Rencana pembubaran Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, memantik perdebatan serius di ruang publik.
Dalam Media Gathering Kementerian Keuangan, Jumat (10/10/2025), Purbaya menilai bahwa kinerja Satgas BLBI selama ini tidak memberikan hasil signifikan dalam pemulihan aset negara. Ia menyebut, keberadaan satgas lebih banyak menimbulkan kegaduhan ketimbang pemasukan yang berarti.
“Cuma bikin ribut saja, income-nya gak banyak-banyak amat. Daripada bikin noise, mungkin akan kita akhiri Satgas (BLBI) itu,” ujar Purbaya via Zoom saat mengisi Media Gathering Kemenkeu 2025 di Novotel Bogor, Jawa Barat, Jumat (10/10/2025). Ia menilai, isu BLBI sudah terlalu lama menjadi polemik dan perlu ditutup agar pemerintah dapat fokus ke hal lain.
“Ngapain kita ribut-ribut terus nggak dapat apa-apa? Tapi kalau potensinya besar saya akan terusin. Kita maju ke depan, move forward. Krisis 25 tahun lebih kan? Kita lupain saja,” tambahnya.

Meski demikian, Purbaya menegaskan bahwa penagihan tetap bisa dilakukan tanpa perlu wadah khusus. “Enggak usah pakai satgas, tagih aja sendiri, bisa kan?” katanya dengan nada ringan.
Namun pernyataan ini langsung memicu kritik tajam dari Mahfud MD, mantan Ketua Satgas BLBI. Dalam pandangannya, pembubaran satgas tanpa mekanisme pengganti yang jelas berpotensi menimbulkan ketimpangan hukum.
Mahfud mengingatkan bahwa utang BLBI merupakan utang resmi kepada negara yang tercatat dalam laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) senilai sekitar Rp141 triliun.
“Kalau kasus itu ditutup begitu saja, nampaknya akan menjadi masalah karena masih tercatat sebagai utang di BPK,” ujar Mahfud melalui kanal YouTube pribadinya, Selasa (15/10/2025).
Ia menambahkan, penghentian penagihan akan menimbulkan ketidakadilan karena sebagian debitur telah ditagih, asetnya disita, bahkan dilelang, sementara yang lain justru dibiarkan. “Saya sudah ditagih, dirampas, lalu dilelang, tapi yang lain tidak?” ungkapnya dengan nada geram.
Kritik Mahfud mencerminkan kekhawatiran mendalam terhadap prinsip keadilan dan konsistensi hukum di Indonesia. Ketimpangan dalam penegakan hukum bukan hanya soal teknis administrasi, tetapi menyangkut moral negara di hadapan rakyatnya. Ketika hukum hanya tajam ke bawah namun tumpul ke atas, maka kepercayaan publik terhadap pemerintah akan terkikis.
Dalam kerangka teori keadilan distributif John Rawls, sistem hukum seharusnya memastikan manfaat terbesar bagi kelompok yang paling dirugikan. Ketimpangan sosial dan ekonomi hanya dapat dibenarkan jika membantu mereka yang lemah. Sayangnya, praktik hukum di Indonesia sering kali gagal menerapkan prinsip ini karena intervensi kepentingan politik dan kekuasaan.
Jika pembubaran Satgas BLBI dilakukan tanpa desain kelembagaan yang menggantikan perannya secara transparan dan berkelanjutan, risiko besar menanti. Proses penagihan utang negara bisa mandek, aset triliunan rupiah terancam hilang, dan pelaku besar bisa lolos dari tanggung jawab hukum. Lebih dari itu, langkah ini berpotensi melemahkan wibawa pemerintah dalam menegakkan supremasi hukum keuangan negara.
Pemerintah perlu memandang isu ini tidak semata dari sisi efisiensi birokrasi. Pembubaran Satgas BLBI seharusnya diiringi pembentukan unit permanen di bawah Kementerian Keuangan yang berfungsi khusus menangani sisa penagihan secara profesional. Audit terbuka juga perlu dilakukan untuk menjamin akuntabilitas publik dan mencegah spekulasi politik.
Keadilan bukan sekadar retorika yang bisa diucapkan di panggung kebijakan. Ia harus hadir nyata dalam tindakan negara terhadap seluruh warga. Menutup kasus BLBI tanpa penyelesaian yang tuntas berarti membiarkan keadilan berhenti di tengah jalan.
Indonesia memang perlu bergerak maju, seperti kata Purbaya, namun kemajuan sejati tidak dapat dicapai dengan melupakan tanggung jawab masa lalu. Sebab, sebuah bangsa hanya bisa berdiri kokoh jika fondasi hukumnya berpijak pada kejujuran, transparansi, dan keadilan yang berlaku untuk semua, tanpa pandang bulu.
Penulis : Erlyn Anggraini Putri | Mahasiswi Prodi Pendidikan Matematika UIN Raden Intan Lampung
Editor : Anisa Putri









