Dunia Zootopia kerap digambarkan sebagai kota ideal: modern, tertib, dan terbuka bagi semua spesies. Dalam film pertama, slogan “Anyone can be anything” menjadi penggerak cerita sekaligus imajinasi kolektif bahwa semua individu memiliki peluang yang sama.
Namun, Zootopia 2 mengoyak mitos tersebut. Di balik wajah kota yang tampak harmonis, film ini menghadirkan realitas yang lebih getir: ketimpangan, kepentingan politik, serta permainan kekuasaan yang bekerja halus mirip sistem sosial yang kita temui di dunia nyata.
Pada titik inilah Zootopia 2 bergeser dari sekadar tontonan keluarga menjadi cermin sosial yang tajam. Melalui pendekatan yang lembut namun tegas, film ini memperlihatkan pola-pola kapitalisme modern yang telah lama dikritik dalam tradisi Marxis.
Ia menyodorkan alegori tentang pertarungan kelas: antara mereka yang memiliki kendali atas sumber daya dan narasi, dan mereka yang menopang kota melalui kerja keras, tetapi selalu berada di bawah bayang-bayang sistem yang tidak pernah benar-benar berpihak.
Zootopia 2 sebagai Metafora Kapitalisme Perkotaan
Kota Zootopia dalam film ini tampil sebagai miniatur metropolis global: penuh gedung pencakar langit, dinamika ekonomi yang pesat, dan citra kota yang inklusif. Namun, sebagaimana kota besar di dunia nyata, ruang gerak dan kesempatan tidak terdistribusi secara merata.
Spesies-spesies besar yang dianggap berpengaruh menguasai sektor ekonomi, politik, dan teknologi. Mereka mengisi posisi strategis, mengelola aset penting, dan menentukan arah kebijakan publik. Sebaliknya, kelompok-kelompok kecil baik secara fisik maupun simbolikm mengisi pekerjaan lapangan, birokrasi kelas bawah, atau sektor informal yang kurang dihargai.
Zootopia yang digambarkan sebagai kota terbuka ternyata menyimpan paradoks. Sistem yang dipromosikan sebagai meritokratis itu pada dasarnya tetap dibangun atas hierarki, privilese, serta akses yang tidak merata. Mereka yang lahir dalam spesies dominan memiliki perjalanan karier yang lebih mulus, sementara lainnya harus bekerja dua kali lipat untuk sekadar membuktikan kelayakan diri.
Komposisi visual dalam film dari menara raksasa hingga kantor pemerintahan yang megah menghadirkan simbol-simbol kekuasaan yang sangat akrab dalam dunia manusia. Zootopia bukan lagi kota hewan imajinatif; ia adalah metafora sosial yang membentangkan kenyataan tentang siapa yang memegang kuasa, siapa yang membangun narasi, dan siapa yang terus diminta percaya bahwa sistem pada akhirnya akan berpihak pada mereka yang “cukup rajin.”
Borjuis dan Proletar dalam Dunia Zootopia
Dalam kerangka Marxis, kelas borjuis adalah kelompok yang menguasai alat produksi dan memegang kekuatan menentukan arah masyarakat. Dalam Zootopia 2, tokoh Milton Lynxley mewakili figur ini.
Ia bukan sekadar pejabat elite; ia pemilik kontrol atas sistem cuaca, pembentuk kebijakan kota, serta pengendali informasi. Citra publiknya tampak positif, tetapi tindakannya menunjukkan upaya mempertahankan dominasi melalui agenda dan narasi yang ia ciptakan sendiri.
Ia memanipulasi informasi, mengatur alur cerita publik, dan menentukan siapa yang dianggap “aman” atau “berbahaya.” Kekuasaan borjuis dalam film ini bukan hadir dalam bentuk penindasan fisik, tetapi kontrol halus yang bekerja melalui persepsi dan legitimasi.
