Kampus sebagai Cermin: Apakah Mahasiswa Masih Agen Perubahan atau Sekadar Pengguna Fasilitas?

- Jurnalis

Senin, 13 Januari 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi by DALL.E

Ilustrasi by DALL.E

Kampus, sebuah institusi yang sering disebut sebagai pusat intelektual dan tempat tumbuhnya calon-calon pemimpin masa depan, memiliki peran penting dalam menentukan arah peradaban bangsa. Di Indonesia, eksistensi kampus telah lama diromantisasi sebagai medan perjuangan intelektual dan sosial.

Namun, apakah peran tersebut masih relevan di tengah perubahan zaman? Apakah mahasiswa masih menjadi agen perubahan seperti yang sering diklaim, atau mereka justru bertransformasi menjadi sekadar pengguna fasilitas?

Mahasiswa sebagai Agen Perubahan: Sebuah Narasi Sejarah

Dalam sejarah Indonesia, mahasiswa telah memainkan peran signifikan dalam berbagai momentum perubahan sosial dan politik. Gerakan mahasiswa pada tahun 1966 adalah salah satu contoh paling monumental.

Kala itu, mahasiswa menjadi garda terdepan dalam mendorong perubahan rezim yang dianggap gagal memenuhi aspirasi rakyat. Demikian pula pada tahun 1998, mahasiswa kembali menunjukkan taringnya dengan menjadi motor penggerak reformasi yang berhasil menggulingkan rezim Orde Baru.

Namun, narasi ini tidak hanya berlaku di Indonesia. Di berbagai belahan dunia, mahasiswa sering kali menjadi pelopor gerakan-gerakan progresif. Mereka memiliki energi, idealisme, dan keberanian untuk melawan status quo, sesuatu yang sering kali absen pada generasi yang lebih tua. Inilah yang menjadikan mahasiswa sebagai simbol agen perubahan.

Pergeseran Paradigma Mahasiswa Modern

Seiring dengan perkembangan zaman, wajah dunia kampus di Indonesia mulai mengalami pergeseran. Mahasiswa zaman sekarang hidup di era digital, di mana informasi tersedia di ujung jari. Sayangnya, akses mudah ini sering kali tidak diimbangi dengan kedalaman berpikir. Banyak mahasiswa terjebak dalam budaya instan, yang lebih mengutamakan hasil daripada proses.

Hasilnya? Kampus tidak lagi menjadi tempat diskusi kritis yang melibatkan isu-isu besar, melainkan lebih sering digunakan untuk kegiatan pragmatis, seperti menyelesaikan tugas, mengikuti ujian, dan mengejar gelar.

Baca Juga :  Pendidikan di Indonesia: Perkembangan dan Tantangan Berdasarkan Data BPS

Banyak mahasiswa yang datang ke kampus hanya untuk “mengonsumsi” fasilitas: WiFi, ruang kelas ber-AC, atau perpustakaan modern. Mereka cenderung menghindari aktivitas yang dianggap tidak relevan dengan tujuan akademik mereka.

Budaya ini diperparah dengan maraknya media sosial, yang secara tidak langsung membentuk pola pikir mahasiswa. Aktivisme mahasiswa kini lebih banyak terjadi di dunia maya daripada di jalanan.

Aksi-aksi demonstrasi yang dahulu menjadi identitas mahasiswa kini lebih sering digantikan oleh tagar dan petisi online. Meskipun media sosial memiliki kekuatan tersendiri, ia tidak mampu sepenuhnya menggantikan dampak langsung dari aksi nyata di lapangan.

Kampus sebagai Fasilitator atau Inspirator?

Tidak bisa disangkal bahwa kampus memang berperan sebagai penyedia fasilitas. Dengan semakin banyaknya universitas yang berlomba-lomba membangun gedung megah dan menyediakan teknologi canggih, ada harapan bahwa mahasiswa akan memanfaatkan fasilitas ini untuk meningkatkan kualitas mereka. Namun, apakah kampus hanya sebatas itu? Apakah tugas kampus hanya menyediakan infrastruktur tanpa memikirkan bagaimana fasilitas tersebut digunakan?

Kampus idealnya menjadi inspirator, tempat di mana mahasiswa tidak hanya belajar tentang ilmu pengetahuan, tetapi juga tentang tanggung jawab sosial. Sayangnya, banyak kampus saat ini lebih berorientasi pada pasar ketimbang misi sosial.

Mereka mengukur kesuksesan melalui angka-angka: jumlah lulusan, tingkat penyerapan kerja, dan peringkat internasional. Akibatnya, mahasiswa pun terjebak dalam paradigma yang sama, yaitu mengejar prestasi individual tanpa memikirkan kontribusi kolektif.

