Di tengah ketidakpastian ekonomi global, Indonesia memiliki dua kekuatan strategis yang sering kali berjalan sendiri-sendiri: fintech syariah dan ekonomi kreatif. Keduanya sejatinya dapat menjadi pasangan ideal dalam memperkuat kemandirian ekonomi nasional, sekaligus memperluas inklusi keuangan berbasis nilai-nilai Islam.
Selama satu dekade terakhir, sektor keuangan syariah di Indonesia mencatat pertumbuhan yang menggembirakan. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 menunjukkan bahwa tingkat literasi keuangan syariah telah mencapai 43,42 persen.
Namun, tingkat inklusinya baru berada di angka 13,41 persen. Angka ini menandakan bahwa masih banyak masyarakat yang memahami konsep keuangan syariah, tetapi belum sepenuhnya memanfaatkan produk-produknya.
Sementara itu, ekonomi kreatif justru menjadi salah satu motor penggerak baru perekonomian nasional. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mencatat, kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai Rp1.500 triliun pada 2024, dengan serapan tenaga kerja lebih dari 20 juta orang. Sub-sektor fesyen, kuliner, dan kriya menjadi tulang punggung utama, bahkan nilai ekspornya menembus 12 miliar dolar AS pada semester pertama 2024.
Kendati demikian, kedua sektor potensial ini sesungguhnya menghadapi tantangan yang serupa: akses pembiayaan yang terbatas dan rendahnya literasi finansial. Banyak pelaku ekonomi kreatif, khususnya di tingkat mikro dan kecil, masih kesulitan mendapatkan modal karena tidak memiliki agunan atau rekam jejak keuangan formal. Di sisi lain, banyak lembaga keuangan syariah masih berorientasi pada pembiayaan korporasi besar dan belum sepenuhnya menyentuh sektor kreatif.
Fintech Syariah: Menjembatani Modal dan Nilai
Di sinilah peran fintech syariah menjadi sangat relevan. Teknologi finansial berbasis prinsip Islam menawarkan solusi pembiayaan yang inklusif, cepat, dan berkeadilan. Melalui platform peer-to-peer (P2P) lending syariah, pelaku ekonomi kreatif dapat terhubung langsung dengan investor Muslim yang ingin menyalurkan dana secara halal dan produktif.
Beberapa platform seperti Ammana dan Dana Syariah telah menyalurkan pembiayaan kepada pelaku UMKM kreatif dengan skema mudharabah atau musyarakah. Skema ini menekankan bagi hasil dan kemitraan, bukan bunga dan utang.
Pola semacam ini menciptakan hubungan yang lebih manusiawi, berlandaskan keadilan, transparansi, dan keberkahan. Prinsip ini sejalan dengan maqashid syariah tujuan syariah yang menempatkan kemaslahatan sosial dan keseimbangan ekonomi di atas kepentingan individu.
Menggerakkan Ekonomi Lokal dengan Nilai Islam
Sinergi antara fintech syariah dan ekonomi kreatif tidak hanya penting di level nasional, tetapi juga di daerah. Melalui pembiayaan syariah, industri lokal seperti batik ramah lingkungan di Pekalongan, tenun Troso di Jepara, atau kopi halal di Aceh Gayo dapat berkembang dengan lebih berkelanjutan. Fintech memungkinkan para pelaku lokal memasarkan produk mereka ke pasar digital tanpa harus bergantung pada tengkulak.
Selain memperkuat ekonomi daerah, fintech syariah juga berperan dalam edukasi finansial berbasis nilai Islam. Literasi keuangan yang disertai nilai moral dan etika Islam mendorong masyarakat memahami konsep tanggung jawab sosial, keadilan dalam transaksi, dan keberlanjutan ekonomi. Dengan demikian, ekonomi kreatif tidak semata mengejar keuntungan, melainkan juga menghidupkan kembali nilai budaya, spiritualitas, dan kemanusiaan.
Regulasi dan Kepercayaan Publik
Meski peluangnya besar, jalan menuju sinergi ini masih panjang. Tantangan pertama adalah regulasi. Fintech syariah memerlukan payung hukum yang kuat agar inovasi digital tidak bertabrakan dengan prinsip syariah. Sinkronisasi antara fatwa DSN-MUI, kebijakan OJK, dan dinamika teknologi menjadi kunci pertumbuhan yang sehat.
Tantangan kedua adalah kepercayaan publik. Masih banyak masyarakat yang meragukan keabsahan produk digital syariah. Peran lembaga pendidikan, pesantren, dan perguruan tinggi dengan program studi ekonomi syariah perlu dioptimalkan untuk membangun pemahaman dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem ini.
Ketiga, pemerataan infrastruktur digital di daerah menjadi syarat mutlak. Tanpa akses internet yang merata, layanan fintech syariah sulit menjangkau pelaku ekonomi kreatif di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Pemerintah dan operator telekomunikasi perlu memastikan bahwa transformasi ekonomi digital benar-benar inklusif.
Arah Baru Ekonomi Islam
Dalam kerangka ekonomi Islam, kemajuan tidak hanya diukur dari besarnya pertumbuhan angka, tetapi dari seberapa besar manfaatnya bagi masyarakat luas. Fintech syariah yang mendukung ekonomi kreatif sejatinya sedang mempraktikkan prinsip adl (keadilan) dan maslahah (kebaikan bersama).
Ekonomi berkeadilan berarti memberi ruang bagi semua pihak untuk berkembang, bukan hanya yang memiliki modal besar. Ekonomi yang maslahat berarti menempatkan nilai sosial, budaya, dan lingkungan sebagai bagian integral dari kegiatan usaha.
Sinergi antara fintech syariah dan ekonomi kreatif adalah simbol dari transformasi ekonomi Islam di era digital. Ia bukan sekadar inovasi teknologi, tetapi juga bentuk baru pengamalan nilai spiritual dan keadilan sosial.
Bila seluruh pemangku kepentingan pemerintah, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat bergerak seirama, bukan mustahil Indonesia akan tumbuh menjadi pusat ekonomi Islam dunia yang kreatif, inklusif, dan berdaya saing global.
Penulis : Nur Istiqomah | Mahasiswa Magister Ekonomi Syariah UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan
Editor : Anisa Putri