Di tengah padatnya dunia perkuliahan tugas yang menumpuk, presentasi yang silih berganti, dan kecemasan tentang masa depan sebagian mahasiswa memilih memulihkan diri dengan mendaki gunung. Mereka menyebutnya ruang belajar alternatif, tempat beristirahat dari riuhnya kota dan rutinitas akademik.
Di ketinggian, mereka menemukan jeda, ketenangan, sekaligus pelajaran yang tak disediakan ruang kelas. Namun, tidak sedikit pula yang datang semata demi pencitraan, menjadikan puncak gunung sekadar latar foto untuk media sosial.
Gunung pun berubah menjadi arena gengsi, bukan lagi ruang kontemplasi. Padahal, alam menyimpan nilai-nilai penting tentang tanggung jawab, kebersamaan, dan kepedulian hal yang makin jarang dihayati generasi muda.
Kesadaran ekologis yang lahir dari pengalaman mendaki seharusnya menjadi fondasi bagi mahasiswa. Tindakan sederhana seperti menjaga kebersihan jalur, tidak merusak vegetasi, dan menghormati kehidupan liar merupakan bentuk etika mendaki yang paling mendasar.
Dari sini tumbuh pemahaman bahwa manusia tidak berdiri di atas alam, melainkan merupakan bagian dari ekosistem yang harus dijaga keberlanjutannya. Karena itu pula berbagai inisiatif seperti clean-up hike, kampanye zero waste, hingga pengabdian masyarakat di kawasan pegunungan menjadi wujud konkret pendidikan lingkungan. Aktivitas ini membentuk karakter, memperluas empati, dan menanamkan rasa tanggung jawab sosial yang lebih utuh.
Gunung, dengan keteguhan yang nyaris tak tersentuh zaman, menjadi guru yang sabar. Pendakian mengajarkan kekuatan tanpa keangkuhan, kerendahan hati tanpa rasa inferior, dan kepedulian tanpa pamrih. Setiap tanjakan dan turunan mengingatkan bahwa kehidupan bergerak dalam ritme yang tidak selalu mudah.
Kabut yang menutup pandangan dan udara dingin yang menusuk justru membantu mahasiswa memahami arti kesabaran, kerja sama, dan kemampuan beradaptasi. Ketika akhirnya berdiri di puncak, kebahagiaan yang muncul bukanlah rasa menang, melainkan syukur. Gunung menegaskan bahwa keindahan bukan terletak pada ketinggian yang ditaklukkan, tetapi pada proses yang ditempuh dengan niat bersih dan hati-hati.
Namun, di balik segala nilai yang diajarkan alam, masih banyak pelajaran yang kerap diabaikan. Tidak sedikit pendaki mahasiswa termasuk di dalamnya yang lupa bahwa mencintai gunung berarti menjaga keberlangsungannya. Salah satu contoh nyata adalah penutupan sementara Gunung Gede beberapa waktu lalu.
Seperti dilaporkan akun informasi pendakian Mountnesia, penutupan itu dilakukan untuk melakukan pembersihan sampah, evaluasi tata kelola, dan pemulihan ekosistem taman nasional. Keputusan tersebut menjadi pengingat keras bahwa pengalaman alam tidak semestinya berujung pada kerusakan yang ditinggalkan pengunjung.
Peristiwa semacam itu seharusnya menggugah kesadaran kritis mahasiswa sebagai kelompok terdidik sekaligus calon pemimpin masa depan. Pertanyaan yang layak diajukan adalah: apakah kita mendaki hanya untuk menikmati keindahan, atau juga untuk menjaga keseimbangannya?
Pendakian seharusnya menanamkan kebijaksanaan, bukan sekadar memuaskan hasrat rekreasi. Mahasiswa, sebagai agen perubahan, memiliki ruang yang luas untuk membawa nilai-nilai etis itu kembali ke kehidupan sehari-hari di kampus, komunitas, maupun masyarakat umum.
Gunung pada akhirnya merupakan ruang belajar yang tak tergantikan. Di sanalah disiplin, ketekunan, dan kepedulian tumbuh secara alami. Setiap langkah menuju puncak mengajarkan makna perjuangan, sementara perjalanan turun mengingatkan pentingnya kerendahan hati.
Namun, seluruh nilai itu akan kehilangan makna jika tidak diwujudkan dalam perilaku menjaga kelestarian alam. Satu bungkus plastik mungkin tampak remeh, tetapi jika dibiarkan oleh ratusan pendaki, ia berubah menjadi ancaman serius bagi ekosistem. Sampah yang tertinggal bukan sekadar kotoran fisik, melainkan simbol kelalaian moral.
Mendaki gunung sejatinya adalah perjalanan batin. Bagi mahasiswa, pengalaman itu membuka ruang refleksi untuk memahami diri, memperkuat karakter, dan menata kembali hubungan manusia dengan lingkungan.
Bila nilai-nilai alam mampu diterapkan dalam kehidupan akademik maupun sosial, gunung benar-benar berfungsi sebagai guru-guru yang mengajarkan kesadaran ekologis, tanggung jawab moral, dan cinta pada bumi tanpa perlu mengucapkan satu kata pun. Menjaga alam bukanlah tugas eksklusif pecinta lingkungan, melainkan tanggung jawab setiap manusia yang pernah menikmati kesegarannya.
Penulis : Muthi’atul ‘Azmiyah | Program Studi Tadris (Pendidikan) Bahasa Indonesia | UIN Raden mas Said Surakarta
Editor : Anisa Putri









