Mahasiswa KKN UNS menghadirkan inovasi pertanian berkelanjutan di Desa Laroenai, Morowali, melalui pelatihan pembuatan pupuk organik dari limbah rumah tangga dan kampanye visual tentang umur sampah untuk tingkatkan kesadaran lingkungan masyarakat pesisir tambang.
Di tengah gempuran isu kerusakan lingkungan dan ketergantungan terhadap bahan kimia dalam pertanian, mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) yang tergabung dalam Kuliah Kerja Nyata (KKN) Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) membuktikan bahwa limbah rumah tangga bisa menjadi solusi nyata untuk tantangan pertanian berkelanjutan.
Berlokasi di Desa Laroenai, Kecamatan Bungku Pesisir, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah yang dikenal sebagai wilayah pesisir dengan aktivitas tambang yang intensif mahasiswa KKN hadir membawa pendekatan baru:
mengolah sampah organik menjadi pupuk organik cair (POC) dan kompos padat. Lebih dari sekadar program sosialisasi, mereka menanamkan pola pikir baru: bahwa limbah, jika dikelola dengan tepat, adalah sumber daya berharga.

Bahan-bahan yang selama ini dianggap sampah seperti air cucian beras, kulit buah, dan sisa sayur diolah menggunakan teknologi tepat guna yang sederhana. Melalui proses fermentasi menggunakan molase dan EM4, limbah tersebut berubah menjadi pupuk cair yang kaya akan unsur hara. Dengan teknik pengomposan tumpuk dan lubang, sampah padat pun dimanfaatkan menjadi kompos alami.
“Kami ingin masyarakat melihat bahwa mereka tidak perlu membeli pupuk kimia mahal. Sumber nutrisinya ada di dapur mereka sendiri,” ujar Fahrul Rosid Alam, mahasiswa Ilmu Tanah yang menjadi pelaksana kegiatan.
Lebih jauh, kegiatan ini menjawab masalah ganda: menekan volume sampah rumah tangga dan menyediakan alternatif pupuk ramah lingkungan yang mudah dibuat dan diaplikasikan di lahan pekarangan.
Sebagai bentuk edukasi yang tak kalah penting, mahasiswa KKN UNS juga memasang papan sosialisasi umur sampah di beberapa titik strategis desa. Papan ini menampilkan informasi tentang lamanya waktu penguraian berbagai jenis sampah seperti plastik, kaca, kaleng, dan kertas.

Pendekatan visual ini terbukti efektif. Anak-anak hingga orang dewasa tertarik membaca informasi tersebut, dan diskusi kecil tentang sampah pun mulai ramai terdengar. Bagi masyarakat yang selama ini terbiasa membakar atau membuang sampah sembarangan, informasi ini menjadi pemantik kesadaran baru.
“Saya baru tahu kalau plastik butuh ratusan tahun untuk terurai. Mulai sekarang saya lebih hati-hati,” ujar salah satu warga usai membaca papan sosialisasi.
Desa Laroenai bukanlah desa biasa. Kehadiran perusahaan tambang nikel PT. Bima Cakra Perkasa Mineralindo (BCPM) memberi dampak ganda: membuka lapangan kerja, namun juga membawa tantangan lingkungan. Di tengah dinamika tersebut, program KKN ini hadir untuk menggugah kembali potensi lokal yang selama ini terabaikan.
Mayoritas masyarakat bekerja sebagai nelayan atau buruh tambang. Namun dengan adanya pelatihan ini, sebagian mulai melihat bahwa pertanian pekarangan menggunakan pupuk organik bisa menjadi alternatif tambahan ekonomi, sekaligus menjaga kelestarian lingkungan.
Kegiatan ini mendapat dukungan dari pemerintah desa dan melibatkan banyak pihak, termasuk karang taruna dan ibu-ibu rumah tangga. Meskipun masih terbatas pada pelatihan awal dan pemasangan papan edukasi, tindak lanjut seperti pelatihan lanjutan, penyediaan alat komposter, hingga kemungkinan produksi pupuk skala rumahan mulai dirancang.
Di sisi lain, keberhasilan pendekatan ini menunjukkan bahwa pengembangan pertanian berkelanjutan tak harus bergantung pada modal besar. Dengan edukasi yang tepat dan teknologi yang merakyat, masyarakat bisa menjadi pelaku utama perubahan.
Dengan semangat inovatif dan pendekatan yang menyentuh akar permasalahan, mahasiswa KKN UNS telah menanamkan benih perubahan di Desa Laroenai. Sebuah langkah kecil yang membawa dampak besar bagi lingkungan dan masa depan pangan lokal.
Penulis : Fahrul Rosid Alam
Editor : Anisa Putri