“Demi keuntungan sesaat, bumi dikeruk tanpa ampun. Tapi benarkah agama membiarkan semua ini?”
Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia menghadapi dilema serius antara eksploitasi sumber daya alam dan upaya menjaga kelestarian lingkungan.
Di balik kemegahan hasil tambang seperti emas, nikel, dan batu bara, tersembunyi luka ekologis yang terus menganga: hutan yang gundul, air yang tercemar, tanah yang longsor, hingga kehidupan masyarakat adat yang tercerabut dari akar budayanya.
Dalam situasi ini, patut kita pertanyakan kembali: bagaimana sesungguhnya Islam memandang aktivitas pertambangan yang berpotensi merusak alam?
Islam sebagai agama yang sempurna tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan bahwa bumi ini adalah amanah dan bukan milik mutlak manusia:
وَهُوَ ٱلَّذِى جَعَلَكُمْ خَلَـٰٓئِفَ ٱلْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍۢ دَرَجَـٰتٍۢ لِّيَبْلُوَكُمْ فِى مَآ ءَاتَىٰكُمْ ۗ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ ٱلْعِقَابِ ۖ وَإِنَّهُۥ لَغَفُورٌۭ رَّحِيمٌۭ
“Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di bumi…” (QS. Al-An’am: 165).
Ayat ini menegaskan bahwa manusia diberi mandat sebagai khalifah, yakni pengelola yang bertanggung jawab menjaga kelestarian bumi, bukan mempercepat kerusakannya. Maka dari itu, segala bentuk pengelolaan sumber daya, termasuk pertambangan, tidak bisa dilakukan hanya berdasarkan kalkulasi ekonomi, melainkan harus memperhitungkan dimensi etika dan keberlanjutan ekologis.
Allah berfirman:
وَلَا تُفْسِدُوا فِي ٱلْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَـٰحِهَا
“Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ayat ini menegaskan bahwa merusak bumi apapun alasannya adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah ilahiah. Termasuk di dalamnya adalah kerusakan yang ditimbulkan oleh aktivitas industri pertambangan yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan.
Para ulama, baik klasik maupun kontemporer, turut menggarisbawahi pentingnya menjaga alam. Imam Al-Ghazali, misalnya, dalam pemikiran maqashid al-shari’ah, menyebutkan bahwa pelestarian lingkungan (hifzh al-bi’ah) merupakan bagian penting dari tujuan syariat.
Senada dengan itu, Yusuf al-Qaradawi dalam karya Ri’ayah al-Bi’ah fi al-Shari’ah al-Islamiyyah menjelaskan bahwa eksploitasi alam secara berlebihan adalah bentuk baghy—atau kezaliman terhadap ciptaan Allah lainnya.
Lebih jauh lagi, ulama fikih kontemporer seperti Dr. Wahbah az-Zuhaili menekankan pentingnya prinsip la darar wa la dirar—tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain. Prinsip ini menjadi landasan penting dalam menilai legalitas aktivitas industri.
Jika suatu kegiatan pertambangan terbukti menyebabkan kerusakan ekologis yang besar serta mengancam kehidupan masyarakat sekitar, maka dalam pandangan hukum Islam, aktivitas tersebut dapat dikategorikan sebagai haram.
Namun demikian, Islam tidak menolak aktivitas eksplorasi dan pemanfaatan sumber daya alam. Sebaliknya, Islam mendorong pengelolaan sumber daya secara adil dan berkelanjutan. Prinsipnya jelas: kegiatan tersebut harus mengedepankan kebermanfaatan bagi umat, menjaga keseimbangan alam, dan tidak merugikan generasi yang akan datang. Keberlanjutan (sustainability) menjadi syarat utama dalam setiap tindakan eksplorasi.
Karena itu, pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat perlu bersama-sama merefleksikan arah kebijakan pertambangan nasional. Kita tidak boleh hanya terjebak pada jargon-jargon profit dan pertumbuhan ekonomi, tanpa memperhitungkan aspek planet dan people.
Sebab, dalam perspektif Islam, keberkahan tidak diukur dari seberapa banyak hasil bumi yang diambil, melainkan dari seberapa jauh kita menjaga keseimbangan dan merawat amanah yang telah diberikan oleh Sang Khalik.
Sudah saatnya kita menggeser paradigma pembangunan. Pertambangan tidak boleh lagi menjadi instrumen pemiskinan ekologis. Ia harus ditata ulang, dikawal dengan etika spiritual, dan diarahkan untuk kemaslahatan bersama. Karena bumi bukan milik kita semata, melainkan titipan yang harus diwariskan dalam keadaan baik kepada generasi mendatang.
Penulis : Rangga Sultan Ramadan | Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor : Anisa Putri