Bullying di dunia perkuliahan adalah fenomena yang sering kali luput dari perhatian. Banyak orang mengira bahwa perilaku bullying hanya terjadi di sekolah dasar atau menengah, tetapi kenyataannya, kampus juga menjadi tempat subur bagi praktik ini.
Bentuk bullying di lingkungan kampus sering kali lebih kompleks dan halus, tetapi dampaknya tetap signifikan, terutama pada kesehatan mental mahasiswa yang menjadi korbannya.
Bullying di dunia perkuliahan dapat muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari kekerasan verbal seperti ejekan atau hinaan, pengucilan sosial, hingga tekanan psikologis dalam bentuk intimidasi atau pelecehan.
Bahkan, senioritas di beberapa organisasi kampus sering kali digunakan sebagai kedok untuk melakukan bullying dengan alasan “tradisi”
Mahasiswa yang menjadi korban tidak hanya merasakan sakit secara emosional, tetapi juga sering mengalami rasa malu, rendah diri, dan kehilangan motivasi untuk menjalani kehidupan perkuliahan. Kesehatan mental mahasiswa korban bullying sangat rentan terganggu. Salah satu dampak yang paling umum adalah meningkatnya tingkat kecemasan.
Mahasiswa yang terus-menerus diintimidasi atau direndahkan akan merasa cemas setiap kali harus menghadapi situasi yang melibatkan pelaku bullying. Kecemasan ini bisa berdampak pada aktivitas akademik mereka, seperti presentasi di depan kelas, kerja kelompok, atau bahkan sekadar menghadiri kuliah. Selain kecemasan, depresi juga menjadi dampak serius yang dialami korban bullying.
Mereka sering merasa tidak berharga, kehilangan minat pada hal-hal yang dulu mereka nikmati, dan merasa terisolasi. Dalam beberapa kasus, korban bahkan merasa tidak ada jalan keluar dari situasi yang mereka hadapi, sehingga mereka mulai memikirkan tindakan yang lebih ekstrem, seperti menyakiti diri sendiri atau bahkan bunuh diri.
Data menunjukkan bahwa tingkat stres dan depresi di kalangan mahasiswa meningkat setiap tahunnya, dan bullying menjadi salah satu faktor utama yang menyumbang pada masalah ini.
Kampus seharusnya menjadi tempat yang aman bagi mahasiswa untuk belajar dan berkembang. Namun, dalam banyak kasus, institusi pendidikan tinggi sering kali kurang tanggap terhadap masalah bullying.
Beberapa kampus tidak memiliki kebijakan atau prosedur yang jelas untuk menangani laporan bullying. Bahkan, ada yang menganggap m ingasalah ini sebagai konflik pribadi antar mahasiswa yang tidak memerlukan intervensi institusi. Sikap seperti ini hanya akan membuat korban semakin merasa tidak didukung dan kehilangan kepercayaan pada sistem.
Untuk mengatasi masalah ini, kampus perlu mengambil langkah tegas. Pertama, kampus harus memiliki kebijakan anti-bullying yang jelas dan tegas, serta menyediakan mekanisme pelaporan yang aman bagi mahasiswa.
Kedua, penting untuk mengedukasi mahasiswa dan staf kampus tentang tanda-tanda bullying dan dampaknya. Kampanye kesadaran dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung. Ketiga, layanan konseling kampus harus diperkuat, sehingga mahasiswa yang membutuhkan bantuan dapat dengan mudah mengaksesnya.
Di luar peran kampus, mahasiswa juga perlu diberdayakan untuk melawan bullying. Solidaritas antar mahasiswa sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang saling mendukung. Mahasiswa yang melihat atau mengetahui adanya kasus bullying harus berani bertindak, baik dengan mendukung korban maupun melaporkan kejadian tersebut. Selain itu, korban bullying harus didorong untuk mencari bantuan, baik dari teman, keluarga, maupun profesional.
Bullying di dunia perkuliahan bukan hanya masalah individu, tetapi juga masalah sistemik yang membutuhkan perhatian serius dari semua pihak. Lingkungan kampus yang sehat dan inklusif adalah kunci untuk menciptakan generasi muda yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat secara emosional.
Oleh karena itu, semua pihak – mulai dari mahasiswa, dosen, hingga pihak administrasi kampus – harus bersatu untuk memerangi bullying dan memastikan bahwa setiap mahasiswa memiliki kesempatan yang sama untuk belajar, berkembang, dan merasa aman di dunia perkuliahan.
Lebih dari itu, banyak korban bullying merasa malu untuk berbicara atau melaporkan tindakan yang mereka alami, karena mereka takut akan dijadikan bahan lelucon atau dianggap terlalu sensitif. Dalam beberapa kasus, budaya “mencemooh” di kampus malah membuat korban semakin terpojok.
Oleh karena itu, penting untuk menciptakan budaya yang lebih terbuka dan empati di kalangan mahasiswa. Kampus harus menjadi tempat yang mengajarkan saling menghormati dan mendukung satu sama lain, bukan tempat di mana individu saling menekan demi pencapaian pribadi.
Salah satu solusi yang bisa diterapkan adalah melalui pelatihan kesadaran sosial dan emosional di kampus. Ini bisa dilakukan dengan menghadirkan workshop atau seminar tentang bullying, kesadaran mental, dan pentingnya komunikasi yang sehat.
Dalam sesi-sesi seperti ini, mahasiswa bisa diajarkan tentang bagaimana mengenali perilaku bullying, serta cara menghadapinya tanpa merasa tertekan atau malu. Dengan demikian, mahasiswa dapat lebih memahami pentingnya mendukung satu sama lain, bukan malah menjatuhkan atau merendahkan teman-temannya.
Akhirnya, kita perlu mengingat bahwa kesadaran tentang bullying bukan hanya masalah individu atau kampus saja, melainkan masalah sosial yang harus ditanggapi secara kolektif. Sebagai masyarakat, kita harus menjaga ruang aman bagi mahasiswa untuk belajar dan berkembang tanpa rasa takut akan intimidasi atau perlakuan buruk lainnya.
Lingkungan yang mendukung akan menciptakan suasana akademik yang lebih sehat, memungkinkan mahasiswa untuk tidak hanya mencapai prestasi akademik, tetapi juga tumbuh menjadi individu yang lebih matang secara emosional dan sosial.
Penulis : Bunga Aulia Putri Rahmadani / Manajemen / Universitas Dharmas Indonesia
Editor : Anisa Putri