Kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan fondasi bagi keberlangsungan Indonesia sebagai komunitas politik yang majemuk. Ia bukan hanya konsep normatif, melainkan ruang hidup tempat individu dan kelompok berinteraksi berdasarkan nilai-nilai yang telah disepakati bersama.
Empat Pilar Kebangsaan yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika menjadi kerangka yang menuntun arah perjalanan bangsa di tengah dinamika zaman.
Pancasila sebagai dasar negara berfungsi menuntun cara pandang dan perilaku warga dalam kehidupan sosial, politik, maupun ekonomi. Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, serta keadilan menjadi rujukan etis sekaligus pedoman praksis.
Pengamalan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari bukan sekadar seremoni, melainkan komitmen untuk memastikan keberagaman dapat berjalan seiring dengan persatuan nasional.
Landasan konstitusional negara, yakni UUD 1945, berfungsi menata hubungan antara negara dan warga. Ia memberi jaminan hak, menetapkan kewajiban, serta memastikan mekanisme penyelenggaraan pemerintahan berjalan sesuai prinsip hukum dan demokrasi.
Dalam konteks ini, NKRI hadir sebagai kesatuan politik yang menyatukan berbagai wilayah, suku, bahasa, dan budaya. Komitmen terhadap NKRI berarti menjaga keutuhan teritorial, kedaulatan bangsa, serta keberlanjutan kehidupan nasional.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika mengingatkan bahwa perbedaan bukanlah sumber perpecahan, melainkan kekuatan. Di tengah semakin menguatnya politik identitas dan arus disinformasi, semangat hidup bersama dalam keberagaman menjadi semakin penting.
Dalam kerangka kehidupan bernegara, warga tidak hanya menikmati perlindungan negara tetapi juga terikat pada tanggung jawab konstitusional. Salah satu tanggung jawab itu adalah bela negara—sebuah konsep yang kerap disalahpahami hanya sebagai tugas militer atau aktivitas fisik semata. Padahal, bela negara adalah kesadaran kolektif untuk menjaga tegaknya kedaulatan, keselamatan, dan kelangsungan hidup bangsa.
Kesadaran bela negara berakar pada cinta tanah air, kesetiaan pada Pancasila dan konstitusi, serta komitmen menjaga persatuan. Dewan Ketahanan Nasional (2018) menyebut bela negara sebagai ekspresi dedikasi dan tanggung jawab warga dalam menghadapi aneka ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan (AGHT). Di era digital, ancaman itu bukan hanya bersifat fisik, tetapi juga ideologis dan sosial mulai dari radikalisme, hoaks, polarisasi politik, hingga disrupsi ekonomi yang berpotensi merapuhkan kohesi nasional.
Sebagaimana diamanatkan Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 30 Ayat (1) UUD 1945, keikutsertaan dalam upaya pertahanan negara adalah hak sekaligus kewajiban warga. Kewajiban itu tidak selalu berbentuk mobilisasi militer; ia hadir dalam berbagai wujud, seperti kepatuhan hukum, partisipasi politik yang sehat, kontribusi bagi pembangunan, hingga menjaga ruang digital dari ujaran kebencian dan informasi menyesatkan.
Rendahnya kesadaran kebangsaan, melemahnya kepedulian publik terhadap isu-isu nasional, serta menguatnya egoisme kelompok merupakan tantangan yang perlu diwaspadai. Ketika identitas kebangsaan melemah, ikatan sosial turut rapuh. Padahal, kesadaran berbangsa dan bernegara merupakan syarat dasar bagi pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.
Karena itu, bela negara perlu ditempatkan sebagai kesadaran yang tumbuh dari penghayatan atas jati diri bangsa. Ia tidak cukup diajarkan, tetapi harus dihidupkan lewat keteladanan, kebijakan publik yang adil, dan pengalaman bermasyarakat yang memberi ruang bagi partisipasi warga. Dalam konteks inilah penguatan empat pilar kebangsaan menjadi relevan: tidak sebagai slogan, tetapi sebagai kompas moral bagi negara dan warganya.
Kesadaran bela negara pada akhirnya bukan hanya urusan mempertahankan negara dari ancaman, tetapi juga komitmen memastikan kehidupan berbangsa berjalan dalam koridor keadaban, persatuan, dan keadilan. Ketika warga memahami dan menghayati peran itu, bangsa ini akan semakin kokoh menghadapi tantangan zaman.
Penulis : Anggun Agustin, Mahasiswa Institut Teknologi Muhammadiyah Sumatra
Editor : Anisa Putri









