Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) telah menjelma menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Dari algoritma yang menentukan konten media sosial, chatbot layanan pelanggan, hingga teknologi pengenalan wajah yang digunakan di berbagai sektor, AI bekerja diam-diam di balik layar dan memengaruhi keputusan kita tanpa selalu kita sadari.
Di satu sisi, AI memberikan kemudahan dan efisiensi luar biasa. Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran mendasar: apakah sistem yang semakin canggih ini tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan? Apakah teknologi ini dikembangkan untuk membantu manusia, atau justru akan melampaui dan mengendalikan mereka?
Pertanyaan-pertanyaan ini menandakan pentingnya pembahasan tentang AI Safety dan etika dalam pengembangan teknologi, agar kecerdasan buatan tidak menjelma menjadi ancaman tersembunyi bagi martabat dan hak asasi manusia.
AI telah membawa banyak terobosan penting. Di sektor kesehatan, teknologi ini membantu diagnosis penyakit secara lebih cepat dan akurat. Di bidang transportasi, kendaraan otonom berpotensi mengurangi angka kecelakaan. Sementara dalam dunia pendidikan, AI mulai dimanfaatkan untuk menciptakan sistem pembelajaran adaptif yang disesuaikan dengan kemampuan siswa.
Namun, semakin AI mampu belajar, mengambil keputusan, bahkan berkomunikasi layaknya manusia, muncul pula tantangan yang tidak kalah besar. Salah satu contohnya adalah bias algoritma yang terbukti menyebabkan diskriminasi berdasarkan ras atau gender dalam proses rekrutmen kerja maupun pengenalan wajah.
Di sektor keuangan, sistem AI bisa menolak pengajuan kredit hanya karena data historis yang tidak representatif. Bahkan dalam bidang politik, AI telah dimanfaatkan untuk menyebarkan disinformasi secara masif guna memanipulasi opini publik.
Masalahnya bukan sekadar teknologi yang salah program, melainkan ketiadaan prinsip moral dalam rancangan dan implementasinya. AI, betapapun cerdasnya, tetaplah buatan manusia dan karena itu mewarisi nilai, asumsi, dan kepentingan para penciptanya. Maka dari itu, pertanyaan etis menjadi semakin mendesak untuk diajukan.
AI yang aman (safe AI) merujuk pada sistem yang tidak menimbulkan bahaya bagi manusia, baik secara fisik, sosial, maupun psikologis. Aspek keamanan ini mencakup ketepatan teknis, perlindungan data pribadi, transparansi dalam logika algoritma, dan akuntabilitas dalam setiap keputusan yang dihasilkan oleh mesin.
Sementara itu, AI yang etis adalah sistem yang dibangun berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan seperti keadilan, inklusivitas, non-diskriminasi, serta perlindungan terhadap kelompok rentan. Prinsip-prinsip ini mulai diakui secara global.
Uni Eropa, misalnya, sedang mengembangkan AI Act, sebuah regulasi untuk mengatur penggunaan AI berdasarkan tingkat risikonya terhadap hak asasi manusia. Di sisi lain, sejumlah perusahaan teknologi raksasa telah membentuk dewan etika internal guna meninjau dampak sosial dari produk mereka.
Sayangnya, di Indonesia, wacana mengenai AI masih lebih banyak terfokus pada aspek teknis dan peluang bisnis. Pembahasan mengenai etika dan keamanan masih belum menjadi bagian penting dari diskursus publik maupun kebijakan nasional.
Indonesia berada di titik kritis. Dengan jumlah penduduk digital yang besar dan pertumbuhan ekonomi berbasis teknologi yang cepat, negeri ini memiliki potensi besar untuk menjadi pemain utama dalam pengembangan AI. Banyak startup lokal telah memanfaatkan AI dalam sektor finansial, logistik, pertanian, hingga layanan pelanggan.
Namun, tanpa regulasi yang berpihak pada kepentingan publik, AI bisa memperparah ketimpangan sosial yang sudah ada. Misalnya, penggunaan sistem rekrutmen berbasis algoritma tanpa prinsip etika bisa menyebabkan kelompok minoritas semakin terpinggirkan. Begitu pula, jika layanan publik bergantung pada sistem pengenalan wajah tanpa aturan ketat, maka kebebasan sipil masyarakat bisa terancam.
Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia merumuskan prinsip etika nasional dalam pengembangan AI. Pemerintah perlu mengembangkan kebijakan berbasis hak asasi manusia yang menyeimbangkan antara inovasi dan perlindungan publik.
Langkah-langkah seperti penilaian etis terhadap proyek berisiko tinggi, pembentukan lembaga pengawasan independen, serta pelibatan masyarakat sipil, akademisi, dan kelompok rentan dalam proses kebijakan, harus menjadi prioritas utama.
Tantangan AI bukan semata tanggung jawab pemerintah atau pelaku industri. Masyarakat juga harus memiliki literasi digital yang memadai untuk memahami bagaimana algoritma bekerja serta dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari. Dunia pendidikan, terutama universitas dan lembaga riset, perlu mengintegrasikan etika dalam kurikulum teknik informatika dan data science.
Mahasiswa teknik tak hanya perlu tahu cara menulis algoritma yang efisien, tetapi juga harus memahami bahwa setiap baris kode yang mereka tulis dapat berimplikasi sosial yang besar. Selain itu, media massa pun memiliki peran penting untuk membuka ruang diskusi publik tentang arah perkembangan AI, agar teknologi ini tidak semata dilihat sebagai produk industri, tetapi sebagai instrumen yang membentuk masa depan bersama.
Kini, pertanyaan yang patut kita ajukan bukanlah sekadar “seberapa cerdas teknologi bisa dikembangkan?”, melainkan “apakah teknologi itu akan tetap berpihak pada manusia?”. AI yang aman dan etis bukanlah opsi tambahan, melainkan keharusan moral. Di tengah gelombang inovasi, kita tak boleh lupa menjaga nilai-nilai dasar kemanusiaan: martabat, keadilan, dan kepedulian.
Sebab, ketika teknologi kehilangan nurani, maka ia pun kehilangan arah. Dan masa depan yang layak kita perjuangkan bukan hanya cerdas secara digital, tetapi juga luhur secara moral.
Penulis : Awalludin Taufiq, Mahasiswa UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan
Editor : Anisa Putri