Hukum Mengambil Gambar dengan Kamera Menurut Ulama Kontemporer

- Jurnalis

Senin, 14 Juli 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi foto mengambil gambar. Foto: pixabay.com

Ilustrasi foto mengambil gambar. Foto: pixabay.com

Perkembangan teknologi yang pesat telah membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia, termasuk dalam cara kita merekam dan menyimpan momen. Kamera kini menjadi bagian dari keseharian baik untuk kepentingan pribadi, pendidikan, dokumentasi, hingga dakwah.

Namun, di balik kemudahan yang ditawarkan teknologi ini, muncul juga perdebatan dari kalangan ulama mengenai hukum pengambilan gambar, khususnya dalam konteks Islam.

Perdebatan ini berkisar pada satu pertanyaan penting: Apakah mengambil gambar dengan kamera tergolong dalam larangan menggambar makhluk bernyawa (tashwir) yang disebut dalam hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam? Jawaban atas pertanyaan ini memunculkan dua pandangan besar di kalangan ulama kontemporer.

Pandangan yang Mengharamkan

Sebagian ulama berpendapat bahwa memotret dengan kamera tetap tergolong tashwir dan karenanya termasuk dalam larangan syariat. Menurut mereka, meskipun alat yang digunakan berbeda, hasil akhirnya tetap berupa gambar makhluk bernyawa yang hukumnya dilarang.

Syekh Abdul Aziz bin Baz, salah satu tokoh besar dalam dunia keilmuan Islam, menegaskan bahwa:

“Tashwir dalam bentuk apa pun tidak diperbolehkan, baik dengan tangan maupun dengan peralatan modern. Semua jenis penggambaran makhluk bernyawa dipandang sebagai bentuk kemungkaran. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pelakunya.”

Senada dengannya, Syekh Abdurrahman bin Nashir Al-Barak menyatakan bahwa meskipun kamera hanya alat bantu, hasil yang dihasilkan tetaplah gambar yang masuk dalam kategori tashwir. Ia menambahkan bahwa istilah-istilah modern seperti “alat tashwir” (kamera), “mushawwir” (fotografer), dan “shurah” (hasil foto) masih mengindikasikan kesinambungan dengan makna tashwir yang ada dalam hadis.

Baca Juga :  Mengapa Generasi Milenial Memilih Karier yang Fleksibel

Pandangan ini juga didukung oleh ulama-ulama lain seperti Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Syekh Muhammad bin Ibrahim, Syekh Sulaiman Ar-Ruhaili, serta lembaga fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah.

Pandangan yang Membolehkan

Di sisi lain, banyak ulama kontemporer yang berpandangan lebih moderat. Mereka menyatakan bahwa memotret dengan kamera bukan bagian dari tashwir yang diharamkan, karena tidak ada unsur menggambar atau menciptakan bentuk baru secara artistik sebagaimana dalam menggambar manual.

Syekh Dr. Khalid Al-Mushlih menjelaskan:

“Menurut saya, memotret dengan kamera tidak termasuk tashwir sebagaimana yang dilarang dalam hadis. Karena dalam aktivitas ini tidak terdapat unsur penciptaan atau peniruan terhadap makhluk Allah.”

Hal yang sama juga ditegaskan oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Menurut beliau, jika proses pemotretan hanya menangkap realita sebagaimana adanya tanpa manipulasi, maka itu sama seperti melihat bayangan di cermin—bukan termasuk menggambar.

Baca Juga :  Melawan Stigma HIV/AIDS: Membangun Harapan Baru bagi ODHA

Pandangan ini semakin menguat karena penggunaan kamera banyak dimanfaatkan untuk hal positif: dokumentasi pendidikan, dakwah, pelestarian budaya, dan sebagainya.

Batasan dan Etika dalam Memotret

Meskipun membolehkan, para ulama yang moderat tetap memberi batasan etis agar penggunaan kamera tidak menyimpang dari nilai-nilai Islam. Beberapa batasan tersebut antara lain:

  • Tidak mengubah bentuk asli makhluk hidup, seperti mengedit wajah atau bentuk tubuh secara berlebihan.
  • Tidak digunakan untuk tujuan haram, seperti memotret aurat atau wanita non-mahram tanpa izin.
  • Menghindari niat pamer atau riya, terutama ketika menyebarkan foto di media sosial.

Pandangan ini mendapat dukungan dari ulama seperti Syekh Shalih Al-Luhaidan, Syekh Abdullah As-Sulmi, Syekh Sayyid Sabiq, dan Syekh Bakhit Al-Muthi’i.

Kesimpulan

Perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum mengambil gambar dengan kamera mencerminkan kekayaan khazanah fikih Islam. Meski begitu, pandangan yang membolehkan tampaknya lebih relevan dengan perkembangan zaman dan lebih kuat dalam argumentasi, selama aktivitas memotret dilakukan dalam koridor syariat.

Kamera, pada dasarnya, hanya merekam ciptaan Allah, bukan menirunya. Maka, niat dan penggunaanlah yang menjadi penentu apakah aktivitas ini bernilai ibadah atau justru menjurus pada hal yang dilarang.

Wallahu a’lam.

Penulis : Mutiara Bistiatul Khoiriah

Editor : Anisa Putri

Follow WhatsApp Channel sorotnesia.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Dibalik Pagar Pendidikan Agama, Pelajaran Berharga Mengarungi Kehidupan
Hukum Mendengarkan Musik dalam Islam dan Dalilnya
Gelombang Suara yang Menggelora: Menjelajahi Fenomena K-Band dan Daya Tarik “Wave to Earth”
Mengelola FoMO dalam Strategi Pemasaran Produk Lokal di Era Digital
Hukum: Fungsi, Masalah, dan Solusi dalam Implementasinya
Pers – Peran, Tantangan, dan Solusinya
Peran Anak Muda dalam Meningkatkan Ekonomi di Era Digital
Perilaku Bullying di Kalangan Remaja: Sebuah Ancaman Serius

Berita Terkait

Senin, 14 Juli 2025 - 17:30 WIB

Dibalik Pagar Pendidikan Agama, Pelajaran Berharga Mengarungi Kehidupan

Senin, 14 Juli 2025 - 17:06 WIB

Hukum Mengambil Gambar dengan Kamera Menurut Ulama Kontemporer

Sabtu, 5 Juli 2025 - 10:30 WIB

Hukum Mendengarkan Musik dalam Islam dan Dalilnya

Rabu, 2 Juli 2025 - 07:13 WIB

Gelombang Suara yang Menggelora: Menjelajahi Fenomena K-Band dan Daya Tarik “Wave to Earth”

Kamis, 26 Juni 2025 - 16:30 WIB

Mengelola FoMO dalam Strategi Pemasaran Produk Lokal di Era Digital

Berita Terbaru