HIV/AIDS masih menjadi salah satu masalah kesehatan terbesar di dunia. Penyakit ini sering diibaratkan sebagai “fenomena gunung es,” merujuk pada kondisi di mana puncak gunung es yang tampak hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan bongkahan besar yang tersembunyi di bawah permukaan air.
Di Indonesia, persepsi masyarakat terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA) masih sangat negatif. Banyak yang memandang mereka dengan ketakutan, sehingga tidak jarang ODHA mendapatkan perlakuan diskriminatif dari masyarakat.
Stigma ini bahkan lebih menyakitkan ketika menimpa anak-anak terdampak, seperti tidak diterima di sekolah, ditolak oleh keluarga setelah kehilangan orang tua, hingga ditolak oleh panti asuhan setelah status HIV mereka diketahui.
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sel darah putih dan melemahkan sistem kekebalan tubuh. Ketika sistem kekebalan tubuh sudah sangat lemah, maka kondisi tersebut disebut sebagai Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS).
AIDS adalah kumpulan gejala akibat rusaknya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV. ODHA adalah sebutan bagi orang-orang yang telah didiagnosis positif terinfeksi virus ini.
HIV/AIDS merupakan penyakit menular yang belum memiliki vaksin atau obat untuk pencegahannya. Secara global, sekitar 36 juta orang hidup dengan HIV, dan di Asia Selatan serta Asia Tenggara, jumlah ini mencapai sekitar 5 juta.
Indonesia menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan kasus HIV/AIDS tercepat di Asia Tenggara. Bahkan, angka peningkatan infeksi HIV di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 36%. Epidemi HIV/AIDS di Indonesia berkembang lebih cepat dibandingkan negara-negara lain di kawasan ini.
Dampak HIV/AIDS tidak hanya terbatas pada kesehatan fisik, tetapi juga mencakup masalah sosial dan emosional. Salah satu dampak emosional terbesar yang dialami ODHA adalah depresi. Depresi bukan sekadar rasa sedih yang biasa dialami, melainkan suatu kondisi suasana hati yang sangat berat dan berkepanjangan.
Depresi dapat mengurangi semangat hidup, membuat seseorang kehilangan gairah, dan pada kasus ODHA, hal ini bisa menyebabkan ketidakpatuhan terhadap pengobatan rutin, seperti terapi antiretroviral (ARV). Padahal, ketidakpatuhan ini dapat memperburuk kondisi kesehatan mereka dan menurunkan kualitas hidup secara signifikan.
Virus HIV pertama kali ditemukan pada awal 1980-an. Sejak saat itu, HIV telah menyebar ke seluruh dunia, dengan tingkat infeksi tertinggi tercatat di sub-Sahara Afrika. Penularan virus ini terjadi melalui kontak dengan cairan tubuh yang terinfeksi, seperti darah, semen, dan ASI.
Faktor risiko meliputi hubungan seksual yang tidak aman, penggunaan jarum suntik bersama, serta penularan dari ibu ke anak selama kehamilan atau menyusui. Di Indonesia, pemahaman masyarakat tentang cara penularan HIV masih rendah, sehingga stigma terhadap ODHA semakin mengakar.
Gejala HIV bervariasi tergantung pada tahap infeksi. Pada tahap awal, penderita mungkin mengalami gejala mirip flu, seperti demam, sakit kepala, dan kelelahan. Namun, seiring waktu, jika tidak diobati, gejala akan semakin serius.
Berat badan penderita menurun drastis, muncul infeksi berulang, dan berbagai komplikasi kesehatan lainnya. Diagnosis HIV dilakukan melalui tes darah untuk mendeteksi keberadaan virus atau antibodi terhadap virus.
Meskipun hingga kini belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan HIV, terapi ARV telah terbukti efektif dalam mengontrol virus. Dengan pengobatan yang teratur, ODHA dapat hidup sehat dan produktif. Oleh karena itu, penting untuk melakukan pengobatan sejak dini guna mencegah perkembangan HIV menjadi AIDS dan mengurangi risiko penularan ke orang lain.
Pencegahan adalah langkah utama dalam memerangi HIV/AIDS. Pendidikan mengenai risiko penularan dan pentingnya penggunaan kondom harus terus digalakkan. Selain itu, program pengurangan dampak, seperti penyediaan jarum suntik steril bagi pengguna narkoba, juga berperan penting dalam mengurangi penyebaran virus.
Namun, upaya pencegahan tidak akan berhasil tanpa kesadaran masyarakat yang tinggi. Stigma dan diskriminasi terhadap ODHA harus dihilangkan, karena hal ini sering menjadi penghalang bagi ODHA untuk mencari pengobatan dan dukungan yang mereka butuhkan.
Penyakit ini juga memiliki dampak ekonomi yang besar. Secara individu, ODHA sering menghadapi pengeluaran medis yang tinggi, sementara secara nasional, HIV/AIDS dapat mengurangi produktivitas tenaga kerja dan meningkatkan beban biaya kesehatan.
Selain itu, stigma terhadap ODHA sering menyebabkan mereka kehilangan pekerjaan atau kesulitan mencari nafkah. Hal ini menciptakan siklus ketidakberdayaan yang semakin memperburuk kondisi mereka.
Penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa HIV tidak menular melalui kontak biasa, seperti berjabat tangan, berbagi makanan, atau menggunakan toilet yang sama. Pemahaman ini dapat mengurangi ketakutan yang tidak berdasar dan membuka jalan untuk mendukung ODHA dengan lebih baik.
Program pendidikan yang menjelaskan cara penularan, pencegahan, dan pengobatan HIV/AIDS harus diperluas ke berbagai lapisan masyarakat. Kampanye ini tidak hanya membantu mengurangi stigma, tetapi juga mendorong individu untuk mengambil langkah-langkah pencegahan.
Selain itu, dukungan psikologis bagi ODHA sangat diperlukan. Konseling dan kelompok dukungan dapat membantu mereka mengatasi depresi dan membangun kembali semangat hidup. Para pemimpin komunitas dan tokoh agama juga memiliki peran penting dalam membangun kesadaran dan menghapus diskriminasi. Dengan dukungan yang tepat, ODHA dapat menjalani kehidupan yang bermakna dan berkontribusi pada masyarakat.
Meskipun tantangan yang dihadapi dalam memerangi HIV/AIDS sangat besar, harapan tetap ada. Kemajuan dalam penelitian medis telah memberikan peluang baru untuk menemukan cara yang lebih efektif dalam mencegah dan mengobati HIV.
Selain itu, upaya global untuk mengatasi stigma dan diskriminasi terus dilakukan, dengan tujuan menciptakan dunia yang lebih inklusif bagi ODHA.
HIV/AIDS bukanlah akhir dari segalanya. Dengan pemahaman yang lebih baik, dukungan dari masyarakat, dan akses ke pengobatan yang memadai, ODHA dapat hidup dengan martabat dan harapan. Saatnya kita semua bersatu melawan stigma dan memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang untuk hidup sehat dan produktif.
Penulis : Ichwan Nur Hidayat / Universitas Dharmas Indonesia
Editor : Fadli Akbar