Sudah hampir setahun sejak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen diberlakukan per 1 Januari 2025, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Kebijakan ini tidak datang tanpa alasan: pemerintah ingin memperkuat basis penerimaan negara di tengah gejolak ekonomi global. Namun, setahun berlalu, wajah nyata kebijakan ini mulai tampak di tengah masyarakat dan tidak semuanya tampak cerah.
Harga kebutuhan pokok seperti beras, minyak goreng, dan bahan bakar naik rata-rata 2–3 persen, memperberat beban rumah tangga di saat inflasi nasional menyentuh 3,2 persen (BPS, September 2025). Di sisi lain, pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) melaporkan peningkatan biaya operasional yang menekan omzet hingga 7 persen di sektor ritel (Survei BI Triwulan III 2025).
Sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang yang mempelajari hukum pajak, saya melihat situasi ini sebagai bahan refleksi: apakah reformasi pajak yang dirancang untuk memperkuat negara benar-benar menegakkan keadilan sosial, atau justru memperlebar jurang ketimpangan?
Pemerintah mencatat pertumbuhan ekonomi 5,1 persen pada semester pertama 2025 angka yang tampak menggembirakan di atas kertas. Namun, di balik angka itu, ketimpangan ekonomi tetap membayang. Rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) memang meningkat dari 10,3 menjadi 11,2 persen, didorong tambahan penerimaan PPN sekitar Rp 85 triliun (Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2025).
Namun, target APBN 2025 senilai Rp 3.600 triliun masih mencatat defisit 2,3 persen dari PDB. Pengeluaran terbesar tetap terserap untuk subsidi dan pembayaran utang. Di sisi lain, beban rumah tangga meningkat sekitar 4 persen, terutama di pedesaan, tempat 55 persen penduduk bergantung pada konsumsi dasar (BPS 2025).
Pelaku usaha juga menghadapi tekanan kompetitif baru. Ekspor manufaktur turun 2 persen karena biaya pajak lebih tinggi dibanding negara tetangga. Meski pemerintah menyalurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan memperluas infrastruktur, banyak warga menilai manfaatnya belum dirasakan merata. Media sosial pun menjadi ruang keluh kesah baru, sementara sebagian kelompok buruh dan mahasiswa turun ke jalan menuntut keadilan fiskal.
Kenaikan PPN tidak lahir di ruang kosong. Defisit APBN 2024 yang mencapai Rp 522 triliun mendorong pemerintah memperluas basis pajak. Selain itu, tekanan inflasi pasca-pandemi dan pelemahan rupiah hingga Rp 16.000 per dolar AS menuntut langkah penyeimbang.
Melalui UU HPP, pemerintah mengenakan pajak atas layanan digital, termasuk platform streaming dan e-commerce, yang pada 2025 memberi kontribusi tambahan Rp 20 triliun.
Namun, pelaksanaannya tidak steril dari masalah. Laporan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat potensi kebocoran hingga Rp 150 triliun, terutama akibat lemahnya pengawasan digital dan celah kepatuhan wajib pajak baru. Dalam konteks hukum, celah seperti ini mencerminkan lemahnya aspek kepastian hukum dan efektivitas penegakan.
Secara yuridis, dasar kebijakan pajak tetap kokoh. UU KUP (Nomor 28 Tahun 2007) menegaskan pajak sebagai kontribusi wajib demi kepentingan negara, dengan asas proporsionalitas. UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 mempertahankan tarif progresif 5–35 persen dan menaikkan PTKP menjadi Rp 58,5 juta per tahun melalui PMK 45/PMK.03/2024, sebagai bentuk perlindungan bagi pekerja berpendapatan rendah.
Sementara itu, UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 yang direvisi lewat UU HPP memberi dasar hukum bagi tarif 12 persen. Aturan turunan berupa PMK Nomor 12/PMK.03/2025 menjadi instrumen pelaksanaannya.
Secara konstitusional, kebijakan ini sejalan dengan Pasal 23A UUD 1945, yang menegaskan bahwa setiap pungutan pajak harus untuk kesejahteraan rakyat.
