Budaya patriarki telah lama berakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sistem ini menempatkan laki-laki sebagai pusat kekuasaan dan pengambil keputusan, sementara perempuan kerap diposisikan sebagai pihak kedua terbatas pada urusan rumah tangga dan dianggap tidak layak memegang peran publik.
Pola pikir semacam ini diwariskan turun-temurun, sering kali tanpa disadari, hingga banyak yang menganggapnya sebagai sesuatu yang “normal”. Padahal, pandangan ini justru menjadi penghambat kemajuan sosial dan kemanusiaan.
Dalam dunia pendidikan, misalnya, masih terdengar pandangan bahwa perempuan tidak perlu menempuh pendidikan tinggi karena pada akhirnya akan “kembali ke dapur”. Di ranah kerja, diskriminasi berbasis gender masih terjadi: perempuan kerap menerima upah lebih rendah dibanding rekan laki-laki, meski beban kerja dan kemampuan yang dimiliki sama.
Di ruang publik, stereotip bahwa pemimpin sejati haruslah laki-laki masih mengakar kuat. Semua ini menunjukkan bahwa patriarki membatasi ruang gerak dan potensi seseorang semata karena jenis kelaminnya, bukan karena kemampuan atau prestasi.
Dampak budaya patriarki juga terlihat dari cara masyarakat memandang kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan. Tidak jarang korban kekerasan justru disalahkan dengan alasan “tidak sopan” atau “mengundang perilaku buruk”.
Situasi ini memperlihatkan bahwa patriarki bukan sekadar persoalan peran gender, tetapi juga masalah pola pikir dan struktur sosial yang menindas. Jika dibiarkan, ia akan terus melanggengkan ketidakadilan dan menggerus nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab sebagaimana diamanatkan dalam sila kedua Pancasila.
Kesetaraan gender sejatinya adalah hak asasi setiap manusia. Laki-laki dan perempuan seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk belajar, bekerja, memimpin, dan bersuara. Menghapus budaya patriarki bukan berarti menurunkan peran laki-laki, melainkan menempatkan keduanya dalam posisi yang sejajar saling menghargai dan saling mendukung. Masyarakat yang adil dan sejahtera hanya akan lahir dari penghormatan yang setara terhadap seluruh warganya.
Peran generasi muda menjadi sangat penting dalam memutus rantai patriarki. Generasi yang tumbuh di era digital memiliki akses luas terhadap informasi dan gagasan baru tentang kesetaraan. Dengan keberanian menolak stereotip gender serta memperjuangkan keadilan di sekolah, kampus, tempat kerja, hingga dunia maya, perubahan bisa dimulai.
Pendidikan kesetaraan gender perlu diperkenalkan sejak dini agar anak-anak tumbuh dengan kesadaran bahwa perbedaan biologis tidak boleh menjadi dasar pembedaan hak dan kesempatan.
Sudah saatnya Indonesia menatap masa depan dengan lebih terbuka dan berkeadilan. Masyarakat yang maju adalah masyarakat yang memberikan ruang bagi setiap warganya untuk berkembang sesuai potensi, tanpa dibatasi oleh tembok usang bernama patriarki. Kesetaraan bukan ancaman bagi budaya, melainkan fondasi bagi kemajuan bangsa yang beradab dan manusiawi.
Penulis : Soffiana Dwita Handayani | UIN Raden Intan Lampung
Editor : Anisa Putri









