Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah sejatinya berangkat dari niat mulia: memastikan hak masyarakat, terutama anak-anak sekolah, untuk memperoleh pangan bergizi, aman, dan layak. Dalam tataran ideal, program ini adalah manifestasi nyata dari hak atas pangan dan hak untuk hidup sehat sebagaimana diamanatkan konstitusi.
Pemerintah, dalam hal ini, memikul tanggung jawab penuh untuk menjamin kualitas makanan yang disediakan, sekaligus melaksanakan pengawasan yang ketat agar setiap warga negara memperoleh manfaatnya tanpa risiko.
Namun, realitas di lapangan menampilkan wajah yang jauh dari ideal. Di beberapa daerah, program yang seharusnya menjadi solusi justru melahirkan masalah baru: keracunan massal di kalangan siswa sekolah.
Ratusan anak harus mendapatkan perawatan medis setelah menyantap makanan dari dapur penyedia MBG. Insiden ini menimbulkan pertanyaan mendasar: sejauh mana negara memastikan aspek keselamatan dan kesehatan publik dalam implementasi program yang menyentuh hajat hidup orang banyak?
Dari sudut pandang hukum tata negara, peristiwa semacam ini tidak bisa dianggap sekadar kesalahan teknis. Ia menyentuh langsung prinsip tanggung jawab negara terhadap hak asasi warganya, khususnya hak atas kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Ketika negara gagal menjamin keamanan pangan dalam program yang digagasnya sendiri, maka ada unsur kelalaian yang berimplikasi hukum. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, dapat dinilai lalai dalam menjalankan kewajiban konstitusional untuk melindungi kesehatan warga negara.
Kelemahan utama tampak pada aspek pelaksanaan. Banyak pengelola dapur MBG berasal dari usaha kecil menengah (UKM) yang tidak terbiasa mengolah ribuan porsi setiap hari dengan standar kesehatan ketat.
Mereka mungkin berpengalaman melayani hajatan keluarga, namun tidak dengan sistem distribusi besar yang menuntut kontrol higienitas dan rantai pasok yang kompleks. Perbedaan skala inilah yang seharusnya diantisipasi oleh pemerintah melalui pelatihan, sertifikasi, dan audit ketat sebelum memberikan kontrak kerja sama.
Ke depan, langkah perbaikan harus ditempuh dengan serius dan terukur. Pemerintah perlu menetapkan standarisasi nasional dapur MBG, mencakup izin edar, sertifikat laik higiene sanitasi, serta kewajiban tenaga bersertifikat keamanan pangan.
Pengawasan juga tidak boleh hanya melekat pada penyelenggara pendidikan, tetapi harus melibatkan lembaga teknis seperti BPOM, Dinas Kesehatan, dan organisasi profesi gizi. Mekanisme penunjukan penyedia makanan mesti dilakukan secara transparan, berbasis kualitas dan keamanan, bukan semata harga penawaran terendah.
Lebih jauh, aparat penegak hukum perlu memastikan akuntabilitas. Setiap kasus keracunan akibat MBG harus ditindaklanjuti secara hukum, baik melalui sanksi pidana maupun administratif bagi pihak yang terbukti lalai. Hal ini penting agar publik kembali percaya bahwa negara benar-benar hadir dalam menjamin keselamatan generasi penerusnya.
Keracunan siswa bukan sekadar insiden teknis, tetapi cermin kegagalan tata kelola publik. Sebuah program yang seharusnya menyehatkan justru menjadi ancaman karena lemahnya sistem pengawasan dan rendahnya standar pelaksanaan. Negara tidak dapat berkelit dari tanggung jawab konstitusionalnya: menjamin hak atas kesehatan dan keselamatan anak didik.
Apabila insiden ini tidak dijadikan pelajaran, maka program MBG berpotensi berubah dari program gizi menjadi program darurat kesehatan. Setiap kebijakan publik, apalagi yang menyentuh anak-anak, harus berpijak pada prinsip kehati-hatian dan keselamatan.
Negara wajib memastikan bahwa setiap suapan yang masuk ke mulut anak bangsa bukan sekadar memenuhi gizi, tetapi juga menjamin masa depan yang sehat dan bermartabat.
Penulis : Sinta Wulandari | Mahasiswi Prodi Pendidikan Matematika UIN Raden Intan Lampung
Editor : Anisa Putri









