Perkembangan kecerdasan buatan membawa manusia memasuki babak baru dalam peradaban digital. Salah satu produk yang paling banyak memicu perdebatan adalah deepfake, teknologi yang mampu meniru wajah, suara, hingga gerak tubuh seseorang secara nyaris sempurna. Hasilnya, seseorang bisa tampak sedang mengatakan atau melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah terjadi.
Di satu sisi, deepfake menawarkan potensi positif. Teknologi ini bisa dimanfaatkan untuk hiburan, pendidikan, bahkan rekonstruksi sejarah. Namun di sisi lain, ia juga membuka ruang gelap bagi penipuan, pencemaran nama baik, fitnah, hingga kejahatan seksual berbasis digital. Banyak kasus menunjukkan deepfake dipakai untuk menjatuhkan reputasi tokoh publik, menyebarkan hoaks politik, membuat konten pornografi tanpa persetujuan korban, serta menipu masyarakat demi keuntungan ekonomi.
Persoalan utama deepfake sebenarnya bukan pada teknologinya, melainkan pada cara manusia menggunakannya. Di titik inilah fikih, sebagai disiplin hukum Islam, diuji relevansinya dalam merespons persoalan kontemporer yang terus berkembang.
Prinsip Fiqh: Hukum Asal Muamalah
Dalam kaidah fikih dikenal prinsip bahwa hukum asal muamalah adalah boleh, selama tidak ada dalil yang melarangnya. Teknologi, termasuk kecerdasan buatan dan deepfake, masuk dalam ranah muamalah, bukan ibadah. Artinya, penggunaan teknologi pada dasarnya tidak otomatis haram. Namun kebolehan itu bisa gugur ketika praktiknya bertabrakan dengan nilai dan tujuan syariat.
Deepfake dalam Timbangan Maqashid as-Syariah
Jika ditimbang melalui maqashid syariah atau tujuan utama syariat, penyalahgunaan deepfake berpotensi merusak banyak hal mendasar. Kehormatan manusia terancam ketika identitas dan wajah seseorang dipakai untuk konten palsu atau asusila. Jiwa dan akal juga terdampak karena korban deepfake sering mengalami tekanan psikologis, trauma, bahkan depresi akibat perundungan digital.
Dari sisi harta, deepfake kerap menjadi alat penipuan yang merugikan secara ekonomi. Ketika sebuah teknologi nyata-nyata merusak tujuan-tujuan tersebut, status hukumnya tidak lagi mubah, bahkan bisa jatuh pada haram atau setidaknya harus dicegah demi menutup jalan menuju kerusakan.
Qiyas (Analogi) Deepfake dengan Konsep Klasik Fikih
Dalam fikih klasik, praktik seperti deepfake sebenarnya memiliki padanan substansi. Pemalsuan identitas dan manipulasi informasi dapat dianalogikan dengan kesaksian palsu, fitnah besar, atau penipuan yang menyesatkan. Meski istilah deepfake tidak dikenal ulama terdahulu, esensi perbuatannya telah lama mendapat larangan tegas dalam Islam.
Tanggung Jawab Moral di Era Digital
Lebih jauh, fikih tidak hanya bicara soal halal dan haram secara hitam-putih, tetapi juga tanggung jawab moral seorang mukallaf. Di era digital, umat Islam dituntut memiliki kesadaran etis, bersikap tabayyun terhadap konten visual, serta menjaga amanah dalam memproduksi dan menyebarkan informasi. Rasulullah SAW telah mengingatkan bahwa kebohongan tidak selalu disampaikan lewat lisan, tetapi juga melalui informasi yang menyesatkan.
Fenomena deepfake menegaskan bahwa fikih tidak boleh berhenti pada teks klasik semata. Ia perlu terus berdialog dengan realitas teknologi agar tetap relevan. Bukan untuk mengislamkan teknologi, melainkan memastikan teknologi berjalan dalam koridor kemaslahatan dan menjaga martabat manusia.
Penulis : Anwar Musyafa | Prodi Perbandingan Mazhab | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor : Fadli Akbar









