Perbedaan pendapat di kalangan ulama telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam sejarah perkembangan Islam. Fenomena ini kerap menimbulkan dua sisi penilaian: di satu sisi dianggap sebagai dinamika keilmuan yang menunjukkan kelenturan tradisi Islam, di sisi lain dianggap sebagai sumber potensi perpecahan di kalangan umat. Maka timbul pertanyaan yang patut direnungkan: apakah perbedaan pendapat para ulama merupakan kekuatan atau justru kelemahan bagi umat Islam?
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً ۖ وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ
“Dan jika Tuhanmu menghendaki, niscaya Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka selalu berselisih pendapat.” (QS. Hud: 118)
Ayat ini menegaskan bahwa perbedaan adalah bagian dari sunnatullah, sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari selama manusia masih memiliki kebebasan berpikir dan berijtihad.
Keseragaman mutlak dalam pandangan keagamaan bukanlah sesuatu yang dikehendaki oleh Allah. Bahkan, pluralitas tersebut bisa menjadi ruang yang luas bagi lahirnya ragam pemikiran dan pendalaman makna ajaran Islam.
Lebih lanjut, dalam surah lainnya, Allah juga menyatakan:
وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah penciptaan langit dan bumi dan perbedaan bahasa dan warna kulit kamu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. Ar-Rum: 22)
Ayat ini memperkuat pandangan bahwa perbedaan, baik dalam bentuk fisik, bahasa, maupun cara pandang, adalah bagian dari rahmat dan kekayaan ciptaan-Nya.
Bila keragaman bahasa dan warna kulit dipandang sebagai anugerah, maka perbedaan dalam pemahaman agama pun seyogianya dimaknai sebagai kekayaan intelektual yang perlu dihargai.
dalam hadist nabi Rasulullah SAW bersabda:
إِذَا اجْتَهَدَ الْحَاكِمُ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا اجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
“Apabila seorang hakim berijtihad lalu benar, maka ia mendapat dua pahala. Dan jika ia berijtihad lalu salah, maka ia tetap mendapat satu pahala.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa ijtihad adalah proses yang dimuliakan, terlepas dari hasil akhirnya. Selama dilakukan dengan landasan ilmu dan niat yang ikhlas, maka perbedaan hasil dari ijtihad bukanlah sesuatu yang tercela, melainkan bentuk pengabdian intelektual kepada agama.
Tokoh ulama kontemporer, Prof. Dr. Yusuf al-Qaradawi, dalam karya monumental Fiqh al-Ijtima’i, menekankan bahwa tidak semua persoalan agama bersifat absolut. Banyak hal yang membuka ruang perbedaan karena berkaitan erat dengan konteks sosial, waktu, dan tempat.
Perbedaan pendapat yang lahir dari ijtihad yang jujur bukan hanya wajar, melainkan merupakan bentuk rahmat dalam dunia Islam.
Namun demikian, peringatan juga datang dari Syeikh Muhammad Abduh, tokoh reformis Islam terkemuka. Ia menyoroti bahwa perbedaan yang tidak dikelola dengan baik dapat menciptakan kebingungan di tengah masyarakat awam dan berpotensi melemahkan kohesi umat. Oleh karena itu, ia mengusulkan pentingnya dialog antar-ulama dan penyederhanaan hukum Islam agar mudah dipahami dan diterapkan oleh masyarakat luas.
Sementara itu, Dr. Khaled Abou El Fadl, seorang cendekiawan Muslim asal Amerika, dalam bukunya The Great Theft, mengangkat pentingnya toleransi terhadap keragaman pandangan. Ia mengkritik keras kelompok-kelompok ekstrem yang mengklaim kebenaran tunggal dan menyesatkan pihak lain yang berbeda pendapat. Menurutnya, sikap eksklusif seperti itu justru mencederai semangat inklusivitas Islam dan merusak citra perbedaan sebagai sesuatu yang konstruktif.
Sejarah Islam pun mencatat bahwa perbedaan pendapat justru melahirkan empat mazhab fiqh besar: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Keempatnya menjadi bukti nyata bahwa perbedaan dapat dikodifikasi menjadi sistem yang memperkaya dan memudahkan penerapan syariat di berbagai wilayah, sesuai dengan kebutuhan dan karakter masyarakatnya.
Perbedaan pendapat para ulama tidak patut dianggap sebagai sumber perpecahan, melainkan sebagai amanah intelektual yang harus dikelola dengan hikmah. Selama tetap berpijak pada ilmu, keikhlasan, dan keinginan mencari ridha Allah SWT, maka perbedaan itu bisa menjadi modal penting dalam memperkaya khazanah keislaman sekaligus menjawab berbagai tantangan zaman yang terus berkembang.
Allah berfirman:
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً ۚ وَلَٰكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
“Bagi tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi (tujuan Allah ialah) untuk menguji kamu terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kamu. Maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan.”(QS. Al-Maidah: 48)
Ayat ini mengajarkan bahwa perbedaan adalah ujian dari Allah, dan cara kita merespons perbedaan itulah yang akan dinilai. Yang lebih penting lagi adalah kesadaran kolektif bahwa umat Islam tidak boleh terpecah hanya karena perbedaan, tetapi justru semakin bersatu dalam bingkai ukhuwah Islamiyah.
Penulis : Muhammad Hadzami Al-Ma’arif | Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor : Anisa Putri