Di sisi lain, kelas proletar diwakili oleh karakter seperti Judy Hopps, Nick Wilde, dan Gery sang ular. Judy, meski digambarkan sebagai simbol bahwa “siapa pun bisa menjadi apa pun,” tetap beroperasi dalam struktur institusi yang menempatkannya sebagai pekerja lapangan. Kepemilikannya atas nilai moral dan idealisme tidak serta-merta memberinya kuasa mengubah sistem yang lebih besar dari dirinya.
Nick, dengan latar belakang sosial yang kompleks, dan Gery yang memperjuangkan keadilan bagi keluarganya, memperkuat gambaran bagaimana kelas pekerja menjalankan roda kehidupan kota tetapi dipaksa tunduk pada aturan dan narasi yang ditentukan elite. Kerja keras mereka penting, tetapi tidak cukup untuk merombak sistem yang melanggengkan kesenjangan.
Melalui dinamika ini, Zootopia 2 berhasil menghadirkan tema klasik dalam teori Marx: bagaimana penguasa mempertahankan dominasi melalui ideologi, sementara kelas tertindas berupaya melawan realitas yang terus berulang tanpa banyak perubahan struktural.
Ilusi Kesetaraan dan Ideologi yang Meneduhkan
Salah satu aspek paling menarik dari Zootopia 2 adalah bagaimana film ini membongkar ilusi kesetaraan yang selama ini diselipkan dalam narasi kota. Zootopia digambarkan sebagai ruang di mana perbedaan biologis bukan halangan, namun justru narasi ini yang menyembunyikan ketimpangan yang ada.
Dalam perspektif Marxis, ideologi bekerja bukan dengan paksaan, melainkan dengan menanamkan gagasan bahwa sistem yang timpang adalah sesuatu yang wajar, bahkan niscaya. Pesan positif seperti kerja keras, toleransi, dan keberagaman memang penting, namun dalam konteks film ini, pesan tersebut sekaligus berfungsi sebagai false consciousness atau kesadaran palsu yang membuat masyarakat tidak menyadari struktur kekuasaan yang timpang.
Dengan lembut, film ini menunjukkan bagaimana narasi-narasi optimistis membuat warga merasa aman, seolah semua bisa berhasil hanya dengan usaha yang cukup keras. Namun kenyataannya, tidak semua memulai dari titik yang sama, dan tidak semua memiliki akses yang setara atas peluang yang sama.
Ideologi semacam ini sangat relevan dalam kehidupan modern: dunia yang meyakinkan bahwa persaingan adalah adil, padahal struktur sosial sering kali sudah ditentukan sejak awal.
Refleksi atas Dunia Politik Kita
Zootopia 2 pada akhirnya bukan hanya kisah hewan cerdas dalam dunia penuh warna. Ia adalah alegori yang lugas tentang bagaimana kekuasaan bekerja: melalui kontrol informasi, pembentukan citra publik, dan normalisasi struktur sosial.
Melalui kisah sederhana, film ini memperlihatkan bahwa ketimpangan tidak selalu hadir dalam bentuk kekerasan. Ia bekerja melalui narasi yang menenangkan, slogan yang menggugah, dan harapan yang terus disebarkan tanpa memperbaiki akar persoalan.
Sistem sosial yang digambarkan film ini dengan borjuis yang terus memegang kendali dan proletar yang terus berharap pada kesetaraan sangat mirip dengan kondisi politik dan sosial di dunia nyata. Kita sering berpikir bahwa kita hidup dalam sistem yang adil, padahal yang adil hanyalah permukaan yang tampak.
Barangkali itulah alasan Zootopia 2 terasa begitu nyata: bukan karena hewan-hewan yang bertingkah seperti manusia, melainkan karena manusia yang tanpa sadar hidup seperti warga Zootopia percaya pada imajinasi keadilan, padahal struktur kuasa yang sesungguhnya tidak pernah benar-benar merata.
Penulis : Dahayu Jeconia Christy Sasmito, Mahasiswi Hubungan Internasional, Universitas Airlangga
Editor : Anisa Putri









