andin Rospika Dewi | Prodi Kewirausahaan | Institut Teknologi Muhammadiyah Sumatra
Editor : Anisa Putri









