Ternyata waktu berjalan begitu cepat. Rasanya baru kemarin saya bermain lari-larian sepulang sekolah. Kini, saya masih berlari, tetapi bukan lagi karena takut pada mobil Jeep, melainkan lari dari kenyataan. Hahaha, lucu? Tidak juga.
Sebenarnya, lebih terasa memalukan. Kenapa malu? Karena semakin dewasa, saya semakin sadar bahwa cita-cita untuk menjadi dewasa dulu ternyata adalah sebuah penyesalan sekarang. Enak menjadi dewasa? Enak, kok.
Tetapi, dalam kedewasaan ini, saya justru sering merindukan hal-hal kecil dari masa lalu. Saya selalu iri mendengar cerita orang tua tentang betapa asyiknya zaman mereka dulu. Saya iri pada kebersamaan dan serunya permainan mereka.
Kami adalah generasi terakhir yang menikmati permainan tradisional, generasi terakhir yang masih mandi di sungai, generasi terakhir yang mengenal permainan dengan lawan jenis tanpa ada unsur percintaan. Saya adalah Reza Apriyunita, lahir pada tahun 2005.
Sekarang, saya berusia 19 tahun dan akan genap 20 tahun tahun ini. Berdasarkan data di internet, Gen Z adalah generasi yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, dengan rentang usia saat ini sekitar 8 hingga 23 tahun. Jadi, menurut data tersebut, saya termasuk bagian dari generasi ini.
Menurut Wikipedia, Gen Z juga dikenal sebagai iGeneration atau generasi internet. Sebutan ini bukan tanpa alasan. Generasi ini tumbuh bersama internet, tanpa batasan waktu, dan bahkan mampu menghabiskan waktu yang sangat lama di dunia maya.
Mulai dari belajar, bekerja, membaca buku, menonton, mendengarkan musik, hingga memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makan atau belanja, semuanya dilakukan melalui internet. Namun, jika ada yang menganggap Gen Z satu-satunya generasi yang mahir menggunakan internet, anggapan itu kurang tepat. Dalam lima tahun terakhir, Generasi Y (milenial) dan Generasi Alpha pun sudah sangat paham dalam menggunakan internet.
Generasi Z sangat akrab dengan teknologi sejak kecil. Kehadiran gadget canggih telah memengaruhi karakteristik generasi ini. Mereka lebih menyukai media sosial seperti Facebook, Line, Path, Instagram, WhatsApp, Twitter, hingga Telegram. Melalui media sosial, mereka bisa mengekspresikan diri, perasaan, dan pikiran. Selain itu, mereka juga memanfaatkan internet untuk belanja dengan mudah.
Generasi ini sangat pandai menggunakan berbagai fitur internet. Mereka sering mencurahkan isi hati di media sosial melalui status, baik berupa protes, ungkapan kekesalan, kebahagiaan, momen liburan, kesedihan, hingga menu makanan favorit.
Namun, di sisi lain, generasi ini sering dianggap memiliki karakter egosentris dan tingkat individualisme yang tinggi. Hal ini terlihat dari kecenderungan mereka yang emosional, kurang menghargai proses karena suka hal-hal instan, serta cenderung menutup diri di kamar. Kebiasaan ini dapat memicu kurangnya perkembangan emosional mereka karena minimnya interaksi sosial.
Saya pribadi menyadari, sebagai bagian dari generasi ini, bahwa teknologi memang sangat membantu. Namun, di sisi lain, ada tantangan besar untuk tetap menjaga keseimbangan antara dunia maya dan dunia nyata. Kehidupan sosial yang nyata tidak boleh ditinggalkan.
Interaksi dengan teman, keluarga, dan lingkungan sekitar tetap sangat penting untuk membangun kepribadian yang sehat.
Meski demikian, di sisi intelektual, Gen Z menunjukkan kemampuan yang luar biasa. Mereka berperan penting dalam menghadapi masalah secara mandiri dan mendukung orang lain melalui teknologi. Meskipun sering dikritik sebagai generasi yang “tertutup,” mereka juga membantu perkembangan teknologi. Generasi ini bukan hanya pengguna aktif, tetapi juga pendorong utama kemajuan teknologi di era modern.
Salah satu contoh yang dapat dilihat adalah bagaimana Gen Z memanfaatkan teknologi untuk menciptakan peluang baru. Banyak anak muda dari generasi ini yang sudah berhasil menjadi content creator, pebisnis daring, hingga inovator teknologi.
Mereka memanfaatkan platform seperti YouTube, Instagram, dan TikTok untuk berbagi ide, karya, dan pengetahuan. Kemampuan mereka dalam menggunakan teknologi ini membuka jalan bagi karier yang mungkin tidak terpikirkan oleh generasi sebelumnya.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran teknologi juga membawa dampak negatif. Misalnya, adiksi terhadap media sosial dapat mengurangi produktivitas. Selain itu, penyebaran informasi palsu (hoaks) menjadi tantangan besar bagi generasi ini.
Oleh karena itu, penting bagi Gen Z untuk bijak dalam menggunakan teknologi. Mereka perlu membangun kemampuan literasi digital agar dapat membedakan informasi yang benar dan yang salah.
Saya merasa bahwa pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk karakter Gen Z. Pendidikan bukan hanya soal akademik, tetapi juga tentang bagaimana mengajarkan nilai-nilai moral dan keterampilan hidup.
Dengan pendidikan yang baik, Gen Z dapat menjadi generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki empati dan kepedulian terhadap sesama.
Gen Z adalah generasi masa depan yang menjanjikan. Dengan dukungan pendidikan yang baik dan akses terhadap sumber daya yang memadai, mereka mampu menjadi penggerak utama dalam menciptakan dunia yang lebih baik.
Saya merasa bangga menjadi bagian dari generasi ini. Banyak hal yang tidak sempat dialami oleh generasi sebelumnya, tetapi Gen Z menikmatinya. Meskipun kami adalah “bahan percobaan” internet, kami berkembang pesat dan berhasil memanfaatkan teknologi dengan baik.
Pada akhirnya, keberhasilan Gen Z akan ditentukan oleh kemampuan mereka mengatasi tantangan dan memanfaatkan peluang di era yang serba maju ini. Kami adalah generasi yang tidak hanya bertahan, tetapi juga berkontribusi untuk masa depan yang lebih cerah.
Dengan terus belajar dan berkembang, saya yakin Gen Z dapat menjadi generasi yang membawa perubahan positif bagi dunia.
Penulis : Reza apriyunita / Universitas Dharmas Indonesia
Editor : Anisa Putri