Pertambangan rakyat di Bangka Belitung telah lama melekat sebagai denyut kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat setempat. Di banyak desa, kegiatan menambang bukan sekadar mata pencaharian, tetapi tradisi yang diwariskan lintas generasi.
Banyak keluarga menggantungkan penghidupan pada aktivitas ini karena tambang menjadi satu-satunya pekerjaan yang dapat dilakukan tanpa modal besar. Berbekal peralatan sederhana, para penambang berangkat sejak pagi menuju kolong atau lokasi yang mereka kenal sejak lama. Situasi ini membuat pertambangan rakyat menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika hidup masyarakat Bangka Belitung.
Namun tradisi tersebut tidak membuat kegiatan pertambangan berada di luar kerangka hukum. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 mengatur bahwa setiap aktivitas penambangan tetap harus berizin.
Izin Pertambangan Rakyat (IPR) diberikan kepada masyarakat setempat untuk melakukan pertambangan pada wilayah yang telah ditetapkan sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).
IPR bukan sekadar formalitas administratif, melainkan instrumen negara untuk memastikan kegiatan tambang berjalan tertib, aman, dan mempertimbangkan aspek lingkungan. Meski demikian, implementasi aturan ini tidak selalu berjalan mulus di lapangan.
Salah satu kendala utama adalah terbatasnya akses masyarakat terhadap proses perizinan. Penetapan WPR sebagai prasyarat utama IPR kerap tidak dilakukan secara merata oleh pemerintah daerah. Banyak warga bahkan tidak mengetahui bahwa WPR merupakan dasar sebelum pengajuan izin.
Kondisi ini membuat pertambangan rakyat tetap berlangsung tanpa legalitas, bukan karena niat melanggar hukum, tetapi karena tidak adanya pilihan realistis. Akibatnya, masyarakat berada dalam posisi rawan. Pasal 158 UU Minerba memberikan sanksi pidana berat bagi setiap orang yang melakukan pertambangan tanpa izin, menempatkan para penambang kecil dalam situasi serba sulit.
Berbagai kegiatan sosialisasi yang dilakukan kepada pelajar dan warga menunjukkan persoalan yang lebih fundamental: rendahnya pemahaman mengenai dasar hukum pertambangan. Banyak peserta mengaku mengetahui pertambangan sebagai pekerjaan turun-temurun, namun tidak memahami bahwa aktivitas tersebut diatur secara rinci oleh undang-undang.
Saat kewajiban memperoleh izin dijelaskan, reaksi mereka menunjukkan keinginan untuk memahami prosedur hukum, bukan penolakan. Hal ini memperlihatkan bahwa akar persoalan terletak pada minimnya informasi dan akses, bukan ketidakpatuhan.
Dalam konteks tersebut, legalitas melalui IPR memiliki peran penting. Dengan izin yang sah, para penambang memperoleh kepastian hukum dan tidak lagi bekerja dalam bayang-bayang penertiban atau penyitaan alat.
IPR menjadi bentuk perlindungan negara agar masyarakat kecil tidak selalu menjadi pihak yang paling rentan dalam sengketa pertambangan. Dengan dasar hukum yang jelas, posisi tawar penambang meningkat dan risiko kriminalisasi dapat ditekan.
Aspek lingkungan juga menjadi alasan penting mengapa IPR perlu diperkuat. Undang-undang mewajibkan pemegang izin untuk melakukan reklamasi setelah kegiatan tambang selesai. Ketentuan ini menegaskan bahwa izin tidak hanya memberikan hak untuk menambang, tetapi juga kewajiban menjaga tanah dan air di sekitarnya.
Tanpa izin, pengawasan sulit dilakukan dan potensi kerusakan lingkungan meningkat. Namun jika masyarakat bekerja dalam kerangka legal, negara dapat melakukan pembinaan dan pengawasan sehingga kegiatan tambang tidak meninggalkan kerusakan yang membahayakan keberlanjutan lingkungan.