Namun, keadilan substantifnya dipertanyakan. Gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Februari 2025 memang ditolak, tetapi publik mendesak penyesuaian lebih manusiawi. Pemerintah akhirnya menambah daftar 15 barang esensial bebas PPN pada April 2025, seperti bahan pangan pokok dan alat kesehatan dasar.
Dari sisi politik fiskal, pemerintah mengklaim keberhasilan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut kenaikan penerimaan pajak sebesar 8 persen year-on-year sebagai bukti reformasi berhasil.
Dana itu digunakan untuk proyek Tol Trans-Jawa, vaksinasi lanjutan, dan subsidi energi. Program pengampunan pajak sukarela juga berhasil menarik 500 ribu wajib pajak baru.
Namun, di lapangan, buruh menilai hasilnya tak sebanding. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menggelar mogok nasional pada Juli 2025, menuntut penurunan tarif karena upah riil turun 1,5 persen (Kompas.com, 20 Juli 2025).
Dunia akademik pun bersuara kritis. Prof. Haula Rosdiana dari Universitas Indonesia menyebut kebijakan PPN bersifat regresif, karena 70 persen beban pajak konsumsi ditanggung rumah tangga miskin.
Efisiensi pengumpulan pajak yang baru mencapai 75 persen dari target menandakan sistem masih belum optimal (Jurnal Hukum dan Pembangunan, 2025).
Dari kalangan bisnis, Ketua KADIN Indonesia, Anindya Novyan, menyoroti penurunan investasi asing hingga 4 persen pada kuartal II 2025. Pajak digital Indonesia dianggap terlalu agresif dibanding Singapura, yang justru memberi insentif investasi hijau.
Dari sudut hukum, implementasi kenaikan pajak perlu dievaluasi berdasarkan tiga asas utama: keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.
Pertama, asas keadilan (Pasal 8 UU KUP) menuntut proporsionalitas. Namun, data BPS menunjukkan kelompok berpenghasilan rendah mengeluarkan 12 persen pendapatan untuk pajak konsumsi, sementara kelas atas hanya 4 persen. Ketimpangan ini menandakan pelanggaran terhadap prinsip vertical equity dalam UU PPh.
Kedua, asas kepastian hukum (Pasal 13 UU KUP) terganggu oleh kebijakan mendadak, seperti perluasan objek pajak kripto melalui Perppu Mei 2025. Langkah tergesa itu memicu litigasi dan ketidakpastian bisnis, berpotensi bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945.
Ketiga, asas kemanfaatan menuntut hasil konkret bagi kesejahteraan. Meski penerimaan pajak meningkat, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia stagnan di angka 0,71 (UNDP 2025). Korupsi yang merugikan negara hingga Rp 50 triliun (KPK 2025) menunjukkan masih jauhnya manfaat langsung pajak bagi publik.
Reformasi fiskal seharusnya bukan semata menambah angka penerimaan, tetapi juga memperkuat legitimasi sosial pajak. Dari perspektif hukum dan kebijakan publik, beberapa langkah korektif bisa dilakukan.
Pertama, audit independen oleh BPK sebaiknya dilakukan setiap triwulan, disertai publikasi dashboard real-time oleh DJP agar masyarakat dapat memantau alokasi dana pajak. Kedua, berikan insentif progresif berupa potongan PPh hingga 20 persen untuk UMKM ramah lingkungan serta pembebasan PPN untuk ekspor.
Ketiga, literasi pajak nasional perlu diperluas melalui kerja sama universitas dan Kemenkeu. Klinik hukum pajak di kampus, misalnya di Universitas Pamulang, bisa menjadi sarana edukasi bagi satu juta wajib pajak baru di lapisan menengah bawah.
Keempat, DPR perlu mempertimbangkan mekanisme tarif adaptif, menurunkan PPN sementara menjadi 11,5 persen bila inflasi melebihi 3,5 persen, dengan evaluasi konstitusional oleh MK jika diperlukan.
Pajak seharusnya menjadi simbol gotong royong modern alat untuk membangun, bukan membebani. Jika reformasi fiskal dijalankan dengan prinsip keadilan dan transparansi, maka kenaikan pajak bukan lagi momok, melainkan jalan menuju kemandirian ekonomi yang berkeadilan.
Penulis : Supriyadi, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang
Editor : Anisa Putri









