Di pagi yang masih lengang, sebelum mata benar-benar terbuka, layar ponsel menjadi objek pertama yang kita sapa. Deretan notifikasi pesan pribadi, unggahan teman, kabar selebritas mengalir tanpa henti, seakan menjadi penentu ritme emosi sejak hari baru dimulai.
Media sosial, yang pada awalnya dipromosikan sebagai jembatan untuk menghubungkan manusia, kini justru kian mengambil alih cara kita menilai diri, membaca dunia, dan memahami orang lain.
Pengaruhnya terhadap kesehatan mental, terutama di kalangan remaja, tak dapat disebut sederhana. Ia seperti ruang dua sisi: memberi manfaat nyata, tetapi menyimpan jebakan psikologis yang kerap tak terlihat. Di satu sisi, media sosial membuka ruang ekspresi, menyediakan komunitas virtual yang memberi rasa diterima, dan menyuguhkan informasi yang bermanfaat.
Namun, di sisi lain, ia melahirkan konsekuensi mental yang serius ketika penggunaan dilakukan tanpa kesadaran: perbandingan sosial yang konstan, kebutuhan akan validasi yang berlebihan, dan paparan konten yang memicu kecemasan.

Fenomena yang tampak sepele scroll tanpa tujuan nyatanya bekerja secara jauh lebih kompleks di dalam otak manusia. Unggahan yang menampilkan potongan “momen terbaik” orang lain membuat pikiran kita memantik perbandingan otomatis: apakah hidup saya tertinggal? Apakah saya kurang berhasil, kurang cantik, kurang bahagia? Pertanyaan-pertanyaan repetitif ini, perlahan tapi pasti, menurunkan harga diri dan menumbuhkan rasa tidak aman.
Manusia memang memiliki kecenderungan alami untuk membandingkan diri. Namun di media sosial, pembanding itu adalah versi terkurasi dari kehidupan orang lain sebuah potret yang telah dipilih, disunting, dan dipoles.
Ketika standar yang lahir dari kehidupan artifisial ini dijadikan rujukan, kegelisahan dan perasaan tidak cukup pun tumbuh. “Like” dan komentar bertindak seperti hadiah kecil yang memanjakan dopamin. Fluktuasi emosi pun bergantung pada angka digital yang tidak pernah benar-benar mencerminkan nilai diri.
Algoritma semakin memperkeruh keadaan. Ia dirancang untuk menahan mata kita selama mungkin. Konten yang memicu reaksi emosional marah, takut, iri cenderung lebih sering muncul di lini masa.
Paparan berulang terhadap konten semacam ini menormalkan kecemasan dan mengikis persepsi realistis tentang kehidupan sosial. Belum lagi gangguan tidur akibat kebiasaan memeriksa notifikasi di malam hari. Kurang tidur memiliki hubungan langsung dengan suasana hati yang labil dan menurunnya fungsi kognitif.
Namun menyerukan “jauhi media sosial” bukanlah jawaban. Platform-platform ini sudah menyatu dengan kehidupan belajar, kerja, hiburan, dan relasi sosial. Solusinya bukan abstinensi total, tetapi perubahan cara memakainya: lebih sadar, lebih terarah, dan dengan batas yang jelas.
Untuk individu, sejumlah langkah sederhana dapat menjadi awal: membatasi durasi penggunaan, mematikan notifikasi yang tidak penting, atau menerapkan satu jam tanpa layar sebelum tidur. Lebih penting lagi, melatih pikiran untuk melihat unggahan sebagai kurasi, bukan standar kehidupan. Tanyakan pada diri sendiri: apakah perbandingan ini membantu saya bertumbuh, atau justru menyakiti?
Keluarga dan sekolah memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk literasi digital yang sehat. Literasi bukan hanya soal membedakan informasi benar dan hoaks, tetapi juga kemampuan mengelola emosi saat terpapar konten negatif, memahami perilaku daring yang sehat, serta mengetahui kapan harus mencari bantuan nyata ketika tekanan mental muncul.

Perusahaan platform dan pembuat kebijakan pun tidak bisa lepas tangan. Produk digital idealnya dirancang tidak hanya untuk memikat perhatian, tetapi juga menjaga kesejahteraan penggunanya.
Transparansi algoritma, pengingat waktu penggunaan, hingga opsi personalisasi yang menonjolkan konten edukatif atau menenangkan bukan sekadar tambahan estetis, melainkan kebutuhan sosial. Regulasi yang tegas dapat menjadi rem bagi praktik bisnis yang mengeksploitasi rentang perhatian manusia demi keuntungan.
Media sosial bukan sekadar teknologi, ia adalah ekosistem psikologis yang memengaruhi cara kita memandang dunia dan menilai diri. Kita tidak mesti menjadi anti-teknologi untuk menjaga kewarasan. Kita hanya perlu lebih berdaulat dalam memilih apa yang pantas masuk ke dalam kepala kita.
“Kita tidak perlu menjadi budak notifikasi,” begitu kalimat yang layak diingat. Kita memiliki hak untuk menentukan apa yang layak mendapat perhatian dan apa yang sebaiknya dibiarkan berlalu. Mungkin langkah kecil bisa dimulai hari ini: matikan notifikasi selama satu jam, dan rasakan bagaimana ruang hening yang sederhana itu mampu memberi jeda bagi pikiran.
Penulis : I Gusti Ayu Amrita Iswari Mahasiswa Psikologi & Laras Oktaviani, S.pd., M.pd Dosen Universitas Triatma Mulya
Editor : Anisa Putri