Karena itu, peran pemerintah daerah menjadi kunci. Pemerintah daerah tidak dapat hanya menuntut masyarakat untuk memiliki izin tanpa menyediakan dasar strukturalnya. Penetapan WPR harus dilakukan melalui kajian potensi mineral, daya dukung lingkungan, serta kebutuhan ekonomi warga.
Ketika WPR ditetapkan dengan benar, pengurusan IPR dapat berjalan transparan dan dapat diakses masyarakat. Dengan demikian, negara memberikan jalur legal yang jelas bagi para penambang.
Penyederhanaan birokrasi perizinan menjadi langkah berikutnya. Banyak warga menilai proses perizinan terlalu rumit dan membutuhkan waktu panjang. Kondisi ini membuat mereka enggan memulai proses, meskipun sebenarnya ingin memiliki legalitas.
Pemerintah perlu membuka layanan perizinan yang lebih sederhana, cepat, dan mudah dijangkau, termasuk dengan memanfaatkan layanan digital dan pusat bantuan di tingkat kecamatan. Hukum yang baik hanya dapat ditaati jika akses terhadapnya tersedia bagi semua warga.
Penegakan hukum juga perlu dilakukan secara proporsional. Penambang kecil dengan peralatan sederhana tidak tepat disamakan dengan pelaku pertambangan ilegal berskala besar yang didukung modal, alat berat, dan jaringan perdagangan.
Penindakan seharusnya diarahkan pada pemodal dan penadah yang mendapat keuntungan utama dari rantai tambang ilegal. Dengan penegakan hukum yang tepat sasaran, rasa keadilan masyarakat dapat dipulihkan. Sebaliknya, menindak penambang kecil tanpa memberi solusi hanya akan memperdalam ketidakpercayaan terhadap pemerintah.
Oleh karena itu, penataan IPR harus dilihat bukan sekadar sebagai urusan legal formal, tetapi persoalan kemanusiaan. Banyak penambang bekerja karena tidak memiliki alternatif pekerjaan lain. Menertibkan tambang rakyat tanpa menyediakan akses izin dan jalur legal akan memperbesar persoalan sosial.
IPR menawarkan jalan tengah yang menjaga keseimbangan antara kebutuhan ekonomi masyarakat, keberlanjutan lingkungan, dan penegakan hukum. Dengan izin yang jelas, masyarakat dapat bekerja dengan tenang, pemerintah dapat melakukan pengawasan, dan lingkungan dapat dilindungi dari kerusakan jangka panjang.
Realitas di Bangka Belitung menunjukkan bahwa kebutuhan akan IPR semakin mendesak seiring meningkatnya kegiatan tambang tanpa legalitas. IPR tidak hanya memberikan perlindungan hukum bagi penambang, tetapi juga memungkinkan negara menata sektor pertambangan rakyat secara lebih terstruktur dan bertanggung jawab. IPR membantu memastikan bahwa kegiatan ekonomi masyarakat tidak berubah menjadi beban ekologis yang berkepanjangan.
Untuk itu, pemerintah daerah harus memastikan bahwa WPR ditetapkan secara jelas dan proses perizinan benar-benar mudah diakses. Masyarakat memerlukan jalur yang konkret untuk mengurus izin, bukan sekadar imbauan yang tidak disertai mekanisme. Ketika saluran legal tersedia, kepatuhan masyarakat terhadap aturan akan meningkat secara alami.
Dengan dukungan kebijakan yang tegas, akses informasi yang lebih merata, serta pendekatan yang berpihak pada masyarakat kecil, IPR dapat menjadi instrumen penting untuk menata pertambangan rakyat di Bangka Belitung. IPR bukan sekadar dokumen izin melainkan pondasi tata kelola tambang rakyat yang lebih tertib, aman, dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.
Penulis : Ferlanda, Mahasiswa Hukum Universitas Bangka Belitung
Editor : Anisa Putri









