Antara Husnuzan dan Trust Issue: Menjaga Keseimbangan di Tengah Dunia yang Rumit

- Jurnalis

Sabtu, 28 Juni 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi pertemanan yang saling percaya. (freepik.com)

Ilustrasi pertemanan yang saling percaya. (freepik.com)

Dalam dinamika kehidupan modern yang semakin kompleks, relasi antarindividu menjadi semakin rentan oleh berbagai tekanan sosial dan psikologis. Di tengah arus informasi yang cepat dan pengalaman hidup yang tak selalu menyenangkan, kita dihadapkan pada dua hal yang tampaknya berseberangan: husnuzan (prasangka baik) dan trust issue (krisis kepercayaan). Keduanya adalah respons yang manusiawi, namun sering kali menimbulkan konflik batin ketika dihadapkan pada situasi sosial yang rumit.

Secara prinsip dalam Islam, husnuzan merupakan bagian dari akhlak mulia yang sangat ditekankan. Al-Qur’an dengan tegas memperingatkan, “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa” (QS. Al-Hujurat: 12).

Hadis Nabi Muhammad SAW pun senada, mengajak umat untuk menghindari prasangka buruk, tidak mudah menuduh, dan memberi ruang maaf kepada sesama. Prasangka baik tidak hanya mendamaikan hati, tetapi juga mempererat ukhuwah sosial.

Namun realitas kehidupan sering kali menghadirkan luka. Banyak individu yang pernah mengalami pengkhianatan, manipulasi emosional, atau kekecewaan mendalam dari orang-orang terdekat, baik pasangan, teman, bahkan lingkungan kerja.

Luka-luka tersebut kemudian membentuk pertahanan diri berupa trust issue. Mereka menjadi lebih tertutup, curiga, bahkan membangun tembok emosional untuk melindungi diri dari kemungkinan tersakiti kembali.

Perlu dipahami bahwa trust issue bukanlah bentuk kebencian atau kejahatan hati. Ia lahir dari upaya seseorang untuk menjaga dirinya dari rasa sakit yang pernah dialami. Maka tidak adil apabila kita menuntut seseorang langsung berprasangka baik tanpa memahami luka yang ia simpan. Dalam konteks ini, empati menjadi kunci untuk tidak mudah menghakimi.

Baca Juga :  Manajemen Inovasi: Peluang dan Tantangan di Era Disrupsi

Tantangan besar bagi seorang Muslim adalah bagaimana tetap menjunjung tinggi nilai husnuzan tanpa mengorbankan nalar sehat dan kewaspadaan. Husnuzan bukan berarti bersikap naif atau menutup mata terhadap realitas. Islam mengenal konsep al-ihtiyat, yakni sikap hati-hati yang merupakan bagian dari kecerdasan spiritual.

Contoh konkret adalah ketika seseorang pernah menjadi korban penipuan finansial oleh teman sendiri. Ia kemudian menjadi lebih selektif dalam meminjamkan uang. Sikap tersebut bukanlah suuzan, melainkan bentuk kehati-hatian yang sah. Selama tidak disertai tuduhan tanpa bukti atau menyebarkan aib, sikap ini tetap berada dalam koridor akhlak Islami.

Sebaliknya, husnuzan yang berlebihan justru dapat menjerumuskan. Kepercayaan yang diberikan secara buta, tanpa mengenali tanda-tanda peringatan, bisa membuat seseorang terjebak dalam hubungan yang toksik atau bahkan manipulatif. Oleh karena itu, prasangka baik harus selalu disertai dengan penilaian yang bijaksana, berbasis ilmu dan pengalaman.

Pertanyaannya kemudian: apakah mungkin husnuzan dan trust issue berdampingan? Jawabannya adalah mungkin, asalkan keduanya dikelola secara sadar. Husnuzan adalah ekspresi positif dari keimanan dan harapan, sementara trust issue adalah respon emosional dari pengalaman yang menyakitkan. Keduanya tidak harus saling meniadakan, melainkan dapat diolah menjadi mekanisme adaptif yang lebih sehat.

Baca Juga :  Kecanduan Gadget: Menyikapi Teknologi sebagai Tantangan Pendidikan dan Pola Asuh

Langkah awalnya adalah mengenal dan memahami diri sendiri. Jika kita memiliki trust issue, penting untuk tidak menyalahkan diri, melainkan mengakui luka dan memprosesnya dengan sehat. Perlahan, kita bisa belajar membuka diri kembali untuk mempercayai orang lain, sambil tetap menjaga batas yang wajar dan sehat.

Di tengah dunia yang penuh kecurangan dan luka, husnuzan bukan berarti menutup mata, tetapi membuka hati terhadap kemungkinan baik. Manusia memang tidak sempurna, namun bukan berarti tidak layak dipercaya. Husnuzan adalah bentuk keberanian untuk berharap, sedangkan trust issue adalah bentuk kehati-hatian yang manusiawi. Keduanya perlu dikendalikan dengan ilmu, iman, dan kesadaran diri.

Menjaga prasangka baik bukan sekadar tentang bagaimana kita memandang orang lain, tetapi juga tentang bagaimana kita menjaga kedamaian dalam diri. Islam mengajarkan keseimbangan antara menjaga diri dari keburukan dan tetap membuka ruang untuk kebaikan. Dalam keseimbangan itulah, kita bisa tumbuh menjadi pribadi yang kuat, bijak, dan berakhlak mulia.

Penulis : Naila Amalia el Husna | Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Editor : Anisa Putri

Follow WhatsApp Channel sorotnesia.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Sarjana Muslim di Tengah Tantangan Dunia Kerja
Islam dan Luka Ekologis: Menimbang Kembali Etika Pertambangan dalam Perspektif Syariat
Fatwa-Fatwa Kontemporer Ulama Dunia soal Perang: Antara Jihad dan Kemanusiaan
Pernikahan Dini dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Indonesia: Antara Syariat dan Regulasi Negara
Kenapa Tata Cara Shalat Berbeda? Ini Penjelasan Menurut Mazhab
BNPL: Inovasi Finansial atau Jeratan Riba?
Perbedaan Pendapat Ulama: Kekuatan atau Kelemahan Bagi Umat Islam ?
Menjaga Kemanusiaan di Era Kecerdasan Buatan: Urgensi AI yang Aman dan Etis

Berita Terkait

Senin, 30 Juni 2025 - 21:30 WIB

Sarjana Muslim di Tengah Tantangan Dunia Kerja

Sabtu, 28 Juni 2025 - 14:40 WIB

Islam dan Luka Ekologis: Menimbang Kembali Etika Pertambangan dalam Perspektif Syariat

Sabtu, 28 Juni 2025 - 14:10 WIB

Antara Husnuzan dan Trust Issue: Menjaga Keseimbangan di Tengah Dunia yang Rumit

Jumat, 27 Juni 2025 - 19:30 WIB

Fatwa-Fatwa Kontemporer Ulama Dunia soal Perang: Antara Jihad dan Kemanusiaan

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:29 WIB

Pernikahan Dini dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Indonesia: Antara Syariat dan Regulasi Negara

Berita Terbaru

Dua profesional sedang bekerja bersama dengan penuh fokus, mencerminkan etos kerja yang terencana, terstruktur, dan produktif sebagaimana diajarkan dalam Islam. Foto: Pexels/Mikhail Nilov

Opini

Sarjana Muslim di Tengah Tantangan Dunia Kerja

Senin, 30 Jun 2025 - 21:30 WIB