Kematian sopir truk asal Lampung yang diduga ditusuk pemalak di Palembang tidak bisa dipandang sebagai peristiwa kriminal biasa. Ini adalah potret buram keamanan jalan raya sekaligus rapuhnya perlindungan negara terhadap warganya yang bekerja di sektor logistik. Seorang ayah yang berangkat mencari nafkah tidak kembali dengan cerita rezeki, melainkan dengan kabar duka yang mematahkan harapan keluarga.
Sopir truk bukan sekadar pengemudi kendaraan besar. Mereka merupakan tulang punggung distribusi barang dan kebutuhan hidup masyarakat. Dari bahan pokok hingga komoditas industri, semua bergerak melalui ketekunan mereka menyusuri jalanan antarkota dan antarprovinsi.
Mereka menghadapi jarak panjang, cuaca ekstrem, kelelahan, dan tekanan target waktu. Ironisnya, di tengah beban itu masih ada ancaman pemalakan, kekerasan, dan intimidasi yang mengintai di ruas-ruas jalan.
Tragedi ini membuka fakta bahwa keselamatan pekerja transportasi belum ditempatkan sebagai prioritas. Di balik setiap setir ada keluarga yang menunggu, anak-anak yang menggantungkan masa depan, dan pasangan yang berharap pintu rumah diketuk oleh orang yang sama yang berangkat pagi hari. Ketika yang pulang justru jenazah, negara perlu menjawab: di mana fungsi perlindungan publik dijalankan?
Keamanan jalan bukan privilese; itu hak warga negara. Penegakan hukum tidak cukup reaktif. Aparat tidak boleh sekadar hadir setelah korban berjatuhan. Diperlukan patroli efektif di titik rawan, mekanisme pengaduan yang bisa diakses cepat, serta penindakan tegas pada praktik pemalakan yang selama ini dianggap “risiko pekerjaan”. Normalisasi kekerasan terhadap sopir harus dihentikan.
Penguatan regulasi perlindungan pekerja sektor transportasi darat juga mendesak dilakukan. Perusahaan angkutan, asosiasi sopir, dan pemerintah perlu membangun sistem keamanan terpadu: edukasi keselamatan, teknologi pemantauan rute, penerangan jalan yang memadai, serta pemberantasan kelompok kriminal di jalur distribusi logistik. Hukuman tegas bagi pelaku penting, tetapi pencegahan yang sistematis jauh lebih bermakna.
Mencari nafkah tidak sepatutnya berujung pada kematian. Ketika seorang sopir berangkat bekerja, ia layak kembali ke rumah dengan selamat. Negara berkewajiban memastikan jalan raya bukan arena kekerasan.
Keluarga korban memang berduka, namun duka itu tidak boleh menjadi cerita berulang. Negara harus hadir tidak hanya melalui belasungkawa, melainkan melalui kebijakan, tindakan, dan keadilan yang nyata.
Penulis : Muhammad Fajar Khosidin | Prodi Kewirausahaan | Institut Teknologi Muhammadiyah Sumatra
Editor : Fadli Akbar