Membangkitkan Kembali Peran Mahasiswa

Untuk mengembalikan peran mahasiswa sebagai agen perubahan, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan, baik oleh mahasiswa itu sendiri maupun oleh institusi kampus:

Pertama, membangun budaya diskusi kritis. Kampus harus kembali menjadi ruang di mana mahasiswa bebas berdiskusi, berdebat, dan bertukar gagasan. Diskusi ini tidak hanya terbatas pada isu akademik, tetapi juga mencakup masalah sosial, politik, dan lingkungan.

Baca Juga :  Upaya Bersama Menghadapi Tingginya Angka Putus Sekolah

Kedua, mengintegrasikan pendidikan kritis dalam kurikulum. Kurikulum yang hanya berorientasi pada angka dan capaian akademik harus dirombak. Pendidikan tinggi harus mengajarkan mahasiswa untuk berpikir kritis, kreatif, dan solutif terhadap permasalahan nyata di masyarakat.

Ketiga, memanfaatkan teknologi untuk aktivisme. Media sosial dapat menjadi alat yang kuat untuk menyebarkan kesadaran dan mengorganisasi gerakan. Namun, mahasiswa harus belajar menggunakannya dengan bijak dan tidak menggantikan aksi nyata dengan sekadar klik dan unggahan.

Keempat, memperkuat hubungan dengan masyarakat. Mahasiswa tidak bisa menjadi agen perubahan jika mereka terisolasi dari masyarakat. Program-program seperti Kuliah Kerja Nyata (KKN) harus lebih dioptimalkan agar mahasiswa benar-benar memahami kebutuhan dan aspirasi rakyat.

Kelima, mendorong kepemimpinan yang visioner. Kampus harus menjadi tempat lahirnya pemimpin-pemimpin yang memiliki visi besar untuk bangsa. Ini dapat dilakukan dengan memberikan ruang lebih banyak untuk organisasi mahasiswa, pelatihan kepemimpinan, dan kegiatan sosial.

Kesimpulan

Kampus adalah cermin dari kondisi masyarakat dan generasi muda kita. Jika mahasiswa lebih banyak berperan sebagai pengguna fasilitas daripada agen perubahan, maka ada sesuatu yang salah dalam sistem pendidikan kita. Namun, harapan tidak pernah benar-benar hilang.

Selama mahasiswa masih memiliki semangat dan idealisme, dan selama kampus masih berkomitmen untuk mencetak generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik tetapi juga peduli terhadap lingkungan sosial, peran mahasiswa sebagai agen perubahan akan tetap relevan. Pertanyaannya sekarang, apakah kita siap untuk mengambil langkah menuju perubahan tersebut?

Penulis : Raudahtul Huspuria / Universitas Dharmas Indonesia

Editor : Anisa Putri

Follow WhatsApp Channel sorotnesia.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Hak Asasi Manusia: Pilar Fundamental Kehidupan Bermasyarakat
Peran Organisasi Kepemudaan dalam Meningkatkan Pemahaman Wawasan Nusantara di Kalangan Pemuda Indonesia
Upaya Memperkuat Jati Diri Bangsa Melalui Pemahaman Wawasan Nusantara di Era Gempuran Kebudayaan Asing
Ketika Kuliah Bukan Lagi Tentang Belajar: Melawan Tren Hedonisme di Dunia Mahasiswa
Inovasi Sistem Sekolah untuk Membentuk Generasi Indonesia yang Unggul
Peran Orang Tua dalam Mendorong Motivasi Belajar Anak di Sekolah Dasar
Pendidikan Sangat Berpengaruh Terhadap Peningkatan Kualitas Hidup Suku Anak Dalam
Mengelola Media Sosial untuk Masa Depan Remaja yang Lebih Baik

Berita Terkait

Rabu, 22 Januari 2025 - 22:47 WIB

Hak Asasi Manusia: Pilar Fundamental Kehidupan Bermasyarakat

Kamis, 16 Januari 2025 - 19:16 WIB

Peran Organisasi Kepemudaan dalam Meningkatkan Pemahaman Wawasan Nusantara di Kalangan Pemuda Indonesia

Kamis, 16 Januari 2025 - 19:09 WIB

Upaya Memperkuat Jati Diri Bangsa Melalui Pemahaman Wawasan Nusantara di Era Gempuran Kebudayaan Asing

Kamis, 16 Januari 2025 - 12:16 WIB

Ketika Kuliah Bukan Lagi Tentang Belajar: Melawan Tren Hedonisme di Dunia Mahasiswa

Rabu, 15 Januari 2025 - 15:34 WIB

Inovasi Sistem Sekolah untuk Membentuk Generasi Indonesia yang Unggul

Berita Terbaru