Pendidikan di era digital telah menghadirkan perubahan besar dalam cara kita belajar, mengajar, dan mengakses informasi. Namun, di tengah segala kemudahan teknologi, terdapat tantangan besar yang sering kali terabaikan: literasi digital.
Banyak diskusi seputar pendidikan digital berfokus pada infrastruktur teknologi, seperti akses internet dan perangkat keras, tetapi jarang membahas kemampuan dasar untuk memahami, menganalisis, dan menggunakan teknologi dengan bijak. Literasi digital, bukan sekadar akses teknologi, adalah fondasi utama untuk memastikan pendidikan di era digital benar-benar inklusif dan efektif.
Literasi digital harus menjadi prioritas karena era digital tidak hanya menghadirkan peluang tetapi juga risiko. Generasi muda yang tumbuh dengan akses internet sering kali diasumsikan sudah “terampil” menggunakan teknologi.
Mereka mungkin tahu cara menggunakan media sosial, mencari informasi di Google, atau mengunduh aplikasi, tetapi itu bukanlah literasi digital. Literasi digital mencakup kemampuan membedakan informasi valid dari berita palsu, melindungi data pribadi, memahami algoritma yang memengaruhi keputusan mereka, dan menggunakan teknologi untuk tujuan produktif. Tanpa literasi digital, generasi muda berisiko menjadi korban manipulasi informasi, kecanduan teknologi, atau eksploitasi digital.
Salah satu contoh nyata dari pentingnya literasi digital adalah fenomena penyebaran berita palsu (hoaks). Sebuah studi dari MIT pada tahun 2018 menemukan bahwa berita palsu menyebar 70% lebih cepat dibandingkan berita yang valid, dan sebagian besar penyebarnya adalah individu yang tidak memiliki kemampuan untuk memverifikasi informasi.
Dalam konteks pendidikan, hal ini sangat berbahaya. Bayangkan seorang siswa yang menggunakan internet untuk tugas sekolah tetapi tanpa kemampuan mengevaluasi kredibilitas sumber. Ia mungkin mengutip informasi yang salah atau bahkan berbahaya. Literasi digital adalah kunci memastikan teknologi digunakan sebagai alat pembelajaran yang mendukung pemahaman mendalam, bukan sekadar sarana reproduksi informasi.
Selain itu, literasi digital juga berperan penting dalam membangun etika digital. Teknologi telah mengaburkan batas antara ruang publik dan pribadi, menciptakan tantangan baru dalam hal privasi, keamanan data, dan interaksi sosial.
Generasi muda yang tidak dibekali literasi digital cenderung mengabaikan konsekuensi dari jejak digital mereka, seperti memposting informasi pribadi yang sensitif atau terlibat dalam perilaku online yang tidak etis, seperti perundungan siber. Pendidikan di era digital harus lebih dari sekadar mengintegrasikan teknologi dalam kurikulum; ia harus mencakup pembentukan karakter dan tanggung jawab digital.
Argumen ini diperkuat oleh contoh negara-negara yang berhasil mengintegrasikan literasi digital ke dalam sistem pendidikan mereka. Finlandia, misalnya, dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat literasi digital tertinggi di dunia.
Pemerintah Finlandia tidak hanya fokus pada penyediaan teknologi di sekolah, tetapi juga pada pelatihan guru dan pengembangan kurikulum yang mengajarkan siswa untuk berpikir kritis, mengevaluasi informasi, dan memahami implikasi teknologi. Hasilnya, siswa Finlandia tidak hanya mampu menggunakan teknologi dengan baik tetapi juga memahami dampaknya terhadap masyarakat dan kehidupan pribadi mereka.
Sebaliknya, di banyak negara berkembang, fokus pada teknologi sering kali terbatas pada penyediaan perangkat keras dan jaringan internet tanpa investasi yang cukup pada literasi digital. Hal ini menciptakan ilusi kemajuan tetapi sebenarnya memperbesar kesenjangan digital.
Generasi muda dari keluarga kurang beruntung sering kali tidak mendapatkan pelatihan yang cukup untuk menggunakan teknologi secara efektif, sehingga mereka tetap tertinggal meskipun memiliki akses ke teknologi yang sama. Literasi digital adalah alat untuk mengurangi kesenjangan ini, memastikan setiap individu memiliki peluang yang sama untuk berhasil di dunia digital.
Pentingnya literasi digital juga terlihat dalam konteks pekerjaan. Era digital telah menciptakan pasar kerja yang sangat berbeda dari sebelumnya, di mana kemampuan beradaptasi dengan teknologi baru menjadi salah satu keterampilan yang paling dicari.
Namun, survei dari World Economic Forum pada tahun 2020 menunjukkan bahwa lebih dari 40% pekerja global merasa tidak siap menghadapi otomatisasi dan digitalisasi pekerjaan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan tidak cukup hanya mengajarkan keterampilan teknis seperti coding atau penggunaan perangkat lunak; pendidikan harus fokus pada pembentukan pola pikir digital yang memungkinkan individu untuk belajar, beradaptasi, dan berkembang di lingkungan yang terus berubah.
Untuk memperkuat literasi digital, pendekatan holistik diperlukan. Pertama, guru harus dilatih untuk memahami dan mengajarkan literasi digital. Banyak guru saat ini masih merasa canggung dengan teknologi, sehingga mereka cenderung menghindarinya atau menggunakannya secara tidak efektif dalam pengajaran.
Kedua, kurikulum harus dirancang untuk mencakup keterampilan literasi digital secara eksplisit, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Ketiga, orang tua juga harus dilibatkan dalam proses ini, karena literasi digital adalah keterampilan yang terus berkembang dan harus diterapkan di rumah, bukan hanya di sekolah.
Pesan utama dari esai ini adalah bahwa literasi digital adalah elemen paling mendasar untuk pendidikan di era digital. Tanpa literasi digital, akses teknologi hanya akan menjadi alat yang setengah efektif, berpotensi membawa dampak negatif yang lebih besar daripada manfaatnya.
Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan literasi digital harus menjadi prioritas dalam semua diskusi tentang pendidikan di era digital. Hanya dengan cara ini kita dapat memastikan bahwa generasi mendatang tidak hanya mampu bertahan tetapi juga unggul dalam dunia yang semakin terdigitalisasi.
Penulis : Selly Pebritanti /Prodi Pendidikan Anak Usia Dini / Universitas Dharmas Indonesia
Editor : Anisa Putri