Bullying di kampus adalah fenomena tersembunyi namun memiliki dampak nyata bagi korban dan lingkungan kampus secara keseluruhan. Dalam berbagai penelitian, bullying di lingkungan pendidikan tinggi telah diidentifikasi sebagai salah satu faktor yang memengaruhi kesehatan mental, motivasi belajar, dan kemampuan mahasiswa beradaptasi dengan kehidupan kampus. Padahal, kampus seharusnya menjadi tempat yang mendukung pengembangan intelektual, sosial, dan emosional individu, bukan justru menjadi sumber tekanan dan trauma.
Bentuk bullying di kampus bervariasi, mulai dari hinaan verbal, pengucilan sosial, hingga intimidasi fisik atau cyberbullying. Teknologi turut memperburuk masalah ini, dengan media sosial sering digunakan untuk menyebarkan fitnah, mengejek, atau mempermalukan seseorang secara publik. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kehidupan sehari-hari korban tetapi juga meninggalkan dampak jangka panjang pada kesehatan mental mereka.
Mahasiswa yang menjadi korban bullying sering kehilangan rasa percaya diri, mengalami stres, depresi, atau kecemasan berlebihan. Akibatnya, mereka sulit berkonsentrasi, prestasi akademik menurun, hingga memutuskan berhenti kuliah.
Dalam kasus ekstrem, korban bahkan bisa menyakiti diri sendiri atau melakukan bunuh diri. Hal ini menunjukkan bahwa bullying bukanlah masalah sepele, melainkan isu serius yang memerlukan perhatian dan tindakan nyata.
Bullying juga berdampak buruk pada lingkungan kampus secara keseluruhan. Kampus yang diwarnai oleh bullying menciptakan suasana tidak sehat, mengurangi interaksi sosial positif, serta menurunkan solidaritas dan nilai kebersamaan antar mahasiswa. Ketakutan untuk berbicara atau berekspresi menjadi hal yang umum karena khawatir menjadi target intimidasi.
Melihat dampaknya yang luas, menghentikan bullying di kampus menjadi sangat penting. Kampus perlu mengadopsi kebijakan anti-bullying yang tegas, meningkatkan kesadaran di kalangan mahasiswa, dan menyediakan layanan dukungan psikologis bagi korban. Kampus harus menjadi tempat yang inklusif, aman, dan mendukung setiap individu untuk berkembang secara optimal tanpa rasa takut akan intimidasi atau perlakuan tidak adil.
Langkah Konkret untuk Mengatasi Bullying
Upaya bersama untuk mengatasi bullying melibatkan mahasiswa, dosen, staf, dan pihak kampus. Kebijakan tegas terhadap bullying harus diterapkan, termasuk saluran pelaporan yang aman serta dukungan psikologis bagi korban. Edukasi mengenai pentingnya saling menghargai, membangun komunikasi yang baik, dan memahami dampak negatif bullying perlu dilakukan secara rutin.
Lingkungan kampus yang diwarnai bullying juga berisiko kehilangan reputasinya sebagai institusi pendidikan yang aman. Ketakutan dan ketidakpercayaan menyebar, merusak hubungan antar mahasiswa, dan menciptakan suasana tidak kondusif untuk belajar. Oleh karena itu, menghentikan bullying di kampus adalah langkah penting untuk memastikan setiap mahasiswa dapat belajar dan berkembang dalam lingkungan yang mendukung.
Baru-baru ini, berita mengenai bullying kembali mencuat. Salah satu kasus menyebutkan bahwa sekelompok mahasiswa berseragam melakukan bullying terhadap temannya, yang akhirnya viral melalui rekaman video.
Mahasiswa tersebut telah lama mengalami perlakuan kasar, namun tidak melaporkannya. Akibatnya, bullying terus berlanjut hingga akhirnya menjadi perhatian publik. Kasus ini menunjukkan bahwa bullying sering kali dilakukan secara berulang dan disengaja, baik melalui kekerasan fisik maupun psikologis, yang meninggalkan luka mendalam bagi korbannya.
Bullying sering kali terjadi seperti “hukum rimba,” di mana kelompok kuat menindas yang lemah. Perilaku ini biasanya tidak terjadi sekali, melainkan berulang hingga menjadi kebiasaan yang merugikan.
Kebiasaan ini dapat menghancurkan masa depan seseorang, membuat korban kehilangan rasa percaya diri, motivasi belajar, bahkan menderita trauma berat. Dalam kasus terburuk, beberapa korban mengakhiri hidupnya karena tekanan yang mereka alami.
Penyebab dan Solusi untuk Menghentikan Bullying
Salah satu penyebab bullying adalah kurangnya pendidikan untuk “membela diri” atau berani melaporkan kejadian yang tidak menyenangkan. Data menunjukkan bahwa di beberapa negara, 8 hingga 38% anak usia 8 hingga 16 tahun menjadi korban bullying.
Bahkan, sekitar 30% mahasiswa di kampus terlibat dalam bullying, baik sebagai korban, pelaku, maupun keduanya. Mirisnya, Indonesia termasuk negara dengan angka bullying tertinggi, di mana 45% anak mengalami serangan fisik di sekolah dan 50% melaporkan intimidasi.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa tindakan bullying masih sulit dikendalikan. Oleh karena itu, berbagai upaya perlu dilakukan untuk mencegah dan mengatasinya, termasuk melalui pendidikan parenting bagi orang tua dan dosen.
Pemahaman karakteristik mahasiswa serta cara komunikasi yang baik menjadi langkah awal untuk mencegah perilaku bullying. Mahasiswa juga harus diajarkan melindungi diri sendiri dan melaporkan tindakan kekerasan yang mereka alami.
Untuk mengetahui efektivitas langkah-langkah ini, survei di kampus-kampus lain dapat dilakukan dengan melibatkan pihak kampus dan program anti-bullying di setiap daerah.
Langkah-langkah seperti edukasi tentang dampak bullying, kebijakan tegas, serta penyediaan sistem pelaporan dan dukungan yang mudah diakses adalah kunci untuk menciptakan perubahan positif.
Dengan menghentikan bullying, kampus dapat menjadi tempat di mana setiap individu merasa diterima, dihormati, dan didukung untuk mencapai potensi terbaiknya. Hal ini bukan hanya tentang melindungi korban, tetapi juga menciptakan budaya kampus yang inklusif, harmonis, dan berorientasi pada kemanusiaan.
Penulis : Sapira / Universitas Dharmas Indonesia
Editor : Anisa Putri